NovelToon NovelToon
WOTU

WOTU

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Kutukan / Penyeberangan Dunia Lain
Popularitas:536
Nilai: 5
Nama Author: GLADIOL MARIS

Di kota kecil Eldridge, kabut tidak pernah hanya kabut. la menyimpan rahasia, bisikan, dan bayangan yang menolak mati.

Lisa Hartman, gadis muda dengan kemampuan aneh untuk memanggil dan mengendalikan bayangan, berusaha menjalani hidup normal bersama dua sahabat masa kecilnya-Ethan, pustakawan obsesif misteri, dan Sara, sahabat realistis yang selalu ingin mereka tetap waras.

Namun ketika sebuah simbol asing muncul di tangan Lisa dan bayangan mulai berbicara padanya, mereka bertiga terseret ke dalam jalinan rahasia tua Eldridge: legenda Penjaga Tabir, orang-orang yang menjadi pintu antara dunia nyata dan dunia di balik kabut

Setiap langkah membawa mereka lebih dalam pada misteri yang membingungkan, kesalahpahaman yang menimbulkan perpecahan, dan ancaman makhluk yang hanya hidup dalam bayangan. Dan ketika semua tanda mengarah pada Lisa, satu pertanyaan pun tak terhindarkan

Apakah ia pintu menuju kegelapan atau kunci untuk menutupnya selamanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GLADIOL MARIS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

MALAM PERTAMA DI RUMAH REDFIELD

Lisa duduk di kursi kayu tua itu seperti patung yang lupa bernapas. Kursinya berderit pelan setiap kali ia bergeser, seolah ikut merasakan ketegangan yang merayap di tulang punggungnya. Tangannya — yang sejak tadi disembunyikan di bawah meja — gemetar hebat. Bukan cuma ujung jarinya. Seluruh lengannya bergetar, dari pergelangan sampai siku. Ia mencoba menekannya ke paha, tapi getaran itu nggak mau berhenti. Kayak mesin rusak yang dipaksa jalan terus.

Udara di ruangan ini… bukan cuma dingin. Tapi salah. Bukan dingin biasa kayak AC rusak atau angin malam. Ini dingin yang nempel. Nempel di kulit, di paru-paru, di tulang belakang. Bau debu dan kertas tua masih ada, tapi sekarang bercampur sama sesuatu yang lain — bau tanah basah, bau kayu lapuk yang mulai membusuk, dan… bau logam. Kayak besi berkarat. Atau darah kering.

Dan yang paling bikin merinding?

Ada yang ngeliatin.

Bukan mata manusia. Bukan juga mata kucing atau burung hantu yang suka nongkrong di jendela. Ini… kayak ada kehadiran. Sesuatu yang diam-diam nongkrong di pojok gelap, di balik rak buku, di bawah meja — nungguin mereka bikin salah langkah.

Sara masih nempel di dekat pintu, punggungnya menempel ke kayu tua yang catnya mengelupas. Napasnya pendek-pendek, kayak orang yang baru lari sprint tapi takut ngeluarin suara. Matanya nggak berhenti ngeliatin sekeliling — ke rak buku, ke tirai tebal, ke lantai, ke langit-langit. Setiap bayangan yang bergerak dikira hantu. Setiap suara derit kayu dikira langkah kaki.

“Aku nggak suka ini,” bisiknya, suaranya serak kayak habis nangis. “Aku beneran nggak suka, Lis. Aku serius. Ini… ini ngeri banget.” Entah sudah berapa kali kata yang sama terus terucap sejak kegilaan ini bermula.

Lisa cuma bisa menelan ludah. Nggak berani jawab. Karena dia ngerasa hal yang sama. Tapi nggak bisa kabur. Karena sesuatu di dalam dirinya — di telapak tangannya — nggak mau lepas.

Ethan diam. Tapi matanya… menyala. Bukan kayak orang takut. Tapi kayak anak kecil yang baru nemu mainan paling keren sepanjang hidupnya. Ia nunduk, perhatiin meja kayu tua di depan mereka — meja yang permukaannya penuh coretan simbol aneh, tinta hitam yang kayaknya masih basah, dan… bekas cahaya samar yang tadi muncul pas Lisa nyentuh permukaannya.

Ia nengok ke tangan Lisa — yang masih disembunyiin di bawah meja — lalu ke Redfield, yang duduk tenang di kursinya kayak lagi nonton pertunjukan teater.

Redfield nggak buru-buru. Ia cuma nengok Lisa, matanya tajam kayak pisau bedah. Lalu, dengan suara pelan tapi menusuk kayak paku yang dipalu pelan-pelan ke tengkorak,

“Kau adalah kuncinya.”

Lisa menelan ludah. Rasanya kayak ada batu nempel di tenggorokan.

“Bukan cuma pintu. Bukan cuma penjaga. Kau adalah satu-satunya yang bisa membuka… atau menutup semuanya.”

Lisa menggigit bibir dalam-dalam. Dadanya sesak. Napasnya pendek. “Aku… aku nggak ngerti,” bisiknya, suaranya pecah. “Aku cuma… aku cuma bisa bikin bayangan bergerak. Itu aja. Nggak lebih.”

Redfield nggak marah. Nggak kesel. Ia cuma nengok Lisa kayak guru yang nungguin muridnya sadar sendiri.

“Kau pikir itu ‘cuma’?” katanya, nada suaranya datar tapi bikin merinding. “Kau pikir orang biasa bisa menyentuh bayangan dan membuatnya tunduk? Kau pikir orang biasa bisa membuat simbol Cormac menyala hanya dengan menyentuh meja tua ini?”

Lisa menunduk. Tangannya ia sembunyikan lebih dalam di bawah meja, tapi percuma. Cahaya samar — biru kehitaman, kayak api dari dasar laut — masih keluar dari sela-sela jarinya. Panas. Berdenyut. Seperti jantung kecil yang hidup di bawah kulitnya. Dan setiap kali ia nafas, denyutnya makin kencang. Kayak nanggepin sesuatu.

“Lalu… apa yang harus aku lakukan?” tanyanya, suaranya serak kayak habis teriak semalaman.

Redfield menarik napas panjang. Napasnya berat, kayak orang yang lagi nahan beban ratusan tahun. Ia menatap Lisa lama, seolah-olah lagi nimbang apakah Lisa cukup kuat dengerin kebenaran selanjutnya.

“Kau harus belajar,” katanya akhirnya. “Sebelum mereka datang lagi. Sebelum kau kehilangan kendali.”

“Mereka?” tanya Sara, suaranya pecah kayak kaca jatuh. “Siapa ‘mereka’?”

Redfield nggak jawab langsung.

Ia berdiri perlahan. Kayu kursi berderit panjang, seolah protes. Tongkat kayunya — yang permukaannya penuh ukiran aneh — mengetuk lantai satu kali. Tok.

Lalu, tanpa menoleh, ia berkata,

“Ikuti aku.”

Dan saat itu, dari balik tirai tebal di pojok ruangan… terdengar suara.

Bukan suara angin.

Bukan suara tikus.

Tapi suara napas.

Panjang. Dalam. Pelan.

Kayak ada yang baru bangun… dan lagi nungguin mereka masuk lebih dalam.

---

[Dapur Redfield – Mencari Jawaban Sambil Ngopi]

Redfield membawa mereka ke dapur — bukan dapur biasa, tapi ruangan kecil di belakang rumah yang terasa seperti gua penyihir tua dari cerita anak-anak. Dindingnya dipenuhi rak kayu yang menahan botol-botol kaca berisi cairan aneh, ada yang berwarna ungu pekat seperti anggur busuk, ada yang hijau neon seperti lendir alien, dan satu botol berisi cairan hitam yang bergerak sendiri, seolah bernapas.

Panci-panci tua menggantung di atas kompor besi tua, sebagian berkarat, sebagian lagi masih mengkilap meski sudah puluhan tahun tidak dipakai. Di sudut, ada timbangan kuno dengan piringan kuningan, dan di sampingnya, mangkuk kayu berisi rempah-rempah kering yang baunya menusuk hidung — bukan wangi, tapi menyengat, seperti campuran kayu bakar, akar pahit, dan sesuatu yang tidak bisa disebutkan namanya.

Udara di sini lebih hangat daripada ruang belakang tadi, tapi bukan hangat yang nyaman. Ini hangat yang bikin keringat dingin. Seperti hangatnya ruang tunggu dokter sebelum divonis sakit parah.

“Duduk,” perintah Redfield, suaranya datar tapi tidak dingin. Ia menunjuk kursi kayu di sekeliling meja bundar kecil yang permukaannya penuh goresan dan noda cairan yang tidak bisa diidentifikasi.

Sara tidak bergerak. Ia masih berdiri di ambang pintu, punggungnya menempel ke dinding kayu yang retak. Matanya melirik ke setiap sudut, seolah menghitung jalan keluar. “Aku nggak lapar. Aku pengen tahu cara keluar dari mimpi buruk ini.”

Redfield menoleh perlahan. Matanya biru pucat, tapi tajam seperti pisau bedah. “Duduk.” Kali ini, nada suaranya bukan perintah biasa. Ini suara yang tidak bisa ditolak — suara yang membuat tulang belakang Sara merinding, membuat kakinya bergerak sendiri tanpa izin otak.

Sara duduk. Tapi bukan duduk biasa. Ia duduk dengan punggung tegak, tangan mengepal di atas paha, wajah cemberut seperti anak kecil yang dipaksa makan sayur.

Redfield tidak menanggapi. Ia berjalan ke lemari kayu di sudut, membuka pintunya yang berderit panjang, lalu mengeluarkan teko keramik tua berwarna cokelat tua. Di permukaannya, ada goresan simbol kecil — sama dengan simbol di tangan Lisa.

Ia menuangkan cairan hitam pekat ke dalam tiga cangkir keramik. Cairannya kental, berkilau samar, dan baunya… bukan kopi. Bukan teh. Bukan jamu. Ini bau yang tidak ada di dunia manusia biasa — campuran kayu terbakar, tanah basah, dan sesuatu yang samar-samar mirip darah kering.

“Minum,” katanya, meletakkan cangkir di depan masing-masing dari mereka. “Ini bukan untuk rasa. Ini untuk jiwa. Untuk menenangkan saraf yang terlalu banyak melihat.”

Lisa mengangkat cangkirnya perlahan. Uapnya mengepul, tapi bukan uap biasa — uapnya berwarna abu-abu kebiruan, dan bergerak seperti asap yang punya arah sendiri. Ia meniup permukaannya yang panas, lalu menatap Redfield. “Apa ini… aman?”

Redfield duduk di kursi kepala meja.

Tangannya yang keriput menutup cangkirnya sendiri, tapi ia tidak minum. Hanya memegang. “Lebih aman daripada kabut di luar sana,” jawabnya, suaranya rendah. “Minum. Atau kalian tidak akan bisa mendengar apa yang akan aku katakan selanjutnya.”

Lisa menatap Ethan. Ethan mengangguk pelan. Lisa menatap Sara. Sara menggeleng, tapi tetap mengangkat cangkirnya.

Mereka bertiga menyeruput cairan itu bersamaan.

Rasanya pahit. Bukan pahit kopi. Bukan pahit obat. Ini pahit yang menusuk lidah, lalu menjalar ke tenggorokan, lalu menyebar ke dada seperti api kecil yang membakar dari dalam. Tapi setelah itu… hangat. Hangat yang merayap ke seluruh tubuh, membuat otot-otot yang kaku mulai rileks, membuat napas yang tersengal mulai teratur.

Lisa merasa dadanya tidak lagi sesak. Tangannya yang gemetar mulai tenang.

“Baik,” kata Redfield, meletakkan cangkirnya. “Waktunya bicara terus terang. Kalian datang ke sini karena kalian ingin tahu. Maka aku akan memberitahu kalian apa yang perlu kalian tahu.” Ia menatap mereka satu per satu, matanya berhenti lebih lama di Lisa. “Tapi ingat — pengetahuan ini adalah beban. Sekali kau tahu, kau tidak bisa berpura-pura tidak tahu lagi. Kau tidak bisa kembali ke kehidupan biasa. Kau tidak bisa bilang ‘ini cuma mimpi’. Karena ini nyata. Dan kau sekarang bagian dari kenyataan ini.”

Ethan mencondongkan tubuh ke depan, siku di atas meja, mata berbinar. “Kami siap.”

Redfield mengangguk. “Pertama, tentang Eldridge.”

Ia merogoh saku gaun hitamnya yang lusuh, lalu menarik secarik kertas kusam — bukan kertas biasa, tapi semacam perkamen tipis yang baunya seperti debu kuno dan tinta yang sudah kering ratusan tahun. Ia membentangkannya di atas meja, menekan sudut-sudutnya dengan batu kecil yang entah dari mana.

Di atasnya, tergambar peta kasar kota Eldridge — tapi bukan peta wisata. Ini peta yang digambar tangan, dengan simbol-simbol aneh di setiap sudut, garis-garis yang tidak lurus, dan catatan kecil di pinggirannya yang tulisannya hampir tidak bisa dibaca.

---

1
~abril(。・ω・。)ノ♡
Saya merasa seperti berada di dalam cerita itu sendiri. 🤯
GLADIOL MARIS: Semoga betah nemenin Lisa di Wotu dalam perjalannya 🤗
total 2 replies
Không có tên
Kocak abis
GLADIOL MARIS: Waduh, susah nih bikin kakak takut pas baca kayaknya⚠️
total 1 replies
GLADIOL MARIS
Halo teman-teman yang sudah menyempatkan mampir. Aku harap WOTU bisa nemenin kalian nantinya😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!