Berselang dua minggu sejak dia melahirkan, tetapi Anindya harus kehilangan bayinya sesaat setelah bayi itu dilahirkan. Namun, Tuhan selalu mempunyai rencana lain. Masa laktasi yang seharusnya dia berikan untuk menyusui anaknya, dia berikan untuk keponakan kembarnya yang ditinggal pergi oleh ibunya selama-lamanya.
Mulanya, dia memberikan ASI kepada dua keponakannya secara sembunyi-sembunyi supaya mereka tidak kelaparan. Namun, membuat bayi-bayi itu menjadi ketergantungan dengan ASI Anindya yang berujung dia dinikahi oleh ayah dari keponakan kembarnya.
Bagaimana kelanjutan kisah mereka, apakah Anindya selamanya berstatus menjadi ibu susu untuk si kembar?
Atau malah tercipta cinta dan berakhir menjadi keluarga yang bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Shandivara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33. Nyaman
Arsatya masih terjaga dengan posisi membelakangi Anindya dan anak-anaknya karena dia masih memikirkan kalimat Anindya tentang berdamai dengan masa lalunya.
Masa lalu yang mana?
Saat ini yang masih dia pikirkan hanyalah tentang rasa bersalahnya pada Amelia yang terus membayangi di waktu siang dan malam, di alam nyata atau pun mimpi semua masih tentang Amelia.
“Apa maksudnya adalah tentang semua yang aku pikirkan saat ini? Atau dia salah paham dengan tulisan di buku harian Amelia yang dia baca?” ia bertanya-tanya di dalam hati.
.
.
Selesai menidurkan si kembar, Anindya tidak lantas ikut serta di sisi mereka. Dia harus menyelesaikan sentuhan akhir pada karya tulisnya, berharap ini menjadi bimbingan yang terakhir tanpa ada revisi apapun lagi dari dosen pembimbing.
Dengan perlahan, Anindya turun dari ranjang dan berjalan perlahan menuju sofa. Kakinya masih berdenyut nyeri, entah kenapa malam ini semakin terasa nyeri dan perban pun belum juga diganti sejak pagi tadi.
Sampai dia bingung apa yang harus dilakukannya lebih dulu, mandi, mengganti perban, atau menyelesaikan tugas skripsinya.
Puyeng, terlalu banyak yang harus diselesaikan sebelum datang esok hari.
Alhasil, dia menyalakan laptop dan mengambil kotak P3K secara bersamaan, biarkan malam ini tubuhnya tidak terguyur air, itu bukan masalah.
“Ssshh,” Anindya merintih saat kakinya dipaksa naik ke atas sofa.
Mendengar suara desisan, Arsatya yang semula berbaring membelakangi si kembar menoleh mencari sumber suara. Khawatir, semoga saja bukan suara desisan ular berbisa.
“Nin, sedang apa?” tanya dia pada Anindya yang berada di bawahnya. Wanita itu hanya menggeleng dan memaksa mengulum senyum, padahal sedang menahan rasa sakitnya.
Berharap Arsatya melanjutkan tidurnya, ternyata tidak. Dia menghampiri Anindya, “Kenapa?” tanya dia yang mengernyit melihat Anindya yang tidak begitu jelas di bawah sorot remang-remang pantulan cahaya bulan yang menembus dinding kaca.
Sesuatu yang semula ditutupi dengan kedua tangannya, tidak bisa lagi disembunyikan. Anindya menujukkan semuanya, bahwa kaki yang terkena air panas itu kini kian membengkak, bergelembung air, dan bernanah.
Bukan respons panik yang Arsatya tunjukkan saat melihat kondisi luka bakar di kaki Anindya. Namun, dengan tenang dia berjalan ke wastafel untuk mencuci tangan dan menyalakan lampu kamar supaya terang, lalu dia duduk di sebelah Anindya.
Menggunakan sarung tangan lateks yang ada, kemudian menepuk pahanya supaya Anindya meletakkan kakinya di sana untuk diperiksa.
Berpikir sekian kali, akhirnya tidak ada penolakan dari wanita itu dan membiarkan kakinya diperiksa oleh ahlinya.
“Kenapa bisa bengkak seperti ini? Biasanya dikasih salep, tidak?” tanya Arsatya setelah membolak-balikkan kaki Anindya yang membengkak merah dan bernanah itu.
Anindya menggeleng.
“Harusnya dioles salep dulu. Kalau seperti ini bisa infeksi, besok sepulang bimbingan ke dokter dulu biar dikasih obat suntik,” ujar Arsatya yang diangguki oleh Anindya.
Anindya menatap lekat wajah pria yang sedang cerewet padanya, “Sebelumnya dia sangat galak padaku, kenapa aku menyukainya saat dia berbicara baik-baik seperti ini? Apa arti kedamaian di hatiku ini saat melihat dia tampak berkharisma dan mempesona seperti itu?” ujar Anindya di dalam hatinya sembari menyentuh dadanya yang berdesir hebat di dalam sana.
“Kenapa? Apa sakitnya sampai ke ulu hati?” tanya Arsatya lagi.
Dia bahkan menekan pelan beberapa kali di sekitar ulu hati Anindya untuk memeriksa bagian yang mungkin turut terasa sakit. “Dimana yang sakit? Apa sakit jika seperti ini?” tanya dia pada Anindya masih mencari di bagian mana yang terasa sakit.
Spontan, wanita itu menggeleng pelan dengan satu air mata yang menetes ke pipi kanannya.
“Anin, ada apa? Kenapa menangis? Dimana yang sakit, coba katakan,” tanyanya yang lantas membuatnya semakin kebingungan saat Anindya semakin deras mengalirkan air mata tanpa memberitahu apa yang sedang dirasa.
Bukan menjawab, Anindya malah menyergap pemilik tubuh kekar itu. Dipeluknya tubuh mantan kakak iparnya itu dengan erat.
“Tidak ada yang sakit. Hanya saja aku rindu diperlakukan seperti ini. Aku rindu saat Kak Amelia cerewet dan selalu memberikan perhatian lebih padaku,” ujar Anindya yang menangis tersedu-sedu di bahu pria itu.
Semandiri apapun seorang Anindya yang terlihat selama ini, tetap saja dia adalah perempuan manja kesayangan kakaknya.
Arsatya pun membalas pelukan itu, membiarkan Anindya menuntaskan tangis kerinduannya–padahal, yang dirasakan Anindya bukan hanya tentang kerinduan pada kakaknya.
Cukup lama Arsatya membiarkan Anindya memeluknya dengan erat sampai dia merasa puas dengan tangisnya.
“Sudah? Coba tarik napas,” ujar Arsatya saat Anindya melepaskan pelukannya dan menghapus jejak air matanya. Arsatya pun turut membantu dia menghapus air matanya.
“Okey. Sudah, ya, menangisnya. Sementara, pakai obat yang ada dulu,” ucap Arsatya melanjutkan merawat luka Anindya. Membujuknya supaya mau diobati, memperlakukan dia persis seperti pasien kecilnya. Lucu sekali.
Berhadapan dengan luka bengkak, berair, dan bernanah bukanlah hal yang asing baginya. Dengan mudah, Arsatya dapat merawat luka di kaki Anindya dan membungkusnya dengan sangat rapi.
“Sudah,” ucapnya setelah selesai dengan kegiatannya membalut kedua kaki Anindya.
“Tidurlah, besok harus bangun pagi, kan?” ujarnya menurunkan kaki Anindya.
“Belum bisa, harus selesakan ini,” ujar Anindya menujuk pada layar laptopnya yang masih menyala dan terlihat banyak tulisan di sana.
“Masih kurang yang apa?” tanya Arsatya.
“Tidak kurang, tapi masih ragu sama pengolahan datanya dan interpretasinya. Aku lupa itu sudah dikerjakan sangat lama, jadi harus dipelajari lagi,” jelas Anindya.
“Mana sumber datanya? Biar kubantu kroscek,” Arsatya menawarkan bantuan.
Anindya menyipitkan matanya, “Memangnya bisa?”
“Hem. Jangan sepelekan, gini-gini juga aku masih harus melakukan penelitian untuk perkembangan ilmu pengetahuan yang masih perlu terus dikembangkan. Jadi, bukan hanya tugas mahasiswa,” jawab Arsatya yang mengambil alih laptop di depan Anindya.
Kegiatan itu membuat Anindya mendekat pada suaminya dan melihat bagaimana dia menyelesaikan dan menjelaskan pengolahan data yang benar.
“Paham, tidak? Nah, ini sudah masuk olah data multivariat, baru setelah itu coba diintrepretasikan, ya?” ucap Arsatya di akhir penjelasan.
“Hem, iya, iya. Diselesaikan Mas Satya saja, aku mengantuk mau tidur dulu sebentar,” sautnya dengan mencari posisi ternyaman bersandar di lengan Arsatya karena saat ini dia sudah tidak bisa menahan untuk tidak terpejam.
Matanya sudah begitu berat untuk terus terbuka, sedangkan dia sudah menemukan tempat bersandar yang nyaman di bahu Arsatya dan detik berikutnya air liur pun menetes di baju suaminya.
“Ck. Dasar anak manja,” ujar Arsatya mengelus puncak kepala Anindya yang terlelap di bahunya.
Mengingat seberapa besar kasih sayang dan perhatian yang selalu Amelia berikan pada adiknya itu, membuat Arsatya kembali teringat pada sosok Anindya yang dulu.
Pria itu merasa wajar jika saat ini bocah perempuan yang dulu sangat manja pada kakaknya itu merasa kehilangan sumber kasih sayang dan perhatian di hidupnya.
"Andai kamu bisa lebih dewasa sejak dulu," ucap Arsatya yang entah apa maknanya. Dan apa yang akan terjadi jika Anindya bisa dewasa seperti keinginannya, hanya dia dan Tuhannya yang tahu maksud frasa itu.
Sayup-sayup, Anindya masih bisa mendengar apa yang pria itu ucapkan. Namun, dirinya tidak punya minat untuk membalasnya, lebih memilih untuk melanjutkan masuk ke alam mimpinya.
maaf ya thor
gak cmn mewek kak, gemes,kesel pokoknya nano nano