NovelToon NovelToon
From Hell To Absolute

From Hell To Absolute

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Epik Petualangan / Perperangan
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: Radapedaxa

Ia dulu adalah Hunter Rank-S terkuat Korea, pemimpin guild legendaris yang menaklukkan raid paling berbahaya, Ter Chaos. Mereka berhasil membantai seluruh Demon Lord, tapi gate keluar tak pernah muncul—ditutup oleh pengkhianatan dari luar.

Terkurung di neraka asing ribuan tahun, satu per satu rekannya gugur. Kini, hanya dia yang kembali… membawa kekuatan yang lahir dari kegelapan dan cahaya.

Dunia mengira ia sudah mati. Namun kembalinya Sang Hunter hanya berarti satu hal: bangkitnya kekuatan absolut.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 33

Pagi itu, cahaya matahari menembus tirai besar ruang tengah rumah sakit sementara aroma kopi dan roti hangat memenuhi udara. Ethan duduk di sofa, menyalakan televisi sambil meneguk kopi dengan santai. Di belakangnya, suara kertas blueprint bergesekan saat Chris dan Daniel membentangkan rancangan besar di atas meja panjang, sibuk mendiskusikan fondasi bangunan baru. Mark di sisi lain sibuk dengan laptopnya, menghitung estimasi biaya, sesekali mencatat sesuatu di buku catatan hitam.

“Kalau sayap timur rumah sakitnya dibuat dua lantai saja, dana bakal lebih efisien,” ujar Daniel tanpa menoleh.

“Tapi kita butuh ruang tambahan untuk instalasi gawat darurat dan unit anak,” balas Chris cepat, suaranya antusias. “Tuan Jinwoo bilang fasilitas harus ‘kokoh dan layak untuk rakyat bawah’. Itu artinya nggak boleh setengah-setengah.”

Mark mengangguk tanpa mengangkat kepala. “Kalian diskusikan dulu saja, nanti aku revisi anggarannya.”

Namun suara riuh mereka mendadak terhenti ketika dari televisi terdengar suara pembawa berita dengan nada tegang.

“Berita terbaru pagi ini, dunia Hunter internasional diguncang tragedi besar! Leonard Vice Chairman asosiasi Amerika dan Kevin, Hunter Rank-A senior, ditemukan tewas mengenaskan di markas asosiasi pusat. Sementara Hunter nasional Rank-S, Alexander, dilaporkan terluka parah dan kini tengah dirawat intensif di rumah sakit pusat Washington.”

Suara sendok Ethan jatuh ke meja, matanya menatap layar televisi lekat-lekat.

“Pihak berwenang masih menyelidiki penyebab kematian. Namun sumber internal mengatakan—ruangan tempat insiden itu terjadi hancur total seperti dilanda ledakan dari dalam. Energi sisa di lokasi menunjukkan tingkat destruktif yang bahkan tidak dapat dicapai oleh beberapa Hunter Rank-S sekalipun…”

“Gila…” Chris berbisik. “Vice Chairman Leonard… mati?”

Daniel menatap layar, wajahnya menegang. “Itu bukan orang sembarangan. Si tua itu monster dalam wujud manusia.”

Mark perlahan menutup laptopnya. “Kalau Leonard dan Kevin mati, lalu Alexander terluka parah… siapa yang bisa melakukan itu?”

Ethan masih diam. Dalam benaknya, satu bayangan melintas cepat—punggung seseorang yang berdiri di ambang jendela malam sebelumnya.

Jinwoo.

Ia masih mengingatnya dengan jelas. Jinwoo datang setelah tengah malam, diam tanpa suara, namun aura di sekitarnya seperti gelombang yang menekan seluruh ruangan. Di punggungnya, holy staff yang biasanya berkilau lembut kini tampak kusam, dengan noda kehitaman seperti darah kering di ujung ukirannya.

Ethan menggenggam cangkirnya erat. “Kalian…” katanya pelan, menatap mereka satu per satu. “Apa kalian berpikir… apa yang aku pikirkan?”

Mark menatapnya dengan ekspresi serius. “Kau maksud… Jinwoo?”

Chris dan Daniel saling bertukar pandang, lalu mengangguk perlahan. Tak ada yang berani mengucapkan namanya terlalu keras.

“Jadi, dia yang…” bisik Chris, tidak melanjutkan.

Suasana hening sesaat. Yang terdengar hanya suara televisi yang terus menyiarkan berita duka.

“Kalau itu benar,” ujar Mark akhirnya, “maka kita… hidup di bawah satu atap dengan orang yang bisa membunuh tiga Hunter puncak dunia dalam semalam.”

Chris mengusap tengkuknya yang berkeringat. “Sebenarnya… seberapa kuat Tuan Jinwoo itu?”

Daniel menarik napas panjang. “Aku bahkan nggak yakin kata ‘kuat’ cukup buat mendeskripsikannya. Rasanya seperti melihat… sesuatu yang jauh di atas manusia.”

Chris tiba-tiba berbisik pelan, matanya menatap kosong. “Mungkin… dia sebanding dengan para pahlawan Chaos Era.”

Kata-kata itu langsung membuat ketiganya diam.

Ethan menatapnya. “Pahlawan Chaos Era? Tuan Jinwoo… kau serius?”

Daniel mengangguk pelan. “Kalau aku nggak salah ingat, ada lima orang di zaman itu. Selene sang Divine Priest, Ezekiel sang Archmage, Takeshi sang Pedang Timur, Leonhard sang Penembus Langit, dan…” ia berhenti sejenak, matanya menerawang. “Arkwright.”

Chris tersenyum samar. “Ya, Arkwright. Aku sangat mengidolakannya waktu kecil. Dia juga dari Korea, sama seperti Tuan Jinwoo. Sayang sekali dia gugur waktu perang besar terakhir.”

Ethan menatap mereka dengan ekspresi tak terbaca. “Bukankah Arkwright itu cuma nama marganya saja? Kalian tahu nggak nama lengkapnya?”

Mereka bertiga menggeleng.

Mark mengerutkan alis. “Kenapa kau begitu penasaran?”

Ethan menatap televisi yang kini menayangkan gambar reruntuhan markas asosiasi Amerika. “Tidak. Bukan apa-apa.”

Namun dalam hatinya, sebuah kecurigaan tumbuh liar.

Nama itu… Arkwright. Jangan-jangan…

Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, Mark memotong, “Oh ya, di mana Lily?”

Ethan menoleh. “Dia sedang jalan-jalan sama Tuan Jinwoo. Katanya mau lihat taman rumah sakit.”

Chris terkekeh. “Hah, anak kecil itu sudah jatuh cinta sama Tuan Jinwoo. Lihat saja, dia nggak bisa lepas sedetik pun.”

Daniel tersenyum tipis. “Tuan Jinwoo juga… terlihat lembut kalau di dekat anak-anak.”

Di luar sana, di halaman rumah sakit yang luas, matahari pagi memantulkan cahaya hangat ke rumput yang masih basah oleh embun. Lily duduk di pundak Jinwoo sambil tertawa, tangannya memegang balon kecil yang dibelinya dari perawat di lobi.

“Paman Jinwoo, aku boleh makan es krim?” katanya sambil menunjuk kios kecil di seberang taman.

Jinwoo melirik jam di pergelangan tangannya. “Ini masih pagi. Kau seharusnya makan sesuatu yang hangat dulu. Bagaimana kalau sup ayam?”

Lily langsung merengut, pipinya menggembung. “Aku nggak mau sup, aku mau es krim.”

Melihat ekspresi itu, Jinwoo tak bisa menahan senyum kecilnya. Dalam tawa lembut itu, samar terlihat bayangan seseorang dari masa lalu—sosok yang dulu juga memeluknya dengan polos, sebelum semuanya berubah.

Namun sebelum ia sempat menjawab, langkah kaki terdengar mendekat. Dua sosok berdiri di depan mereka. Seorang wanita berambut pirang bergelombang dengan ekspresi canggung, dan di belakangnya, sosok tinggi besar mengenakan mantel hitam dengan topeng berbentuk naga menutupi wajahnya.

Elizabeth menatap Jinwoo gugup. “E-erm… halo. Apa kabar?”

Jinwoo terdiam, menatapnya sejenak sebelum matanya beralih ke pria bertopeng di belakangnya. Sekilas saja, tapi cukup baginya untuk tahu. Aura mereka tidak biasa.

Dengan nada tenang, Jinwoo menurunkan Lily dari pundaknya dan merogoh saku, mengeluarkan beberapa lembar uang.

“Karena kau sangat ingin es krim,” katanya lembut, “paman kasih uang. Beli sendiri, ya?”

Wajah Lily langsung berseri. Ia memeluk kaki Jinwoo dengan semangat. “Terima kasih, Paman!” Lalu berlari kecil ke arah kios.

Begitu Lily menjauh, atmosfer langsung berubah dingin.

Jinwoo menatap mereka tanpa ekspresi. “Ada apa lagi?”

Elizabeth menelan ludah, tapi sebelum ia sempat bicara, pria bertopeng melangkah maju.

“Sebelumnya perkenalkan,” katanya dengan suara berat. “Namaku Drake. Hunter Rank-S dari Amerika.”

“Dan?” Jinwoo menjawab datar.

Drake menatap sekilas holy staff yang tergantung di punggung Jinwoo. Permukaannya tampak berkarat dengan noda merah tua yang nyaris tak terlihat. “Aku tidak punya niat buruk. Tapi… bisakah kita bicara?”

“Bicara?” Jinwoo menatapnya lurus. “Atau interogasi?”

Drake menghela napas. “Presiden asosiasi kami ingin bertemu denganmu. Kami mengundangmu secara resmi ke asosiasi pusat Amerika. Tentu, bukan dalam konteks permusuhan. Kami hanya ingin—”

Jinwoo memotong kalimatnya, suaranya dingin. “Kau ingin bertanya kenapa aku membunuh dua sampah itu?”

Elizabeth menegang. Drake membeku.

Setetes keringat menetes dari pelipisnya di balik topeng. “Jadi… kau tahu niat kami.”

“Tentu saja,” jawab Jinwoo datar. “Kalau bukan karena keingintahuanmu, kau tidak akan datang sejauh ini.”

Suasana mendadak mencekam. Angin berhenti berembus, dan udara di sekitar mereka bergetar halus. Dari balik topeng Drake, tatapan tajam menatap Jinwoo tanpa gentar—namun di dalam dirinya, naluri survival menjerit keras.

Drake melangkah sedikit lebih dekat. “Sebelum kau pergi, aku ingin tahu satu hal.” Ia menunjuk ke arah holy staff di punggung Jinwoo. “Apakah kau tahu… apa yang sedang kau bawa itu?”

Jinwoo menatapnya datar. “Ini hanya tongkat usang milikku.”

Drake tersenyum samar di balik topeng. “Apakah kau yakin? Jika ordo suci Vatican tahu bahwa holy staff mereka yang hilang tujuh tahun lalu berada di tanganmu—”

Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, hawa dingin tajam menembus udara.

Retak.

Topeng naga di wajah Drake retak di sisi kiri.

Elizabeth menahan napas, matanya melebar. Seluruh tubuhnya gemetar tanpa bisa dikendalikan.

Suara Jinwoo terdengar pelan tapi mengguncang jantung mereka.

“Seekor semut… berani mengancam naga?” Tatapan hitamnya berkilat tajam, bagai jurang tak berdasar. “Apakah kau sudah bosan hidup?”

Tekanan magisnya meledak tanpa suara. Tanah di bawah kaki Drake bergetar, dan meski tak ada luka fisik, darah menetes dari hidungnya.

Drake menggenggam dadanya, mencoba tetap berdiri.

Perlahan ia mengangguk, nada suaranya tenang tapi penuh waspada.

“Aku… sudah memberikanmu undangannya. Kami tidak memiliki niat buruk. Aku harap kau mau bekerja sama.”

Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik. Elizabeth menatap Jinwoo sebentar, lalu segera mengikuti Drake menjauh.

Jinwoo hanya menatap punggung mereka menghilang di ujung taman.

Beberapa detik kemudian, langkah kecil terdengar lagi. Lily berlari sambil membawa dua es krim besar di tangannya, wajahnya bersinar bahagia.

“Paman Jinwoo! Aku beli dua, buat paman juga!”

Wajah Jinwoo yang dingin seketika melunak. Ia berjongkok, menerima satu es krim dari tangan kecil itu. “Kau cepat sekali.”

Lily mengangguk, menatapnya polos. “Penjualnya bilang aku manis kayak es krim.”

Jinwoo tersenyum samar. “Ya. Kau memang manis.”

Namun jauh di balik senyumnya, pikirannya berputar cepat.

1
abyman😊😊😊
Lanjutkan thor.... Mantap
RDXA: oke siap💪
total 1 replies
abyman😊😊😊
Over power jinwoo💪💪💪
abyman😊😊😊
Bantai💪💪💪💪
abyman😊😊😊
Jossss👍👍👍👍👍/Determined/
Rudik Irawan
sering² up thor
RDXA: siap diusahakan
total 1 replies
abyman😊😊😊
/Determined//Determined//Determined/
Rudik Irawan
min sering sering up
selenophile
next...
mxxc
sudah saya ksih kopi
RDXA: oke siap terimakasih atas dukungannya, maaf ya untuk novel ini sering telat up hehe🙏
total 1 replies
selenophile
next
Rudik Irawan
nanggung banget
RDXA: hehe/Blackmoon/
total 1 replies
Rudik Irawan
up terus Thor
Ilham bayu Saputr
mantap
Ilham bayu Saputr
crazy up thor
RDXA: insyaallah, terimakasih atas dukungannya 💪
total 1 replies
Rudik Irawan
sangat menarik
Rudik Irawan
lanjutan
mxxc
lanjut bg
Rudik Irawan
lanjutkan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!