Di bawah pesona abadi Kota Roma, tersembunyi dunia bawah yang dipimpin oleh Azey Denizer, seorang maestro mafia yang kejam dan tak tersentuh. Hidupnya adalah sebuah simfoni yang terdiri dari darah, kekuasaan, dan pengkhianatan.
Sampai suatu hari, langitnya disinari oleh Kim Taeri—seorang gadis pertukaran pelajar asal Korea yang kepolosannya menyilaukan bagaikan matahari. Bagi Azey, Taeri bukan sekadar wanita. Dia adalah sebuah mahakarya yang lugu, sebuah obsesi yang harus dimiliki, dijaga, dan dirantai selamanya dalam pelukannya.
Namun, cinta Azey bukanlah kisah dongeng. Itu adalah labirin gelap yang penuh dengan manipulasi, permainan psikologis, dan bahaya mematikan. Saat musuh-musuh bebuyutannya dari dunia bawah tanah dan masa kelam keluarganya sendiri mulai memburu Taeri, Azey harus memilih: apakah dia akan melepaskan mataharinya untuk menyelamatkannya, atau justru menguncinya lebih dalam dalam sangkar emasnya, meski itu akan menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Veronica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berkunjung
Mobil mewah itu meluncur pelan di jalan raya yang dipenuhi terik matahari. Panasnya memanggang aspal, dan angin yang masuk melalui jendela membawa aroma bunga liar yang kuat, hampir memabukkan. Leonardo melirik Yuna di sampingnya. Wajahnya, yang biasanya ekspresif, kini tertutup, seperti topeng.
"Jadi, kenapa kamu tidak mau masuk kuliah, sayang?" tanya Leonardo, nadanya datar namun matanya menyelidik. Ia menepuk pelan tangan Yuna yang tergeletak di pangkuannya, seolah mencari koneksi. "Apa yang sebenarnya ada di pikiranmu hari ini?"
Yuna menoleh, senyumnya lebar namun terasa hampa. Matanya tidak ikut tersenyum. Ia kembali menatap layar ponselnya, lalu mengangkat bahu. "Hari ini aku..." Suaranya menggantung, menyimpan sesuatu yang penting, "aku ingin ke mansion taeri, tadi pagi dia nelpon katanya dia Hamil."
Alis Leonardo terangkat nyaris sempurna, ekspresinya antara tak percaya dan geli. "Hamil? Secepat ini?" Ia menggeleng pelan, seolah menikmati kejutan itu. "Jadi, ini anak Tuan Azey?" Nada suaranya bermain-main, seolah sedang menguji reaksi Yuna.
Yuna mendengus, tawanya renyah namun sedikit kesal. "Ya iyalah anak Tuan Azey! Memangnya siapa lagi yang berani 'menghamili' Taeri?" Ia mencubit lengan Leonardo, pura-pura marah. "Pertanyaan macam apa itu!" Ia menyandarkan kepalanya di bahu Leonardo, mencari kehangatan. Sentuhan lembut di pahanya mengirimkan aliran listrik yang menenangkan.
Leonardo menanggapinya dengan acuh tak acuh, namun tangannya merangkul bahu Yuna semakin erat, seolah mencoba menahannya. Jemarinya menari-nari di antara helaian rambut Yuna, seolah mencari tahu isi kepalanya. Sebuah ide licik berkelebat di benaknya. "Kalau kamu sendiri, kapan mau hamil, sayang?" bisiknya rendah. Suaranya sarat akan tekanan tersembunyi, membuat jantung Yuna berpacu lebih cepat dari biasanya.
Yuna merona. Rona merah muda menjalar di pipinya saat ia mengangkat wajahnya, menatap Leonardo dengan mata penuh harap. "Aku? Ehm... kayaknya nanti-nanti aja deh, Kak. Aku masih pengen kita pacaran kayak gini," ucapnya ragu. Jantungnya berdebar kencang menanti jawaban Leonardo, seolah hidupnya bergantung padanya. "Kakak tidak keberatan, kan?" Tanyanya, berusaha menyembunyikan kegelisahan.
Sejujurnya, Yuna belum pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Meskipun dua bulan terakhir ini hubungan mereka sudah sangat intim, terkadang nyaris tak terkendali, pikiran tentang kehamilan terasa seperti memasuki wilayah yang belum siap ia jelajahi.
Leonardo mencondongkan tubuh, mengecup lembut kening Yuna, seolah menyegel janji untuk selalu melindunginya. "Itu pilihanmu, Sayang. Aku percaya padamu, dan aku akan mendukung apa pun yang membuatmu bahagia," jawabnya tulus. Dalam hatinya, ia merasa bangga dengan Yuna yang berani menentukan pilihannya sendiri.
Yuna tersenyum lega, senyum yang tulus dan menghangatkan hati Leonardo. "Terima kasih, Sayang. Aku tahu aku bisa mengandalkanmu," bisiknya. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Leonardo, menggenggam tangannya erat, merasakan kehangatan dan cinta yang mengalir di antara mereka.
Mobil terus melaju, meninggalkan jejak percakapan yang penuh pengertian dan cinta. Perjalanan menuju mansion Taeri terasa seperti petualangan yang akan mereka hadapi bersama, dengan keyakinan bahwa cinta mereka akan menuntun mereka melewati segala rintangan.
Setelah satu jam perjalanan, mobil mewah itu berhenti di depan mansion Azey yang megah. Taman luas yang mengelilinginya tampak seperti permadani hijau yang sempurna, seolah disisir oleh tangan dewa. Yuna melompat keluar dengan semangat, hatinya berdebar setelah berkeliling kota bersama Leonardo sejak pagi. Pria itu menyusulnya, tangannya melingkari pinggang Yuna dengan posesif, seolah menandai wilayahnya.
Begitu masuk, mereka disambut oleh seorang pelayan yang sedang membersihkan ruang tamu. "Di mana Taeri, Bibi Orellana? Aku ingin menemuinya," tanya Yuna, suaranya penuh energi dan senyumnya merekah, kontras dengan tatapan tajam Leonardo yang mengamati sekeliling.
Orellana, dengan senyum ramah yang menghiasi wajahnya yang berkerut, mengangguk hormat. "Nona Taeri sedang di kamarnya, Nona. Beliau jarang turun sejak mengetahui kehamilannya," ucapnya pelan, seolah menyimpan rahasia. Matanya berkilat sejenak, seolah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan. "Beliau sedang... sangat menikmati perhatian Tuan Azey."
Yuna mengangguk mengerti, matanya berbinar membayangkan temannya yang sedang mengandung. Sementara itu, Leonardo tetap diam, pandangannya menyapu setiap sudut ruangan, seolah mencari sesuatu yang tersembunyi.
Di kamar Taeri yang luas di lantai atas, Taeri duduk di tepi tempat tidur, tangannya melindungi perutnya. Ia menoleh ke arah Azey yang berdiri di dekat jendela. "Sayang, bagaimana persiapan pembukaan galeri nanti malam? Apa semuanya sudah siap?" tanyanya lembut. Ini sangat penting baginya.
Azey berbalik, tersenyum. Ia mendekati Taeri dan duduk di sampingnya. "Semuanya sudah diatur," jawabnya. Ia meraih tangan Taeri dan mengusapnya pelan. Taeri tersenyum lega, lalu memainkan kancing kemeja Azey dengan gugup.
Tiba-tiba, ketukan pelan di pintu memecah keheningan yang terasa menyesakkan. "Permisi, Tuan, Nona… maaf mengganggu," suara Orellana terdengar dari balik pintu. "Nona Yuna datang berkunjung."
Taeri tersenyum lebar mendengar nama sahabatnya, matanya berbinar. "Suruh dia menunggu di ruang tamu, Bibi. Aku akan segera turun!" serunya gembira, bangkit dari tempat tidur dengan semangat. Ia sudah lama tidak bertemu Yuna.
Azey menatapnya tajam, matanya memindai tubuh Taeri yang hanya terbalut negligee sutra tipis. "Ganti pakaianmu," bisiknya rendah, suaranya penuh perintah yang dilapisi dengan sentuhan posesif. Ia menarik Taeri mendekat, membisikkan di telinganya, "Jangan biarkan orang lain melihatmu seperti ini, baby. Hanya aku yang boleh melihatmu selemah ini." Pipi Taeri merona, ia menyadari betapa sedikit yang menutupi tubuhnya, dan bergegas menuju lemari pakaian.
Di ruang tamu mansion yang luas, Yuna duduk santai di sofa brokat, jarinya memainkan renda gaunnya sambil mengamati sekeliling dengan mata berbinar. Ia merasa seperti Alice di negeri ajaib, tersesat dalam kemewahan yang tak terbayangkan.
Di sampingnya, Leonardo duduk tegak seperti patung, tatapannya menyelidik. Ia mengusap lembut rambut Yuna, namun pikirannya jauh dari sana. Ia tahu Yuna tidak selalu terpesona oleh kemewahan, tapi ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya kali ini.
"Kak, mansion Tuan Azey gede banget ya," celetuk Yuna, suaranya penuh kekaguman yang berlebihan. "Padahal, dulu dia tinggal sendirian di sini. Sekarang, tempat ini seperti istana." Ia mengamati interior mewah itu dengan tatapan yang sulit diartikan, kagum, iri, atau mungkin sesuatu yang lebih dalam.
Leonardo tersenyum tipis, namun matanya yang biru sedingin es. Ia menarik pinggang Yuna hingga tubuh mereka bersentuhan. "Kamu ingin mansion setelah kita menikah? Aku punya properti di Trevi yang tidak kalah mewah," bisiknya, suaranya penuh janji. Ia akan memberikan apa pun untuk Yuna, asalkan ia tetap berada di sisinya.
Yuna tertawa, namun tawanya terdengar hampa. Ia menggelengkan kepala. "Nggak perlu, Kak. Penthouse kamu sudah lebih dari cukup. Lagipula, mansion sebesar ini hanya akan membuat kita kesepian," balasnya, namun matanya masih tertuju pada langit-langit yang dihiasi lukisan dinding yang rumit.
Tiba-tiba, suara langkah kaki yang anggun menuruni tangga marmer memecah keheningan. Taeri muncul, wajahnya berseri-seri namun pipinya merona, seperti pengantin yang baru saja dipersatukan. Di sampingnya, Azey berjalan dengan langkah tegas, tangannya melingkari pinggang Taeri seolah memamerkan trofi yang dimenangkannya. Kehamilan hanya membuat Taeri semakin bercahaya, gaun empire line-nya menutupi perutnya yang mulai membesar.
"Yuna!" seru Taeri senang, menghampiri sahabatnya dan memeluknya erat. "Sudah lama sampainya?"
Yuna membalas pelukan itu dengan antusias, namun ada senyum jahil yang tersembunyi di bibirnya. "Baru saja. Kamu terlalu asyik di kamar. Memangnya nggak takut 'bernaninu' terus saat hamil?" godanya, matanya berbinar nakal.
Taeri melepaskan pelukan dan memukul lengan Yuna pelan, wajahnya memerah. "Eh, mulutmu! Siapa juga yang 'bernaninu'? Aku cuma istirahat!" bantahnya, namun nadanya lebih menggoda daripada marah sungguhan.
Azey, yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. Tatapannya dingin dan tajam tertuju pada Leonardo, seolah sedang mengukur lawannya. "Leo, ikut aku ke ruang kerjaku," perintahnya tanpa basa-basi, suaranya tak terbantahkan. Ia berbalik dan melangkah menuju tangga, meninggalkan aroma oud yang mahal di belakangnya.
Leonardo mengangguk hormat, tatapannya bertemu dengan Yuna sejenak sebelum mengikuti Azey ke lantai atas. Taeri dan Yuna saling bertukar pandang, rasa ingin tahu dan firasat aneh berkecamuk di hati mereka.
Begitu Azey dan Leonardo menghilang di balik tangga, Yuna dan Taeri langsung berhamburan ke sofa, berpelukan erat seperti dua remaja yang kembali bersatu setelah berpisah lama. Kehangatan persahabatan itu menyelimuti Yuna, namun rasa penasaran.
"Jadi, bagaimana kabar calon keponakanku, Tae?" tanya Yuna, suaranya penuh semangat. Matanya menatap perut Taeri dengan tatapan menyelidik, seolah mencari tanda-tanda kehidupan. "Sudah berapa lama?"
Taeri tertawa kecil, namun ada nada gugup dalam tawanya. Pipinya merona. "Baru seminggu, Yun. Dokter bilang aku harus banyak istirahat. Dan kamu tahu? Aku belum pernah melihat Azey sebahagia ini. Biasanya dia seperti patung es, tapi kemarin… dia benar-benar tersenyum!" Suaranya bergetar, seolah kebahagiaan itu terlalu rapuh untuk dipegang erat. Ia mengelus perutnya yang masih rata dengan gerakan protektif, seolah takut sesuatu akan merebutnya.
Mendengar cerita Taeri, Yuna merasakan kebahagiaan yang campur aduk dengan kekhawatiran yang mendalam. Ia tahu hubungan Taeri dan Azey dibangun di atas fondasi yang rapuh, cinta yang tumbuh di tengah dunia gelap dan berbahaya. Yuna menghela napas, mencoba menyembunyikan kerisauannya, lalu bertanya dengan lembut, "Lalu, kapan kamu akan memberi tahu orang tuamu di Seoul? Dan… bagaimana dengan pernikahan?"
Pertanyaan itu membungkam Taeri. Senyumnya lenyap, digantikan oleh tatapan kosong yang menembus jendela, seolah mencari jawaban di langit yang luas. Yuna bisa merasakan ketegangan yang memancar dari tubuh Taeri, seperti senar gitar yang ditarik terlalu kencang.
"Aku… aku belum tahu, Yun," bisik Taeri akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar. "Kamu tahu sendiri, Azey… dia bukan orang biasa. Dan bagaimana dia mendapatkanku… itu tidak benar. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan semua ini pada orang tuaku. Mereka akan hancur, terutama dengan latar belakang Azey yang… rumit." Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, memantulkan cahaya suram dari luar.
Dalam hati, Taeri merasa seperti terperangkap dalam sangkar emas. Ia mencintai Azey, tapi ia juga takut pada kekuatan dan pengaruhnya. Ia ingin bahagia, tapi ia tahu kebahagiaan itu bisa direnggut kapan saja. Ia tahu hidupnya telah berubah selamanya, dan ia tidak yakin apakah ia siap menghadapinya.
Yuna menyadari perubahan raut wajah Taeri yang tiba-tiba meredup, dan dengan naluri seorang sahabat, ia segera mengalihkan pembicaraan. Ia menyandarkan diri ke sofa, berusaha membuat nada suaranya ringan dan ceria.
"Sudahlah, Tae… nggak usah dipikirin dulu kalau memang belum siap. Aku ke sini bukan cuma mau mendengar kabar kehamilanmu, tapi juga karena aku penasaran banget sama pembukaan galeri seni nanti malam," ujar Yuna sambil mengedipkan mata, tangannya meraih gelas air putih.
Taeri menghela napas pelan, dan senyumnya kembali merekah dengan antusiasme yang tulus. Matanya berbinar saat mendengar kata "galeri". "Ah, benar juga! Padahal tadi aku baru saja membicarakannya dengan Azey," ucap Taeri, suaranya lembut namun penuh semangat.
Ia meraih ponsel dari meja dan membuka galeri foto dengan tergesa-gesa. Jari-jarinya menari di atas layar, memperbesar gambar demi gambar. "Lihat ini… lukisan-lukisan yang akan kupamerkan nanti malam. Terutama yang ini!" kata Taeri bersemangat, menyodorkan ponsel ke arah Yuna.
Yuna mencondongkan tubuh, matanya menyipit serius saat menatap foto itu. Sebuah lukisan abstrak dengan warna-warna biru tua dan emas yang menyatu dengan indah. Ia terdiam sejenak, lalu menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya melebar tak percaya. "Tae… ini indah sekali! Bagaimana kamu bisa mendapatkan lukisan seperti ini?" seru Yuna, suaranya penuh kekaguman.
Taeri tersenyum bahagia, matanya melunak saat mengenang momen itu. Ia menarik napas dalam, seolah sedang menyimpan kenangan manis. "Itu hadiah ulang tahun dariku. Azey memberikannya padaku," jelas Taeri, suaranya penuh kehangatan.
Ia menggeser layar lagi, dengan bangga ingin menunjukkan karya lain yang tak kalah menakjubkan. "Masih ada satu lagi… lihat ini!"
Foto kedua muncul: sebuah lukisan yang sangat indah dan detail. Taeri mencondongkan kepala, menunggu reaksi sahabatnya dengan senyum yang tak pudar.
Yuna menatap Taeri dengan rasa takjub, air mata haru mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia menggelengkan kepala, mencoba mencerna keindahan yang baru saja dilihatnya. "Tae, ini luar biasa… Kamu sangat beruntung," kata Yuna dengan tulus, wajahnya berseri-seri.
Ia meraih tangan Taeri di atas meja dan menggenggamnya erat, seolah ingin berbagi kebahagiaan.
Taeri tertawa terbahak-bahak, suaranya menggema di seluruh ruangan. Melihat wajah Yuna yang penuh kekaguman, Taeri tidak tahan untuk tidak menggoda sahabatnya. Ia meraih pipi Yuna dan mencubitnya dengan gemas, seperti saat mereka masih remaja.
"Iya, iya, aku tahu aku beruntung! Azey memang sangat baik padaku," kata Taeri sambil tertawa, melepaskan cubitan itu dan memeluk bahu Yuna sekilas.
Dari cerita Taeri yang penuh semangat, Yuna akhirnya menyadari betapa dalamnya cinta Azey pada sahabatnya bahkan rela memberikan hadiah-hadiah yang luar biasa. Dalam hati, Yuna berdoa diam-diam, semoga Taeri selalu bahagia dan dikelilingi cinta.