Samantha tidak mampu mengingat apa yang terjadi, dia hanya ingat malam itu dia minum segelas anggur, dan dia mulai mengantuk...kantuk yang tidak biasa. Dan saat terbangun dia berada dalam satu ranjang dengan pria yang bahkan tidak ia kenal.
Malam yang kelam itu akhirnya menjadi sebuah petaka untuk Samantha, lelaki asing yang ingin memiliki seutuhnya atas diri Samantha, dan Samantha yang tidak ingin menyerah dengan pernikahannya.
Mampukah Samantha dan Leonard menjadi pasangan abadi? Ataukah hati wanita itu bergeser menyukai pria dari kesalahan kelamnya?
PERINGATAN KONTEN(CONTENT WARNING)
Kisah ini memuat luka, cinta yang kelam, dan batas antar cinta dan kepasrahan. Tidak disarankan untuk pembaca dibawah usia 18 tahun kebawah atau yang rentan terhadap konten tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34: Penguasa Bayangan
Udara di ruang interogasi begitu padat hingga
seakan bisa dipotong dengan pisau. Aroma darah, keringat, dan ketakutan memenuhi udara seperti kabut yang tak kasat mata. Setelah berjam-jam mendengarkan pengakuan, satu hal menjadi sangat jelas: Clara adalah otaknya. Axton hanya pion yang terlalu bodoh dan rakus untuk menolak tawaran iblis.
Nathaneil berdiri di balik kaca dua arah, diam, tanpa ekspresi. Sorot matanya tajam seperti pisau bedah, menguliti setiap kebohongan dan arogansi yang telah mereka tunjukkan sebelumnya.
Ketika pintu dibuka, dan ia melangkah masuk ke ruangan penghakiman, ruangan itu langsung membeku.
"Clara Whitemore," ucapnya pelan, penuh tekanan. "Kau bukan hanya mencoba melukai Samantha. Kau juga mencoba menghancurkannya. Dari dalam."
Clara membuang muka, tapi tubuhnya gemetar, terutama saat mendengar bunyi logam beradu, alat-alat eksekusi dibawa masuk.
"Kau akan mendapat hukuman setimpal," lanjut Nathaneil, berbalik ke arah Axton. "Tapi bukan sekarang. Aku ingin kau menyaksikan apa yang terjadi pada orang yang kau jadikan alat pelecehan."
Axton menggeliat di kursinya. Ketika dua pria berpakaian hitam menyeretnya ke tengah ruangan, tubuhnya mulai bergetar.
"Nathaneil... tolong... aku... aku akan melakukan apapun! Jadikan aku budakmu! Kau bisa menyuruhku mencabut nyawaku sendiri!" Ia meraung putus asa. "Asal jangan, jangan tanganku! Tuhan, jangan...!"
Nathaneil mendekat. Ia menatap lelaki itu, lalu menunduk perlahan dan berbisik, "Aku tidak butuh budak. Aku butuh kau menghilang dari dunia ini... perlahan."
Perintahnya singkat. Suara pisau tebal menebas udara, diikuti pekik pilu yang mengguncang dinding beton. Darah mengalir deras di lantai, menyentuh ujung sepatu Nathaneil, tapi ia tidak bergeming.
Tangis Clara meledak. Wanita itu menjerit, tubuhnya menggeliat di kursinya saat melihat Axton mengerang, tubuhnya mengguncang hebat karena rasa sakit yang tak tertanggungkan.
Namun Nathaneil hanya menoleh sekali ke arahnya. "Menyesal bukan karena rasa bersalah... tapi karena melihat konsekuensi yang kau pikir takkan datang."
Ia menoleh ke dua pria lainnya, anak buah Axton. "Seret mereka. Pecahkan tulangnya. Aku ingin mereka merasa seluruh hidupnya tak lebih dari serpihan yang tidak pernah bisa utuh lagi."
Perintah dijalankan tanpa penundaan. Jerit kesakitan berikutnya menggema, menyatu dengan tangisan Clara yang mulai kehilangan kendali, wajahnya berubah putih pasi saat melihat neraka mulai dibuka satu per satu di hadapannya.
Nathaneil berdiri di tengah kekacauan itu dengan tenang, wajahnya seperti patung granit, dingin dan tak tergoyahkan.
Samantha sudah menderita. Dan sekarang... ini adalah bayarannya.
...****************...
Tangisan Clara sudah berubah menjadi isakan lemah. Baju yang dulu memeluk tubuhnya dengan angkuh kini koyak, penuh debu dan keringat dingin. Matanya sembab, rambutnya acak-acakan, dan suara-suara jerit dari Axton dan dua anak buahnya masih menggema di balik dinding.
Nathaneil berdiri tepat di hadapannya. Tidak ada kemarahan membara di wajahnya. Hanya ketenangan yang mengerikan, jenis ketenangan yang dimiliki oleh pria yang sudah memutuskan sesuatu... dan keputusan itu tak bisa diganggu gugat.
"Kau pasti berpikir aku akan membunuhmu, ya?" katanya pelan.
Clara menatapnya dengan mata membelalak. Air mata membasahi pipinya, tapi ia tetap membisu.
Nathaneil berjongkok di hadapannya, menatap langsung ke dalam jiwanya yang koyak. "Kematian itu mudah. Satu tarikan pelatuk. Satu tetes racun. Selesai."
Ia menyentuh dagu Clara, memaksanya menatap.
"Tapi tidak untukmu. Kau akan tetap hidup, Clara. Sangat hidup."
Dia berdiri kembali, memberi isyarat kecil. Seorang pria bertubuh besar masuk membawa kotak logam kecil. Isinya? Alat pelacak, alat suntik mikro, dan tablet rekayasa neurologis.
"Kau akan dibawa ke tempat yang jauh dari cahaya, dari nama, dan dari hak," ucap Nathaneil dingin. "Setiap hari akan kau lalui dengan waspada, bertanya-tanya kapan hukuman berikutnya datang. Kau tidak akan mati, tapi kau akan berharap untuk mati."
Clara mulai menggeleng panik. "Tidak... tidak... kau tidak bisa... aku mohon..."
"Aku bisa." Nathaneil mendekat, membisikkan kalimat terakhir dengan suara sangat tenang:
"Karena setiap rasa takut yang akan kau alami... masih belum sebanding dengan ketakutan yang Samantha rasakan saat terikat, tak berdaya, dalam gelap, menunggu sesuatu yang tak bisa ia kendalikan."
Wanita itu menjerit ketika alat pelacak ditanamkan ke kulitnya. Tubuhnya digiring pergi oleh dua pria berbadan besar. Ia meronta, berteriak, mengumpat, memohon, semuanya tenggelam dalam ruang kosong yang tidak punya belas kasih.
Nathaneil hanya berdiri membelakangi mereka, diam, matanya menatap ke dinding seolah tembus pandang.
Clara tidak akan mati.
Dia akan hidup cukup lama untuk tahu arti sebenarnya dari penderitaan yang tidak berujung.
...****************...
Elric berdiri di sudut ruangan, sebagian wajahnya tersembunyi dalam bayang-bayang. Matanya mengikuti Clara yang diseret pergi sambil meronta, menjerit seolah dunia runtuh. Ia sudah lama menjadi saksi atas dinginnya keputusan Nathaneil, tapi baru kali ini ada sesuatu yang mengguncang batinnya lebih dalam dari biasanya.
Saat pintu besi menutup di belakang Clara, keheningan menggantung di udara. Aroma besi, darah, dan debu memenuhi ruang itu. Nathaneil masih berdiri membelakangi mereka, seperti patung tak bernyawa.
Elric melangkah pelan, tidak terlalu dekat, tapi cukup untuk didengar. "Apa itu... perlu, Tuan?"
Nathaneil tidak menjawab. Tangannya menyelip ke dalam saku jas, dan hanya suara napasnya yang terdengar.
Elric menunduk sejenak, lalu melanjutkan, "Saya mengerti balas dendam. Tapi ini... akan menghantui siapa pun yang menyaksikannya."
Diam.
Lalu perlahan, Nathaneil menoleh. Tatapannya tajam, namun tidak marah. "Bukan dendam, Elric," katanya lirih. "Keadilan. Dengan bahasa yang mereka mengerti."
Elric menahan napasnya sesaat. Ia tahu tak ada ruang untuk debat. Namun bukan itu yang membuat dadanya berat. Melainkan wajah Samantha yang tersenyum beberapa bulan lalu saat mengucapkan terima kasih karena Elric pernah membukakan pintu kantor untuknya. Wajah seorang wanita baik yang kini menjadi pusat dari kehancuran dan kebencian ini.
Ia mengangguk pelan. "Saya akan mengurus pemindahan Clara malam ini. Lokasi baru... tidak akan diketahui siapa pun."
Nathaneil hanya mengangguk, sekali, dan kembali menatap dinding. Elric pun berbalik, tapi sebelum ia melangkah lebih jauh, suara Nathaneil menahannya:
"Elric."
Ia menoleh.
"Pastikan tidak ada satu pun dari mereka yang bisa bicara... selain pada rasa takut."
Ada jeda singkat sebelum Elric menjawab. "Tentu, Tuan."
Lalu ia pergi, langkahnya berat tapi mantap, membawa bayang-bayang perintah yang tak bisa dibantah... dan beban moral yang akan tinggal bersamanya lebih lama dari luka apa pun.
...****************...
Langkah-langkah Nathaneil menggema di sepanjang lorong beton yang dingin dan berlumur bayangan. Bau darah, karat, dan ketakutan masih melekat di udara. Tapi dia tidak menoleh ke belakang. Tak sekali pun.
Pintu besi utama terbuka otomatis, suara dentangnya seperti akhir dari sebuah hukuman yang baru dimulai. Cahaya malam menyambutnya, pucat dan muram, menyoroti wajahnya yang kelam tanpa ekspresi.
Ia masuk ke dalam mobil sendirian. Tidak ada supir malam ini. Mesin menyala, tapi tangannya tidak langsung menggenggam kemudi. Ia menatap jauh ke depan, ke gelap yang tidak memberinya jawaban.
Bukan penyesalan yang memenuhi dadanya. Ia tidak menyesali tangan Axton yang terpotong. Ia tidak menyesali Clara yang sekarang meringkuk dalam sel pengawasan tanpa waktu, dihantui ketakutan dari hari ke hari.
Yang mencengkeram hatinya adalah fakta bahwa semua itu harus terjadi... karena seseorang menyentuh Samantha.
Samantha.
Matanya terpejam sejenak. Ingatan akan tubuh lemah perempuan itu di pelukannya, darah yang mengering di ujung bibirnya, napas yang nyaris tak terdengar... membuat amarahnya kembali menyala di balik dada yang seolah terbuat dari baja.
"Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitinya. Tidak lagi," bisiknya lirih ke dalam gelap.
Tangannya mengencang di kemudi. Ia bukan pria baik, dan dia tahu itu. Dunia telah mengubahnya, membentuknya dari luka dan kesepian. Tapi untuk Samantha, dia rela menjadi monster yang bahkan setan pun takut menyebut namanya.
Dia tahu, dunia tidak akan pernah memberi mereka akhir yang sederhana. Tapi jika harga untuk melindunginya adalah menjadi penguasa bayangan, maka biarlah ia tinggal di sana selamanya.
Dengan tarikan napas berat, ia menekan pedal gas. Mobil meluncur keluar dari pekatnya malam, menembus jalanan kosong dengan kecepatan stabil.
Tak ada lagi ampun. Tak ada lagi celah.
Samantha adalah satu-satunya alasan dia masih memiliki sisa nurani.
Dan siapa pun yang berani menyentuhnya...
Akan ia buat mengenal arti penderitaan yang bahkan kematian pun enggan mendekap.