Dear, Mantan Gebetan

"Gimana sih, kok lamaran dadakan begini. Heran, aku lihat kalian berdua. Diam-diam aja, tau-tau meledak bikin heboh semua orang." omel Zaki, matanya mengawasi orang yang mendekorasi ruang tamu untuk acara lamaran Raina nanti malam.

"Ya kamu tanya saja ke mas Iyan yang lamaran kok dadakan. Mana mbak tau kalau dia beneran mau ngelamar." kata Raina yang masih sibuk menyeterika pakaian yang akan dikenakan mereka sekeluarga nanti malam.

Tadi pagi-pagi sekali Rahardian datang dengan membawa setelan kebaya dan roknya. Serta kemeja batik untuk Zaki yang senada dengan bawahan kebaya ibu dan Zahra.

Entah kapan Rahardian menyiapkan semuanya, tapi Raina yakin jika lelaki itu sudah lama mempersiapkannya. Bahkan catering pun sudah Rahardian siapkan dan keluarga Raina tinggal terima beres.

Tadi malam Tante Dewi langsung menelpon ibunya dan mengatakan kalau mereka akan datang malam ini untuk melamar Raina.

Langsung saja, rumah ini menjadi heboh dan sibuk. Ibu langsung menghubungi keluarga ayah dan saudara ibu yang bisa hadir.

Awalnya mereka merasa heran dengan acara lamaran yang sangat mendadak ini dan mengira jika Raina dan Rahardian sudah 'bablas' duluan.

Namun, setelah dijelaskan oleh ibu akhirnya mereka paham. Rencana lamaran Raina memang akan dilaksanakan sekitar dua minggu lagi. Namun Rahardian tak bisa menundanya lagi karena takut kehilangan Raina.

Rahardian lelaki yang mencintai Raina tak mau merusak cinta sucinya dengan perbuatan yang melewati batas walaupun status mereka janda dan duda.

"Mbak, kamu udah yakin mau nikah sama Mas Iyan?" tanya Zaki dengan tatapan mata tajamnya.

Raina hanya mengangguk dan menggantung kemeja Zaki yang sudah selesai disetrika.

Ibunya sedang ke rumah pak RT dan beberapa tetangga dekat buang akan diundang nanti malam.

"Mbak cinta sama mas Iyan?" tanya Zaki lagi.

Kali ini Raina membalas tatapan adik lelakinya. Dia sendiri bingung mau menjawab apa. Sudah cinta kah dia pada lelaki yang katanya mencintai Raina dari dia remaja.

Raina menghela nafasnya kemudian mematikan setrika dan membereskan alas setrikaan itu.

"Jujur saja, saat ini mbak masih bingung. Mbak sendiri masih belum ada rasa cinta untuk mas Iyan. Hanya perasaan nyaman dan terlindungi." kata Raina jujur.

"Mbak juga nggak tau apakah karena masih cinta sama Aa Bayu atau udah mati rasa. Dan kemarin Aa Bayu mendatangi kampus mbak, dia meminta maaf sama mbak." kata Raina dengan lirih.

Zaki yang sangat kesal pada mantan suami kakaknya. Dan dia menatap prihatin pada kakaknya yang memang cantik itu. Namun, nasibnya tak secantik wajahnya.

Di usia muda dia sudah merasakan penderitaan dan diceraikan oleh suaminya.

"Mbak, bisa ikut aku ke kamarku sebentar. Ada yang mau aku tunjukkan ke mbak." kata Zaki pada kakaknya lalu beranjak dari ruangan itu dan menaiki tangga menuju kamarnya.

Raina pun mengikuti Zaki dengan rasa penasaran. Tak biasanya adiknya yang tengil itu terlihat sangat serius.

Raina memasuki kamar bujangan satu-satunya di rumah ini. Kamar ini memang terlihat ciri khas Zaki. Kamar yang berisi tempat tidur single yang dilapisi sprei bermotif kotak-kotak hitam putih, lemari pakaian dua pintu dan sebuah meja belajar yang diatasnya terdapat rak berisi miniatur motor balap kesukaannya.

Zaki membuka lemari dan mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. Kemudian Zaki menyerahkannya kepada Raina.

"Ini mbak, lihatlah." kata Zaki.

Raina melihat benda yang merupakan buku tabungan. Dan dia bisa melihat jika itu adalah buku tabungan ayahnya. Terlihat di dalamnya ada sejumlah saldo. Namun terlihat uang yang masuk selalu berkurang, tepatnya di tahun dia menjadi istri Bayu.

"Ini bukti transaksi dari rekening ayah. Ternyata selama mbak menikah, ayah selalu mengirimkan uang ke Bayu. Apa Mbak tau?" tanya Zaki pada kakaknya sambil menyerahkan beberapa lembar kertas yang berisikan data transaksi ayahnya.

Raina yang awalnya terkejut hanya menggeleng saja.

"Mbak, ayah selalu mengambil job ojek setiap pulang apel atau piket cuma untuk mencari tambahan untuk mengirimkan uang pada mantan bre**sek mbak." kata Zaki

Sementara Raina sudah menangis membayangkan perjuangan ayahnya yang sudah lelah menjalankan tugasnya lalu harus mengojek lagi sepulang dinas.

"Bayu selalu mengeluh sama ayah, kalau diminta pulang ke sini. Alasannya kalau mbak nggak pandai mengelola keuangan. Semua gaji selalu habis karena mbak yang boros. Jadi nggak ada uang untuk pulang ke sini." kata Zaki.

Raina menggeleng pelan. Jangankan gaji, uang belanja saja dijatah oleh Bayu. Pantas saja Bayu tak pernah mau diajak pulang ke kampung halamannya ini, ternyata hanya dijadikan alasan untuk ayahnya agar selalu mengirimkan uang.

"Sampai akhirnya ayah dan ibu yang mendatangi mbak. Dan sejak pulang dari Bandung ayah lebih sering diam dan melamun. Aku baru tahu setelah ayah meninggal mbak. Waktu aku dan ibu mengurus surat-surat ayah." kata Zaki dengan mata berkaca-kaca.

Terlihat jika Zaki sangat emosional mengingat lelaki yang gagah dan selalu melindungi keluarganya itu justru kalah dan tunduk pada permintaan Bayu yang hanya memanfaatkan ayahnya untuk kepentingan sendiri.

"Itulah mbak, kemarin aku rasanya mau meninju wajah si Bayu itu. Rasanya mau ku hancurkan, sehancur-hancurnya." kata Zaki dengan geram namun dia terkejut ketika mendengar suara kakaknya yang selalu lemah lembut itu.

"Bukan kamu yang akan memukulnya, mbak yang akan menghancurkannya kalau dia berani muncul lagi di hadapan kita." kata Raina dengan geram.

Saat ini dia sangat membenci Bayu tapi dia lebih membenci dirinya yang terbuai bujuk rayu lelaki yang menjadi suaminya hampir tujuh tahun.

Pantas saja sejak ayahnya meninggal sikap Bayu sangat kasar dan sering memakinya. Rupanya karena merasa jika Raina bukan lagi ladang uang baginya.

"Mbak yang akan membuat baj***an itu merasakan penderitaan dan kesusahan seperti ayah alami. Mbak pastikan itu." kata Raina dengan tatapan berapi-api.