NovelToon NovelToon
WOTU

WOTU

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Kutukan / Penyeberangan Dunia Lain
Popularitas:623
Nilai: 5
Nama Author: GLADIOL MARIS

Di kota kecil Eldridge, kabut tidak pernah hanya kabut. la menyimpan rahasia, bisikan, dan bayangan yang menolak mati.

Lisa Hartman, gadis muda dengan kemampuan aneh untuk memanggil dan mengendalikan bayangan, berusaha menjalani hidup normal bersama dua sahabat masa kecilnya-Ethan, pustakawan obsesif misteri, dan Sara, sahabat realistis yang selalu ingin mereka tetap waras.

Namun ketika sebuah simbol asing muncul di tangan Lisa dan bayangan mulai berbicara padanya, mereka bertiga terseret ke dalam jalinan rahasia tua Eldridge: legenda Penjaga Tabir, orang-orang yang menjadi pintu antara dunia nyata dan dunia di balik kabut

Setiap langkah membawa mereka lebih dalam pada misteri yang membingungkan, kesalahpahaman yang menimbulkan perpecahan, dan ancaman makhluk yang hanya hidup dalam bayangan. Dan ketika semua tanda mengarah pada Lisa, satu pertanyaan pun tak terhindarkan

Apakah ia pintu menuju kegelapan atau kunci untuk menutupnya selamanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GLADIOL MARIS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

SUARA DARI DINDING

Dinginnya malam di rumah Bu Redfield bukanlah dingin biasa. Dingin yang meresap ke dalam tulang, seolah-olah dinding-dinding kayu tua itu sendiri mengeluarkan hawa beku dari masa lalu yang kelam. Lisa terbaring kaku di atas kasur yang keras, selimut tipisnya ditarik hingga menutupi dagu. Matanya terbuka lebar, menatap langit-langit yang retakannya membentuk peta kota yang tak pernah selesai.

Bu Redfield bilang cairan biru itu akan menenangkan mimpinya. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Mimpi itu tidak datang dalam bentuk gambar, melainkan suara.

Ribuan suara. Mereka datang dari segala arah, berbisik, berteriak, menangis, tertawa—semuanya menyebut namanya.

Lisa… Lisa… pintu… darah… kunci… custodian…

Ia menekan kedua telapak tangannya ke telinga, tapi suara itu bukan berasal dari luar. Mereka datang dari dalam kepalanya, dari simbol yang masih berdenyut hangat di kulitnya, seolah-olah ada radio rusak yang dipasang di otaknya, menyetel stasiun yang hanya memainkan teror.

“Diam!” Lisa berbisik kasar, suaranya pecah di keheningan kamar. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengingat mantra yang diajarkan Redfield: “Kael’neth en shal, veth’ra en lun.” Dengan ketenangan ini, aku menenangkan kegelapan.

Denyut di telapak tangannya melambat sedikit. Suara-suara itu mereda, bukan hilang, tapi seperti ditarik mundur ke balik tirai tebal. Lisa menghembuskan napas lega, tapi kelegaan itu hanya sesaat.

Tok. Tok. Tok.

Ketukan pelan di pintu membuatnya tersentak. Jantungnya kembali berdegup kencang.

“Lis, ini aku,” suara Sara terdengar, pelan tapi jelas, penuh dengan kegelisahan yang sama.

Lisa bangkit, kakinya gemetar saat menyentuh lantai kayu yang dingin. Ia membuka pintu, dan di sana berdiri Sara, masih mengenakan jaketnya, rambutnya acak-acakan, matanya merah dan bengkak. Tanpa berkata apa-apa, Sara masuk dan langsung duduk di tepi kasur, menarik lututnya ke dada.

“Aku mimpi buruk,” Sara berbisik, suaranya serak. “Aku mimpi… kita semua jadi boneka. Dan boneka itu bilang, ‘Kami adalah kalian. Yang akan datang.’” Ia menelan ludah, wajahnya pucat. “Aku bangun, dan langsung ngeri. Aku harus cari kau.”

Lisa duduk di sampingnya, merasakan getaran ketakutan yang sama. “Aku juga nggak bisa tidur. Terlalu banyak yang dipikirin.”

Sara menatap telapak tangan Lisa yang masih berdenyut samar, cahayanya redup tapi tak kunjung padam. “Ini nggak hilang, ya?” tanyanya, suaranya bergetar.

Lisa menggeleng. “Nggak. Rasanya… seperti bagian dari diriku sekarang. Seperti jantung kedua.”

......................

[Pagi hari dengan sarapan]

Mereka duduk dalam keheningan yang menegangkan, hanya suara napas mereka yang saling bertubrukan. Di luar jendela, kabut Eldridge bergerak perlahan, seolah mengintip dari balik kaca yang buram.

Pagi di rumah Bu Redfield tidak membawa kehangatan. Cahaya yang masuk melalui jendela berwarna abu-abu pucat, seolah matahari enggan bersinar penuh di kota ini.

Mereka bertiga duduk di meja makan kecil, menghadapi piring berisi bubur gandum yang terlihat hambar dan secangkir teh hitam tanpa gula.

“Makan,” perintah Redfield, duduk di ujung meja dengan punggung tegak. Matanya yang biru pucat menatap mereka satu per satu, seolah menilai siapa yang cukup kuat untuk menjalani hari ini.

Sara menatap piringnya dengan jijik. “Ini… aman?” gumamnya, ragu-ragu mengangkat sendok.

Bu Redfield tidak menjawab. Ia hanya menatap Sara, tatapannya tajam dan dingin, membuat Sara buru-buru menunduk dan mulai menyendok buburnya dengan enggan.

Ethan, sebaliknya, makan dengan cepat, seolah kelaparan. “Rasanya biasa,” katanya sambil mengunyah, matanya sudah sibuk memindai rak buku di sudut ruangan. “Kayak bubur gandum biasa.”

Lisa mencoba menyuap sedikit, tapi rasanya seperti debu di mulutnya. Perutnya mual, bukan karena makanannya, tapi karena beban yang menghimpit dadanya. Ia menatap Redfield. “Apa yang akan kita lakukan hari ini?”

Bu Redfield menyeruput tehnya perlahan sebelum menjawab. “Hari ini, kau akan belajar mengendalikan apa yang ada di dalam dirimu, Lisa. Bukan hanya mantra, tapi juga emosimu. Karena kekuatanmu adalah cerminan dari apa yang kau rasakan. Ketakutanmu, kemarahanmu, kesedihanmu—semuanya akan memberi makan bayangan itu.”

Lisa menelan ludah. “Bagaimana caranya?”

“Kita akan mulai dari tempat yang paling dasar,” jawab Redfield, matanya berkilat. “Tempat di mana semuanya bermula. Apartemenmu.”

Sara langsung menoleh, wajahnya pucat. “Apartemen? Tapi… tapi di sana—”

“Di sana adalah tempat pertama kali kau kehilangan kendali,” potong Redfield, suaranya tajam. “Di sana adalah tempat bayangan itu pertama kali menyentuhmu, Sara. Kau harus kembali ke sana. Kalian semua harus. Untuk menghadapi ketakutan kalian, bukan lari darinya.”

Ethan mengangguk, wajahnya serius. “Dia benar, Lis. Kita harus tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana malam itu. Apa yang membuat bayangan itu begitu kuat.”

Lisa menunduk, menatap tangannya yang bergetar. Ia ingat malam itu—bayangan yang meniru wajahnya, suara yang memanggilnya dari dinding, lampu yang meledak, dan rasa panik yang hampir membuatnya mati lemas. Ia tidak ingin kembali ke sana.

Tapi ia tahu, ia tidak punya pilihan.

---

1
~abril(。・ω・。)ノ♡
Saya merasa seperti berada di dalam cerita itu sendiri. 🤯
GLADIOL MARIS: Semoga betah nemenin Lisa di Wotu dalam perjalannya 🤗
total 2 replies
Không có tên
Kocak abis
GLADIOL MARIS: Waduh, susah nih bikin kakak takut pas baca kayaknya⚠️
total 1 replies
GLADIOL MARIS
Halo teman-teman yang sudah menyempatkan mampir. Aku harap WOTU bisa nemenin kalian nantinya😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!