NovelToon NovelToon
Brautifully Hurt

Brautifully Hurt

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: PrettyDucki

Narendra (35) menikah untuk membersihkan nama. Adinda (21) menikah untuk memenuhi kewajiban. Tidak ada yang berencana jatuh cinta.

Dinda tahu pernikahannya dengan Rendra hanya transaksi. Sebuah kesepakatan untuk menyelamatkan reputasi pria konglomerat yang rusak itu dan melunasi hutang budi keluarganya. Rendra adalah pria problematik dengan citra buruk. Dinda adalah boneka yang dipoles untuk pencitraan.

Tapi di balik pintu tertutup, di antara kemewahan yang membius dan keintiman yang memabukkan, batas antara kepentingan dan kedekatan mulai kabur. Dinda perlahan tersesat dalam permainan kuasa Rendra. Menemukan kelembutan di sela sisi kejamnya, dan merasakan sesuatu yang berbahaya dan mulai tumbuh : 'cinta'.

Ketika rahasia masa lalu yang kelam dan kontrak pernikahan yang menghianati terungkap, Dinda harus memilih. Tetap bertahan dalam pelukan pria yang mencintainya dengan cara yang rusak, atau menyelamatkan diri dari bayang-bayang keluarga yang beracun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PrettyDucki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Awal atau Akhir

Setelah menimbang berhari-hari, akhirnya Dinda menekan tombol panggil. Suara Bima terdengar di seberang sana setelah dering ketiga.

"Halo."

"Mas Bima... ini aku." Suara Dinda pelan, hampir ragu.

Ada jeda singkat. Lalu suara Bima kembali terdengar, lebih lembut. "Dinda. Gimana kabar kamu?"

"Aku... aku baik. Mas Bima gimana keadaannya? Lukanya udah sembuh?"

Bima tertawa kecil, meski terdengar pahit. "Nggak parah kok. Udah jauh lebih baik sekarang."

"Maaf ya, Mas..." Dinda menggigit bibir bawahnya. "Aku jadi bikin Mas Bima keseret masalah. Harusnya aku bisa cegah sebelum--"

"Din." Bima memotong lembut. "Bukan salah kamu. Sama sekali bukan."

Hening. Dinda bisa mendengar suara napas Bima di seberang sana. Teratur, tapi ada sesuatu yang ditahan.

"Kamu nggak luka kan?" Suara Bima berubah lebih serius, khawatir.

"Aku nggak apa-apa, Mas. Cuma lecet dikit." Dinda cepat-cepat meyakinkan.

Desahan lega terdengar dari seberang.

Keheningan kembali menyelimuti. Tapi kali ini lebih berat. Ada kata-kata yang menggantung di udara, walau belum diucapkan.

"Setelah aku pulang... gimana?" Bima bertanya pelan. "Dia masih marah?"

"Kami ngobrol di rumah Ayah. Dia... lebih tenang setelah itu." Suara Dinda terdengar lega, tapi tetap ada beban yang tersisa.

"Dinda." Kali ini nada Bima berubah. Lebih serius. Dan lebih... putus asa mungkin. "Aku bukan mau ikut campur urusan rumah tangga kamu. Tapi sebagai orang yang peduli sama kamu, aku harus bilang ini. Temperamen suami kamu itu... berbahaya."

Dinda menarik napas dalam. Ia sudah antisipasi arah pembicaraan ini.

"Aku khawatir sama keselamatan kamu, Din. Kalau dia bisa kayak gitu sama laki-laki dewasa, apa jaminannya dia nggak akan--"

"Dia nggak pernah kayak gitu sama aku." Dinda memotong tegas, tapi suaranya bergetar. "Aku juga... aku juga kaget waktu lihat dia begitu. Tapi Mas, dia nggak pernah sentuh aku dengan kasar. Nggak pernah sekali pun."

"Belum." Kata Bima. Satu kata yang terasa seperti tamparan. "Belum, Din. Dan aku nggak mau tunggu sampai 'belum' jadi 'sudah'."

Air mata mulai berkumpul di pelupuk mata Dinda. "Mas..."

"Kamu bahagia nggak sama dia? Jujur."

Pertanyaan itu menggantung berat di udara.

"Aku... ini rumit, Mas."

"Rumit bukan bahagia, Din." Suara Bima melembut. "Kamu tau, sekarang perpisahan nggak setabu dulu. Kalau kamu merasa nggak aman dan nggak bahagia, kamu punya pilihan--"

"Mas Bima." Dinda memotong, suaranya lebih kuat sekarang. "Aku tau maksud Mas Bima baik. Dan aku menghargai semua perhatian yang Mas Bima kasih selama ini."

Dinda menarik napas dalam, mengumpulkan keberanian.

"Mas Rendra mungkin memang bukan orang baik. Banyak hal dalam diri dia yang... rusak. Tapi aku percaya dia nggak pernah berniat nyakitin aku. Dan aku... aku sayang sama dia."

Hening total dari seberang sana.

Dinda melanjutkan, suaranya bergetar tapi penuh tekad. "Pernikahanku memang nggak perfect. Bahkan jauh dari itu. Tapi aku masih mau coba. Aku masih berharap kami bisa jadi lebih baik."

"Din--"

"Dan Mas Bima..." Dinda menghapus air mata yang mulai jatuh. "Aku mau bilang makasih. Makasih udah jadi kakak yang sangat baik buat aku. Dari kecil sampai sekarang. Mas Bima selalu ada. Selalu ngerti. Selalu protect aku." Suaranya pecah sedikit. "Tapi aku nggak mau hubungan Mas Bima dan suamiku terus kayak gini. Aku nggak mau kalian musuhan. Aku harap... kalian bisa saling menghargai. Untuk aku."

Keheningan panjang.

Lalu terdengar napas berat dari Bima. "Kamu... kamu udah putuskan ya?"

"Iya."

"Dan nggak ada yang bisa aku bilang untuk ubah keputusan kamu?"

"Nggak ada, Mas."

Hening lagi. Lebih lama kali ini.

"Okay." Suara Bima retak di ujung. "Kalau itu yang kamu mau... aku respect keputusan kamu."

"Makasih, Mas."

"Tapi Din..." Ada napas gemetar di sana. "Kalau suatu hari -dan aku harap hari itu nggak akan datang- tapi kalau suatu hari kamu butuh jalan keluar, aku akan ada. Selalu. Kamu tau kan?"

Dinda tersenyum walau masih menangis. "Aku ngerti."

Akhirnya Dinda mengerti akar kecemburuan Rendra dan kekhawatiran Tania selama ini. Dia bukan hanya 'adik' untuk Bima. Dinda adalah harapan. Bima selalu berharap di sana. Menunggunya, mengulurkan tangan, menjadi jaring pengaman untuknya.

"Dan Dinda?"

"Ya?"

"Aku... Aku minta maaf. Untuk semuanya." Suaranya nyaris berbisik.

Dinda paham semua yang tidak Bima katakan.

'Maaf karena punya perasaan yang tidak seharusnya sama kamu.'

'Maaf karena membuat segalanya jadi rumit.'

'Maaf karena aku tidak cukup baik untuk membuat kamu memilihku.'

"Mas Bima nggak perlu minta maaf." Kata Dinda lembut. "Mas Bima udah jadi kakak terbaik yang bisa aku punya."

"Ya." Bima tertawa getir. "Kakak."

"Bye, Mas Bima."

"Bye, Din. Jaga diri kamu ya. Dan... kalau dia sakiti kamu lagi, aku nggak akan diem."

"Aku tau."

Telepon terputus.

Dinda duduk diam di tepi ranjang, ponsel masih di tangan, air mata mengalir deras.

Ia baru saja menutup satu pintu. Dengan lembut, dengan hormat, tapi tegas. Dan sekarang, ia harus memutuskan, apakah ia akan membuka pintu lain?

Pintu kembali pada Rendra?

...*** ...

Hari-hari Dinda setelahnya adalah hari yang sangat berat. Nafsu makannya berkurang, tapi sepertinya bukan karena morning sickness. Lidahnya hanya tidak mampu merasakan lezatnya makanan di saat hatinya merasa tidak tenang.

Saat ia baru membuka mata di pagi hari, ia otomatis berpikir, 'Oh... biasanya aku akan mencari Mas Rendra di gym atau di ruang kerjanya.'

Saat ia hendak makan, otaknya memutar ingatan waktu ia sedang makan bersama Rendra. Ia akan menyiapkan makanannya, sesekali tersenyum sambil memperhatikan suaminya yang tetap tampan saat sedang mengunyah.

Dan yang paling buruk adalah ketika malam datang. Ia mencoba mengingat bagaimana hangatnya tubuh Rendra saat memeluknya dalam tidur. Napasnya yang teratur, jantungnya yang berdetak lembut, dan suara dengkuran halusnya di telinga.

Kemudian hari kelima setelah pertemuan terakhir Dinda dengan Rendra, Rico datang dengan sebuket besar mawar putih. Rani yang membukakan pintu untuknya.

"Ini untuk Bu Dinda." Kata Rico formal, sambil menyerahkan buket bunga.

Di antara tangkai mawar, ada kartu kecil dengan tulisan tangan :

"Forgive me."

Dua kata. Sederhana. Putus asa.

Rani membawa buket itu ke kamar Dinda. Putrinya sedang duduk di meja belajar, laptop terbuka tapi layarnya kosong. Sudah setengah jam tidak ada yang ia ketik.

"Ada kiriman." Kata Rani.

Dinda menoleh. Melihat buket besar mawar putih di tangan ibunya. Jantungnya berdegup lebih cepat. Ia ambil kartu dalam buket itu, kemudian membaca tulisan tangan Rendra yang familiar. Tajam, tegas, tapi kali ini... sepertinya ditulis dengan tangan gemetar.

Dinda tidak bilang apa-apa. Hanya menaruh kartu di laci mejanya lalu kembali menatap laptop.

Tapi malam harinya, sebelum tidur, ia buka laci dan membaca ulang kartu itu. Lagi. Dan lagi. Dan lagi.

Seminggu kemudian Rico kembali.

Kali ini dengan sekotak beef wellington yang masih hangat beserta orange juice segar. Rendra ingat Dinda pernah bilang dia suka beef wellington buatan Deka, maka ia bawakan itu padanya.

Tulisan di kartunya lebih panjang kali ini :

"If only you knew what it feels like to come home and you're not there. The penthouse is just a building without you. I'm just existing. Please let me make this right."

Dinda membacanya berulang kali.

Tutik -yang kebetulan sedang berkunjung- melirik dari sofa, "Suami kamu romantis juga ya, Din."

Dinda tidak menjawab. Tapi tangannya gemetar saat memegang kartunya. Ia makan beef wellington itu pelan-pelan. Setiap suap terasa seperti... kerinduan.

Hari ke-14 berbeda. Kali ini Rendra datang sendiri. Dari jendela kamar, Dinda melihat Bentley hitam yang familiar terparkir di depan rumahnya. Pintu belakangnya terbuka. Rendra turun dari sana. Masih dengan pakaian kerjanya dan wajah yang terlihat lelah.

Ia berjalan ke pintu depan dengan paper bag merah muda di tangan.

Dinda menahan napas, tangan mencengkeram tirai. Haruskah ia turun? Tapi kakinya tidak bergerak.

Rani membuka pintu. Rendra bicara sebentar, kemudian menyerahkan paper bag. Ia tidak minta masuk. Tidak minta bertemu Dinda. Hanya menyerahkan... lalu pergi.

Tapi sebelum masuk mobil, ia menoleh sekali ke arah jendela tempat Dinda berada. Mata mereka bertemu. Bahkan dari jarak itu, Dinda bisa melihat rasa remuknya. Hampir mengalahkan harapan yang nyaris mati tapi belum sepenuhnya padam.

Lalu ia masuk mobil. Dan pergi.

Dinda baru sadar ia menangis saat air mata jatuh ke tangannya. Tak lama kemudian Rani masuk dengan paper bag merah muda.

"Mungkin permintaan maafnya tulus, Din." Kata Rani pelan, menyerahkan kantung itu.

Dinda membukanya dengan tangan gemetar. Di dalamnya ada kotak beludru kecil yang langsung ia buka.

Kalung tipis dengan liontin love knot. Bukan berlian besar yang mencolok, tapi simple, elegant, personal. Jenis perhiasan yang Dinda mungkin akan memakainya, bukan cuma perhiasan mewah yang bagus di showcase.

Dan tentu saja ada kartu di sana. Tulisan tangan itu berbunyi :

"I love you. Please come back home."

Dua kalimat yang menghancurkan semua pertahanan yang Dinda bangun selama dua minggu ini.

Ia menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca.

"Dinda kangen Mas Rendra, Bu..." Suaranya nyaris berbisik, seperti pengakuan yang malu ia ucapkan.

Rani duduk di samping putrinya, memeluknya.

"Kamu sayang dia, ya?"

Dinda mengangguk, air mata akhirnya tumpah. "Tapi Dinda takut dia nggak bisa berubah. Takut ini cuma... fase honeymoon setelah pertengkaran."

Rani mengusap punggung Dinda lembut.

"Sayang, perubahan itu memang nggak instan. Tapi..." Ia angkat dagu Dinda, memaksanya menatap matanya. "Kalau dia sampai datang ke sini ninggalin gengsinya, ninggalin ego-nya, terus kirim bunga, makanan, hadiah, dan memohon kamu pulang... itu tandanya dia berusaha."

"Tapi, Bu--"

"Ibu nggak bilang kamu harus langsung percaya. Dan Ibu nggak bilang kamu harus maafin semua yang dia lakuin." Rani membelai pipi Dinda. "Tapi kalau hatimu masih sayang, nggak ada salahnya kasih dia kesempatan. Satu kesempatan terakhir."

"Kalau dia ulangi lagi--"

"Kamu bisa pulang ke sini. Dan kali itu, nggak akan ada lagi kesempatan." nada Rani tegas. "Kesempatan bukan kebebasan untuk nyakitin kamu lagi. Ini tes. Kalau dia lulus, kalian bisa perbaiki rumah tangga kalian. Kalau dia gagal..." Rani tidak melanjutkan kalimatnya, tapi maksud yang ingin ia sampaikan sudah sangat jelas.

Dinda menatap kalung dan kartu di tangannya.

"Please come back home."

Apakah Velmore adalah rumahnya? Atau rumah adalah tempat dimanapun Rendra berada?

...*** ...

1
Ecci Syafirairwan
🥰
Roxy-chan gacha club uwu
Ceritanya asik banget, aku jadi nggak tahan ingin tahu kelanjutannya. Update cepat ya thor!
PrettyDuck: Ditunggu ya kakk. Aku biasanya update jam 2 siang 🥰🥰
total 1 replies
Tsubasa Oozora
Sudah nggak sabar untuk membaca kelanjutan kisah ini!
PrettyDuck: Aa thank you kakak udah jadi semangatku untuk update 🤍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!