Hanashiro Anzu, Seorang pria Yatim piatu yang menemukan sebuah portal di dalam hutan.
suara misterius menyuruhnya untuk masuk kedalam portal itu.
apa yang menanti anzu didalam portal?
ini cerita tentang petualangan Anzu dalam mencari 7 senjata dari seven deadly sins.
ini adalah akun kedua dari akun HDRstudio.Di karna kan beberapa kendala,akun HDRstudio harus dihapus dan novelnya dialihkan ke akun ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bisquit D Kairifz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kota harborfall
Setelah pertemuan mengerikan dengan makhluk abu-abu itu, hutan kembali sunyi. Udara yang sebelumnya terasa berat perlahan berubah kembali normal, seolah makhluk itu benar-benar menghilang dari realitas.
Anzu, Alfred, dan Kyu’nell melanjutkan perjalanan mereka ke selatan. Aroma kayu basah, dedaunan, dan kabut yang perlahan turun menemani langkah-langkah mereka. Meski suasana telah kembali tenang, pikiran mereka tidak.
Terutama Alfred.
Dia berjalan sambil berdengus setiap beberapa menit. Bahkan suara ranting patah membuatnya melompat kecil.
“Anzu… tolong ingatkan aku untuk tidak ikut kau masuk hutan lagi. Ini… stress,” gerutunya sambil memegangi dadanya.
Anzu tidak menengok.
“Hm.”
“Hm apa?! Aku hampir mati ketakutan!”
“Kau tidak mati.”
“Astaga, aku bilang ‘hampir’!”
Kyu’nell tertawa kecil. “Kalian berdua lucu sekali. Seperti kucing dan anjing yang dipaksa berjalan bersama.”
Alfred menunjuk Anzu. “Iya! Dan aku kucingnya! Dia anjing galak yang siap menggigit apa saja—”
Anzu akhirnya melirik dengan tajam.
Alfred langsung diam.
“B-bukan maksudku begitu… hehe…”
Namun suasana itu, setidaknya, membuat tensi perjalanan kembali ringan.
---
Anzu berjalan paling depan, langkahnya stabil, matanya tajam. Meskipun ia tampak tenang, pikirannya terus teringat pada makhluk abu-abu tadi. Bagaimana makhluk itu tahu tentang “Sang Pewaris Dosa” dan “makhluk yang bersemayam di dalam dirinya”?
Satan tidak banyak bicara sejak kejadian itu.
Namun aura gelapnya terasa berdenyut lembut di dalam tubuh Anzu, seakan sedang merenung… atau menunggu sesuatu.
Kyu’nell menunjuk ke arah selatan dengan ekornya yang berbulu ungu.
“Kalau kita terus ke arah sana, akan ada kota besar. Namanya Harborfall. Kota pelabuhan. Banyak nelayan, pedagang kapal, dan orang-orang aneh dari berbagai daerah.”
Alfred berseri-seri.
“PELA-BU-HAN?! Ikan segar!! Anzu tolong, kita harus pergi! Harus! Aku belum makan ikan sejak keluar dari lembah!”
“Kau makan ikan tiga hari lalu,” jawab Anzu datar.
“Itu beda! Ikan hutan bukan ikan kota!”
Alfred menggenggam tangan Anzu memohon. “Ayolah! Aku janji tidak akan bikin masalah!”
Anzu mendesah pelan—tidak marah, hanya lelah menghadapi semangat bodoh sahabatnya. Ia menutup mulut Alfred dengan telapak tangan.
“…Bising.”
Alfred mengangkat kedua tangan tanda menyerah.
Akhirnya Anzu mengangguk kecil. “Kita pergi.”
Alfred melonjak kegirangan.
Kyu’nell tertawa. “Kalian benar-benar aneh.”
Hari demi hari mereka melintasi hutan selatan. Jalurnya lebih ringan dibanding bagian utara, namun tetap gelap dan penuh suara misterius.
Mereka berburu bersama.
Makan tikus hutan, ikan sungai, buah liar.
Malam hari Alfred tak bisa tidur karena terlalu takut, jadi ia tidur menempel Anzu seperti koala.
“Menjauh,” tegur Anzu setiap malam.
“Kalau aku jauh nanti ada monster nyulik aku,” jawab Alfred tanpa malu.
Begitulah mereka selama seminggu.
Hingga suatu sore…
Kyu’nell yang berada di dahan paling atas mendadak berhenti total.
Tubuhnya membeku.
Telinganya menegang.
Matanya melebar sedikit.
Ia tak bergerak satu milimeter pun.
Alfred menatap ke atas. “Oi, Kyu? Apa kau melihat harimau? Atau hantu? Atau—”
“Diam,” kata Anzu pelan.
Alfred langsung mengunci mulut.
Kyu’nell memejamkan mata…
Dan sebuah suara bergema di kepalanya—dalam, berat, menggetarkan tulang.
—Kyu’nell.—
Tubuhnya gemetar halus.
“…Ayah?”
—Upacara Penjaga akan dimulai.
Kembalilah ke klan.
Sekarang.—
Kyu’nell menelan ludah, Matanya memanas.
“Aku… sedang bersama tamu. Aku masih mengawal mereka.”
—Kyu’nell. Ini perintah.
Jika kau tidak kembali sebelum senja…
kita tak bisa lagi mengakui dirimu sebagai calon pewaris.—
Wajah Kyu’nell sontak pucat.
Senja… tinggal beberapa jam lagi.
“Tidak… aku… aku ingin… bersama mereka sedikit lagi…”
—Kembali.
Ini bukan pilihan.—
Suara itu menghilang.
Kyu’nell membuka mata, sedikit gemetar. Ada air yang menggenang, tapi ia cepat menghapusnya.
Ia turun perlahan ke depan Anzu dan Alfred.
“Maaf… aku dipanggil pulang karna ada Upacara penting, Aku harus kembali sekarang.”
Alfred menatapnya bingung. “Kok mendadak? Kau baik-baik saja?”
Kyu’nell mencoba tersenyum… tapi senyumnya goyah.
“Tidak apa-apa… hanya sedikit mendadak.”
Anzu melihat getaran ringan di tubuh Kyu’nell. Senyumnya terlalu dipaksa. Tapi Anzu tidak menanyakan apa-apa—dia tahu Kyu’nell tidak ingin menjelaskan.
Kyu’nell menunjuk ke arah selatan.
“Kalian tinggal lurus. Keluar dari hutan ini, akan terlihat gerbang besar kota Harborfall.”
Alfred memeluknya erat sekali.
“Hati-hati di sana! Jangan sampai dimakan serigala! Kalau kau jadi penjaga hutan hebat, aku mau lihat teknik barumu!”
Kyu’nell memeluknya balik.
“Terima kasih… Alfred. Kau selalu lucu.”
Ia menatap Anzu.
“…Terima kasih sudah membiarkanku ikut. Aku senang.”
Anzu hanya berkata pelan.
Anzu mengangguk pelan.“Pergilah.”
Kyu’nell mengangguk… lalu berlari menembus pepohonan, terus melompati dahan pohon hingga bayangannya menghilang.
Namun Anzu menyadari sesuatu:
Kyu’nell tidak hanya pergi karena tugas.
Ada ketakutan.
Seolah dia kembali ke tempat yang tidak ingin ia datangi.
Tapi perjalanan mereka harus lanjut.
---
Setelah Kyu’nell menghilang, Alfred menjadi lebih pendiam dari biasanya.
Bahkan saat mereka melewati sungai jernih, Alfred hanya menatap pantulan wajahnya.
“Anzu… aku boleh tanya sesuatu?”
“Hm.”
“Apa aku… jadi beban?”
Anzu berhenti berjalan.
Alfred tidak menatapnya—ia menatap tanah.
“Setiap kali kita bertarung… aku selalu ketinggalan. Selalu kau yang selamatkan aku. Aku ingin bantu, tapi… rasanya aku cuma memperlambatmu.”
Anzu memandangnya tanpa emosi seperti biasa, Tapi ia mendengarkan dengan sungguh-sungguh.
“Apa kau menyesal ajak aku ikut?”
Suasana hening beberapa detik.
Sungai mengalir pelan.
Angin meniup rambut Anzu.
Akhirnya Anzu menjawab:
“Kalau aku menganggapmu beban… aku tidak akan mengajakmu sejak awal.”
Alfred terpaku.
“Aku tidak butuh orang lemah. Tapi kau memilih ikut… dan kau bertahan sampai sekarang, Kau bukan beban.”
Nadanya dingin… tapi jujur.
Alfred mengedip cepat untuk menahan air mata. Bibirnya sedikit bergetar.
“Terima kasih… Anzu…”
Anzu menambahkan, lebih pelan:
“dan juga kau adalah temanku.”
Alfred langsung menutup wajahnya.
“Itu… itu terlalu menyentuh untuk keluar dari mulutmu, tahu?!”
Anzu jalan lagi sambil berkata datar.
“diam!.”
Namun Alfred kembali tersenyum.
Untuk pertama kalinya selama perjalanan, senyumnya tulus tanpa beban.
Beberapa jam berjalan, pepohonan mulai jarang.
Udara yang sebelumnya lembap perlahan berubah menjadi angin asin.
“Aku mencium bau laut!” teriak Alfred sambil berlari kecil.
Anzu mempercepat langkah.
Hingga akhirnya…
Cahaya terang menerobos celah pepohonan terakhir.
Dan…
Mereka keluar dari hutan.
Dari kejauhan—sekitar 1 kilometer—terlihat gerbang besar dari batu biru keabu-abuan. Jalannya ramai dengan gerobak kayu, pedagang, pengangkut ikan, dan orang-orang dari berbagai ras.
Bendera biru laut dengan simbol jangkar berkibar tinggi.
Harborfall.
Kota pelabuhan yang tidak pernah tidur.
Alfred mengangkat tangan ke udara. “AKHIRNYA!!! PERADABAN!!!”
Anzu hanya menatap kota itu dengan tenang.
Namun ada kegelisahan kecil—intuisinya berkata bahwa kota besar berarti lebih banyak mata… lebih banyak bahaya.
Tapi mereka perlu tempat istirahat. Makanan. Informasi.
Dan Anzu perlu melangkah menuju tujuannya.
Balas Dendam.
Saat mereka mendekati gerbang, suara keramaian semakin keras.
Penjaga kota dengan baju zirah biru menghentikan orang-orang untuk pemeriksaan.
“Aku sudah bisa cium aroma ikan panggang…” Alfred hampir meneteskan air liur.
“Fokus,” kata Anzu.
“Baik, baik, tapi… AYOLAH, ANZU! KITA MASUK KOTA!! ADA TEMPAT TIDUR SESUNGGUHNYA DI DALAM!!”
Anzu melangkah melewati batas gerbang…
Dan Alfred mengikuti dengan langkah ringan dan penuh antusias.
Di atas mereka, burung pelabuhan beterbangan, berteriak-teriak seolah menyambut.
Mereka memasuki Harborfall.
Tanpa menyadari…
Bahwa di salah satu menara gereja kota itu…
sepasang mata mengamati mereka.
Dan kain putih para pendeta yang bekerja diam-diam dengan Kerajaan Celestia… mulai bergerak.
Perburuan Anzu baru saja berganti arah.
Dan babak baru dimulai.
tapi gpp aku suka kok sama alur kisahnya semangat yahh💪