Kehidupan Valeria Zeline Kaelani terlihat sempurna, namun ia tidak tahu bahwa ia adalah anak angkat. Rahasia ini menjadi senjata bagi Arum Anindira, kakak kandungnya yang iri dan hidup miskin. Arum mengancam akan membocorkan kebenaran kepada Valeria demi mendapatkan uang dari ibu angkatnya, Bu Diandra.
Di tengah kekacauan ini, sahabat Valeria, Aluna Kinara, tak sengaja mendengar ancaman tersebut, dan ia dihadapkan pada dilema yang berat. Kisah ini semakin rumit dengan hadirnya dua pria yang memperebutkan hati Valeria: Kian Athaya Naufal Mahendra yang mencintai dalam diam, dan Damian Mahesa yang usil namun tulus. Namun, Kedekatan mereka terancam buyar ketika mantan pacar Damian masuk ke sekolah yang sama.
Kisah ini bukan hanya tentang cinta dan persahabatan, tetapi juga tentang pengorbanan, pengkhianatan, dan perjuangan seorang putri untuk menemukan jati dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Strategi di Balik Ultimatum
Valeria dan Tante Kiara langsung bergerak cepat di dapur. Suara air mengalir dari wastafel tempat Valeria mencuci wortel, buncis, brokoli, dan jagung beradu dengan bunyi pisau Tante Kiara yang teliti meratakan potongan-potongan daging ayam untuk stik.
"Kamu sudah cuci semua, Val? Langsung masukkan ke panci kukusan," perintah Kiara cepat sambil mengoleskan bumbu marinasi pada daging ayam.
"Sudah, Tante! Kentangnya mau digoreng sekarang?" tanya Valeria.
"Nanti dulu. Kita fokus sayuran dan ayamnya dulu. Sambil nunggu sayurannya empuk, kita goreng kentang," jawab Kiara. Ia melirik jam di dinding. "Ya ampun, cepat, Val! Tante enggak tahu Revan sebentar lagi sampai atau tidak."
Valeria merasakan jantungnya berdebar. Bukan hanya karena takut pada Mamanya, tapi juga karena cemas dilihat Revan dengan mata bengkak dan suasana rumah yang baru saja tegang. Ia mencoba membersihkan sisa air mata di sudut matanya dengan punggung tangan, lalu buru-buru menyusun sayuran di alat kukus.
"Tante, kalau Revan datang duluan, Tante saja yang buka pintu ya?" bisik Valeria.
"Tentu saja," jawab Kiara dengan nada meyakinkan. "Kamu tenang, fokus di situ."
Belum sempat Kiara meletakkan semua daging yang sudah termarinasi, bel pintu rumah berbunyi nyaring. Keduanya langsung terdiam.
"Astaga! Secepat itu!" seru Kiara.
Tiba-tiba, terdengar langkah kaki cepat menuruni tangga. Mama Diandra yang baru saja turun dari ruang kerjanya bergegas menuju ruang makan, namun karena bel berbunyi, ia langsung berjalan ke pintu depan.
Kiara yang keluar dari area dapur terhenti di ambang pintu, terkejut melihat Diandra sudah mendahuluinya.
Diandra memasang senyum ramah sesaat sebelum membuka pintu. Di depannya berdiri Revan.
"Revan, ayo silakan masuk," sapa Diandra dengan nada hangat.
"Iya, Tante. Valeria ada?" tanya Revan sopan.
"Ada, sebentar ya. Kamu duduk dulu di sini, Tante akan panggil Valeria nya," kata Diandra.
"Iya, Tante, terima kasih," jawab Revan.
Diandra berjalan ke arah dapur. Ia melihat Kiara diambang pintu dapur berdiri kaku.
"Kiara, di mana Valeria?" tanya Diandra.
"Di sini, Mbak. Di dalam," jawab Kiara, menunjuk Valeria yang berada tak jauh di sampingnya.
"Suruh dia temui Revan. Dan, bawa camilan sama minuman, " perintah Diandra. "Jangan sampai Revan menunggu lama."
"Iya, Mbak," kata Kiara.
"Ya sudah, maaf Mbak enggak bisa bantu masak. Ada pekerjaan yang harus Mbak urus," ujar Diandra.
Diandra kembali ke ruang tamu menemui Revan. "Revan, nanti Valeria akan ke sini. Kamu tunggu sebentar ya."
Setelah Revan mengangguk, Diandra kembali menaiki tangga menuju ruang kerjanya, meninggalkan suasana tegang di dapur.
Kiara segera mengambil nampan, menata camilan dan minuman. Ia menatap Valeria dengan ekspresi campur aduk antara panik dan iba.
"Val, cepat cuci mukamu," desak Kiara. "Kamu enggak bisa lari. Mama kamu sudah bilang kamu akan keluar. Kamu harus keluar sekarang, dengan senyum."
Valeria menelan ludah. Ia tahu, rasa takut pada amarah ibunya lebih besar daripada rasa malu. Ia mengangguk, memaksakan diri untuk tenang. Ia segera mencuci muka dan merapikan dirinya seadanya di wastafel dapur.
Setelah siap, ia mengambil nampan camilan dan minuman dari Kiara. Ia mengambil napas dalam-dalam, lalu memaksakan diri untuk meninggalkan dapur.
Valeria melangkah keluar dari area dapur. Ia berjalan perlahan ke ruang tamu, di mana Revan duduk sendirian di sofa.
Ia tersenyum, senyum yang terasa kaku dan dipaksakan.
"Hai, Revan," sapa Valeria, suaranya sedikit serak.
Revan segera berdiri, matanya terpaku pada Valeria. Ia melihat ada yang berbeda, meskipun Valeria berusaha keras menyembunyikannya.
Valeria meletakkan nampan camilan di atas meja, lalu menata piring kecil dan gelas minuman di hadapan Revan. Ia kemudian duduk di sofa seberang Revan, berusaha terlihat santai.
Revan tidak menyentuh makanan itu. Matanya lurus menatap Valeria. "Lo nggak apa-apa? Lo baik-baik aja, kan?" tanyanya.
"Ya," jawab Valeria, sambil memaksakan senyum. "Gue baik-baik aja. Lo ngapain ke sini, Van? Tumben."
"Kenapa, nggak boleh?" balas Revan, menantang.
"Bukan gitu, sih, cuma ya... nggak apa-apa," kata Valeria, gugup.
"Lo benar baik-baik aja?" desak Revan lagi. "Waktu di telepon suara lo serak, dan sekarang mata lo bengkak. Lo kenapa? Bilang yang jujur."
Valeria berusaha mengalihkan pandangannya, tangannya meremas ujung bajunya. "Ehm... gue nggak apa-apa, Revan. Gue juga benar-benar baik-baik aja, kok. Ini karena habis nonton film sedih gitu, jadi gue nangis. Ditambah tadi gue habis dari dapur bantuin Tante masak, jadi matanya perih."
"Oke," kata Revan, masih menatapnya dengan curiga.
Setelah beberapa saat hening yang terasa panjang, Revan akhirnya memecah keheningan dengan tiba-tiba.
"Val," katanya, suaranya berubah serius. "Gue mau bikin usaha bisnis kafe. Lo mau join?"
Valeria terkejut. "Bisnis kafe?"
"Ya. Lo mau ikut? Bukan cuma gue doang, sih, sebenarnya ada Kian, Damian, sama Liam juga," jelas Revan. "Kalau lo mau ikut, nggak apa-apa. Lebih banyak yang ikut, lebih bagus. Jadi, lo mau ikut?"
Valeria kembali teringat pada Mamanya. "Ehm, itu gue harus bilang dulu sama Mama. Boleh atau enggaknya," jawab Valeria, suaranya kembali ragu.
Revan tersenyum yakin. "Lo bisa bilang sama Tante Diandra kalau lo mau join bisnis sama gue. Pasti Tante Diandra akan ngijinin. Apalagi kalau tahu kita buat bisnis yang serius."
Valeria menatap Revan. "Gue akan coba bilang, Revan," katanya, sedikit memaksakan nada optimis.
"Ya," jawab Revan. Ia kemudian meraih gelas minuman yang Valeria bawa dan menyesapnya. Setelah meletakkan gelasnya, ia mulai berbicara lagi.
"Gue dengar dari Damian, lo dan Damian semalam habis ke fes—"
Belum sempat Revan menyelesaikan kata-katanya, Valeria dengan cepat menutup mulut Revan dengan telapak tangannya.
...Hanya ilustrasi gambar....
Revan terkejut, matanya membesar melihat kepanikan di wajah Valeria.
Valeria dengan cepat menoleh ke arah tangga, lalu berbisik dengan suara rendah dan mendesak. "Sstt! Jangan ngomong di sini! Gue tahu lo mau ngomong apa, tapi jangan di sini. Kita ke halaman belakang!"
Valeria menarik napas, lalu kembali menoleh pada Revan.
"Ayo!" desaknya.
Valeria dan Revan segera bangkit.
Valeria dan Revan bergegas melangkah melewati dapur menuju halaman belakang yang luas. Begitu sampai di tempat yang mereka yakini aman dari pendengaran, Valeria langsung berbalik.
Ia tidak lagi panik, melainkan memasang ekspresi waspada dan sedikit mengendalikan diri.
...Hanya ilustrasi gambar....
"Val, what the hell?" tanya Revan, bingung dan khawatir. Ia menatap mata Valeria yang bengkak, yang kini terlihat lebih jelas. "Kenapa lo segitunya panik? Dan mata lo..."
Valeria menghela napas, ekspresinya kembali datar. Ia tahu, sekecil apa pun ceritanya, jika Mamanya tahu ia menceritakan masalah di rumah pada orang lain, ia akan dimarahi habis-habisan. Ia tidak mau menjelek-jelekkan ibunya.
"Gue nggak apa-apa, Revan," potong Valeria, mencoba terdengar meyakinkan. "Cuma capek dan sedikit drama karena Mama surprise datang ke dapur. Trust me, lo lebih baik nggak usah tahu. Mending kita ngomongin yang lebih penting."
Valeria menatap Revan tajam, langsung mengambil alih kendali pembicaraan.
"Tadi lo mau ngomong soal Damian sama gue ke festival semalam, kan?" tanya Valeria, suaranya pelan dan serius.
"Seberapa banyak yang Damian bilang ke lo?"
Revan terkejut melihat perubahan sikap Valeria. Ia langsung tahu ini adalah topik sensitif.
"Dia cuma bilang kalau dia semalam ke rumah lo. Dia mau ngajak jalan-jalan malam, tapi Mama lo, Tante Diandra, ngelarang Damian buat ngajak lo keluar malam," jawab Revan. "Tapi pada akhirnya, kalian keluar dan ke festival. Gimana ceritanya kalian bisa keluar malam?"
Valeria menunduk, lalu kembali menatap Revan. "Itu karena gue keluarnya diam-diam. Waktu itu Mama mau pergi keluar, ada acara undangan gitu. Terus pas Mama pergi, Tante Kiara nyuruh aku pergi sama Damian. Tante Kiara yang bantuin aku supaya bisa keluar malam sama Damian," jelas Valeria.
Revan mendengarkan dengan serius. Informasi bahwa Tante Kiara terlibat adalah hal baru dan penting.
"Val, lo tahu kan ini bahaya? Kalau Tante Diandra tahu lo keluar diam-diam, atau tahu Tante Kiara yang bantuin lo..."
Valeria mengangguk. "Gue tahu. Makanya, jangan pernah bahas ini di dalam rumah. Kalau ada yang tanya, gue cuma di kamar. Damian cuma ngobrol sebentar sama Tante Kiara. Oke?"
Revan menarik napas. Ia kini mengerti alasan kepanikan Valeria dan betapa besar tekanan yang ada di rumah ini.
"Oke, deal," kata Revan. "Gue janji enggak akan bahas itu di dalam. Tapi, ini kembali ke rencana bisnis. Lo benar-benar harus ikut. Ini cara kita biar lo punya alasan kuat buat keluar dari rumah. Buat lo punya alasan yang disetujui Tante Diandra."
Wajah Valeria terlihat cemas. Ia menggeleng. "Tapi gue takut, Revan. Takut Mama nolak. Takut dia nggak bolehin gue."
Revan meraih tangan Valeria, tatapannya tegas. "Mama lo nggak akan nolak. Dia pasti akan bolehin lo! Bukannya Mama lo itu pengen banget kita bikin bisnis bersama, ya?"
Valeria mengerutkan kening.
"Lo lupa?" desak Revan. "Waktu itu bukannya Mama lo pernah nyuruh lo dan gue buat belajar bisnis bersama dan buat bisnis juga? Lo lupa?"
Valeria tertegun sejenak. Matanya melebar karena terkejut sekaligus sadar. "Maaf, Revan, gue... gue lupa," bisiknya. Tekanan yang ia rasakan belakangan ini telah membuatnya lupa pada rencana ambisius ibunya itu.
"Oke, nggak apa-apa," kata Revan, suaranya melembut namun tetap serius. "Tapi lo harus percaya sama gue. Mama lo pasti ijinin. Apalagi ini sesuai dengan keinginannya, kan? Lo nggak usah khawatir. Kalau begitu, biar gue yang bilang ke Tante Diandra."
"Revan," panggil Valeria, terdengar khawatir Revan akan berhadapan dengan Mamanya.
Revan tersenyum menenangkan. "Lo tenang aja," katanya, penuh keyakinan. Ia kini tahu bahwa ide bisnis kafe ini adalah kartu As yang akan membebaskan Valeria.
Valeria dan Revan kembali masuk dari halaman belakang. Mereka berjalan menuju ruang tamu. Revan mengambil kunci motornya dari meja.
"Kalau begitu gue pamit pulang, ya," kata Revan.
Tepat saat itu, Tante Kiara keluar dari arah dapur, menghampiri mereka. Ia tersenyum hangat.
"Revan, kamu jangan pulang dulu ya. Kita makan malam bersama di sini, oke?" tawar Kiara.
"Maaf Tante, Revan takut ngerepotin. Revan pulang aja," tolak Revan, berusaha sopan.
"Eh, kata siapa ngerepotin? Nggak, santai aja. Ayo, Tante sudah masak banyak. Tante sudah buat hidangan spesial buat kamu: stik ayam," rayu Kiara.
"Ah, ya sudah deh, Tante," jawab Revan, akhirnya mengalah karena tidak enak hati dan juga karena hidangan yang disebutkan Kiara terdengar menggiurkan.
Tak lama kemudian, Diandra turun dari tangga, sudah berganti pakaian santai setelah menyelesaikan pekerjaannya. Ia melihat Revan.
"Revan, kamu jangan pulang dulu, ya. Kita makan malam bersama," ujar Diandra, mengulang ajakan Kiara, kali ini dengan nada yang tidak bisa ditolak. "Tante senang kamu mau mampir."
"Kalau begitu, ayo kita ke meja makan," ujar Diandra dengan senyum formal. "Kiara, Valeria, siapkan makan malamnya."
"Iya, Mbak. Ayo, Valeria," kata Kiara, lalu ia dan Valeria bergegas kembali ke dapur.
Di meja makan, Diandra dan Revan duduk. Diandra memulai basa-basi untuk mencairkan suasana.
"Revan, bagaimana kabar Papa dan Mama kamu?" tanya Diandra.
"Baik, Tante," jawab Revan.
"Syukurlah," kata Diandra.
Tak lama kemudian, Valeria dan Kiara datang ke ruang makan. Mereka membawa piring besar berisi stik ayam yang harum dan lauk pauk berupa kentang goreng, serta sayuran kukus. Mereka menata semuanya di meja. Setelah makanan tersaji, Kiara ikut duduk, bergabung dengan Revan dan Valeria.
Diandra, mengambil pisau dan garpu. "Silakan dimakan, Revan. Stik ayam spesial dari Kiara."
Mereka mulai makan dalam keheningan yang sopan, namun Valeria terus melirik ke arah Revan, tampak tegang. Revan menyadari ini adalah kesempatannya. Ia mengambil napas, meletakkan garpunya, dan menatap Diandra.
"Tante Diandra," panggil Revan.
Diandra mendongak. "Ya, Revan?"
Revan berdeham. "Begini, Tante. Sebenarnya kedatangan Revan ke sini bukan cuma mampir. Revan dan teman-teman... Kian, Damian, Liam, dan sekarang Valeria... kami punya rencana besar."
Diandra mencondongkan tubuhnya sedikit, menunjukkan ketertarikan. Kiara dan Valeria menahan napas.
"Kami mau membuat bisnis kafe. Kami serius soal ini, Tante. Kami mau mengelola dari awal sampai akhir, ini akan menjadi proyek besar kami. Dan kami ingin Valeria ikut bergabung sebagai partner utama."
Diandra menatap Revan dengan tatapan tajam, mengabaikan stik ayamnya yang baru terpotong.
"Kamu bilang tadi dengan siapa?" tanya Diandra, nada suaranya berubah dingin.
"Kian, Damian, dan Liam, Tante," jawab Revan, berusaha tetap tenang.
Diandra tersenyum sinis. "Kian, anak dari Rex Adrian itu? Dan siapa lagi? Damian, anak yang semalam datang dan mau mengajak Valeria keluar malam? Untuk apa mereka ikut gabung juga dalam bisnis ini, Revan? Kenapa kamu harus berbisnis dengan mereka? Jika kamu memang mau membuat bisnis, kenapa tidak kalian berdua saja, kamu dan Valeria? Tante pikir, jika cuma bisnis membuat kafe, kalian berdua juga bisa tanpa melibatkan mereka."
Revan mencoba membela. "Tapi, Tante, ide bisnis ini bukan cuma ide dari Revan saja, tapi ada campur tangan mereka juga."
Diandra tidak mendengarkan. Ia menaruh pisau dan garpunya dengan suara sedikit keras di atas piring.
"Kalau begitu, kalian saja, dan tidak perlu mengajak Valeria. Kecuali jika bisnisnya hanya dijalankan kalian berdua, Valeria boleh gabung," ujar Diandra, memberikan ultimatum. "Tapi jika dengan mereka, Tante melarang Valeria untuk ikut! Kamu paham, Revan?"
Diandra lalu mengubah nada suaranya menjadi formal, mengakhiri pembicaraan. "Salam untuk orang tua kamu."
Setelah mengatakan itu, Diandra bangkit dari kursinya. Ia berjalan menaiki tangga dan menuju kamarnya, meninggalkan suasana tegang di ruang makan.
Keheningan menyelimuti meja makan. Valeria menunduk, air matanya sudah menggenang lagi. Ia tahu, ini adalah hasil dari usaha kecilnya untuk merasa bebas. Kiara menatap Revan dengan ekspresi penuh penyesalan.
Revan mengepalkan tangannya di bawah meja. Rencananya gagal total
"Val," panggil Revan, suaranya pelan. "Gue..."
Kiara segera meraih tangan Valeria dan menggenggamnya.
"Sudah, Val. Jangan nangis," bisik Kiara. "Revan, kamu jangan pulang dulu. Habiskan makan malamnya."
Revan menarik napas, berusaha menenangkan emosinya yang memuncak karena ulah Diandra. Ia menatap Kiara dan Valeria.
"Tante Kiara, Valeria, maaf," kata Revan. "Maaf gue malah bikin suasana jadi kayak gini."
Kiara menggeleng. "Sudah, Revan. Kamu enggak salah. Sudah, ayo dimakan dulu makanannya. Kasihan stik ayamnya nanti dingin."
Valeria masih menunduk.
Revan mencondongkan tubuhnya ke arah Valeria. "Val, lihat gue," pintanya lembut. Ketika Valeria mengangkat pandangannya yang basah, Revan melanjutkan, "Dengar. Mama lo bilang lo boleh ikut, kan? Itu poin pentingnya. Dia nggak melarang ide bisnisnya, dia cuma melarang partnernya."
"Tapi, Damian dan yang lain..." lirih Valeria, suaranya tercekat.
"Nggak apa-apa," potong Revan cepat. "Ini cuma test case awal. Kita lakukan dulu apa yang Mama lo mau. Kita setuju, kita deal kalau yang gabung cuma gue sama lo, demi biar lo diizinin. Setelah itu, kita pikirkan lagi strateginya. Ini baru permulaan, Val. Kita sudah dapat izin masuk."
Kiara tersenyum kecil, mengangguk setuju pada ucapan Revan. "Betul kata Revan, Val. Anggap aja ini tantangan pertama kalian. Sekarang, makan dulu. Nanti kalian berdua bisa bicarakan lagi strateginya."
Valeria menatap Revan. Melihat ketenangan dan keyakinan di mata Revan, sedikit rasa lega muncul. Ia mengangguk pelan.
Mereka bertiga melanjutkan makan malam dalam suasana yang lebih tenang, meskipun pikiran mereka penuh dengan rencana dan strategi baru.
Makan malam yang tegang itu akhirnya selesai. Revan bangkit dari kursi, diikuti oleh Valeria dan Tante Kiara yang mengantarnya ke ruang tamu.
"Tante Kiara, terima kasih banyak untuk makan malamnya," kata Revan sopan.
"Sama-sama, Revan. Lain kali main ke sini lagi," jawab Kiara.
Revan menatap Valeria. "Val, gue harus pergi sekarang." Ia merendahkan suaranya agar hanya Valeria yang dengar.
"Gue akan bicarakan ini dulu dengan Kian, Damian, dan Liam. Gue nggak bisa ambil keputusan sendiri. Gue akan bicarakan sama mereka dan mencari jalan keluarnya. Kalau kita sudah nemu, gue akan hubungi lo. Sekarang lo tenangin diri lo, oke?"
Air mata kembali menggenang di mata Valeria. "Ya, tapi Revan, gue nggak usah ikut gabung sama kalian aja," bisiknya putus asa. "Gue nggak apa-apa. Kalian aja yang jalanin bisnisnya. Lo nggak usah mikirin gue."
Revan meraih lengan Valeria, tatapannya tegas dan sedikit marah. "Val, lo jangan ngomong gitu! Masalahnya bukan soal bisnis ini, tapi soal lo. Lo harus ikut. Kita akan cari cara biar Mama lo setuju. Lo harus percaya sama gue."
Valeria mengangguk pelan, pasrah. Revan menepuk pundaknya sekali lagi, lalu berpamitan pada Tante Kiara dan melangkah keluar rumah.
Tante Kiara menatap Valeria. "Ayo, Val. Kita bereskan meja makan. Setelah ini kamu istirahat," ajak Kiara, menggenggam tangan Valeria dan menuntunnya kembali ke dapur.
...****************...
Revan melangkah keluar dari gerbang rumah Valeria. Rasa frustrasi dan kemarahan atas ultimatum Diandra masih membara dalam dirinya.
Saat ia berjalan menuju motornya, pandangannya langsung tertuju pada sosok yang duduk di atas motor sport tidak jauh dari sana. Itu adalah Damian.
Damian, yang sejak tadi menunggu dengan gelisah, segera mematikan mesin motornya begitu melihat Revan keluar. Mereka berdua saling tatap. Tatapan Damian penuh tanya dan kecemasan, sedangkan tatapan Revan dipenuhi keseriusan dan kekesalan.
Damian segera menghampiri Revan.
"Damian, lo mau ngapain di sini?" tanya Revan.
"Gue mau ketemu Valeria, tapi sepertinya ada Mamanya di dalam, ya?" jawab Damian. "Lo sendiri habis ngapain di rumah Valeria?"
"Gue habis ketemu aja sama Valeria, sekalian nawarin dia buat bisnis kafe. Dan ya, Tante Diandra ada di dalam," kata Revan.
"Oh, gitu. Terus dia mau join bisnis dengan kita?" tanya Damian penuh harap.
Revan menggeleng, lalu menarik Damian menjauh sedikit dari gerbang. "Gue nggak bisa ngomong di sini. Dia dibolehin ikut, tapi cuma sama gue. Tante Diandra ngelarang dia gabung sama lo, Kian, dan Liam."
Damian terkejut mendengar Revan. Ia melirik ke gerbang rumah Valeria, hatinya mencelos.
"Apa? Jadi dia tahu gue ikut handle bisnisnya?" tanya Damian, suaranya tercekat. Ia tahu kemarahan Mama Diandra bisa berakibat fatal bagi Valeria.
"Dia tahu, dan dia nggak setuju kalau ada lo di dalamnya," jelas Revan. "Dia cuma mau gue sama Valeria doang. Dia kasih ultimatum, kalau kita join berempat, Valeria dilarang ikut total. Ini gawat, Dam. Kita harus cari jalan keluar, dan cepat."
Revan menarik napas. "Kita harus ketemu Kian dan Liam sekarang. Diandra sudah kasih izin masuk, tapi dengan syarat yang nggak bisa kita terima. Kita harus pastikan rencana ini nggak hancur, dan Valeria bisa ikut."
"Oke," kata Damian, langsung menyalakan kembali motornya. "Kita ke tempat biasa."
Damian dan Revan segera melaju meninggalkan area perumahan Valeria, menuju tempat mereka biasa berkumpul untuk menyusun rencana.
Di tengah perjalanan, Revan memberi isyarat kepada Damian untuk menepi di pinggir jalan yang sepi. Keduanya mematikan mesin motor. Revan segera mengeluarkan ponselnya.
"Gue harus cepat kasih tahu mereka. Kita nggak bisa buang waktu," ujar Revan sambil membuka grup chat mereka.
Ia mengetik dengan cepat:
[Pesan Revan]
"Guys, Rencana bisnis gagal total. Diandra kasih ultimatum: Val cuma boleh join kalau cuma sama gue (Revan). Dia ngelarang keras kalau ada kalian. Ini gawat. Kita harus ketemu sekarang juga. Tempat biasa. MENDESAK!"
Setelah mengirim pesan itu, Revan memasukkan kembali ponselnya. Damian hanya mengangguk, mengerti bahwa situasi ini memerlukan kecepatan dan pemikiran strategis. Mereka tidak bisa membiarkan Valeria kehilangan kesempatan ini.
"Ayo, cepat. Kita harus sampai duluan dan susun framework sebelum mereka datang," kata Revan.
Keduanya kembali melaju kencang, membelah jalanan kota menuju tempat rahasia mereka.
Kian sedang duduk di perpustakaan rumahnya, membaca laporan bisnis saat ponselnya bergetar dengan notifikasi pesan masuk. Begitu ia melihat nama Revan dan membaca isi pesannya, ia langsung membanting laporan itu ke meja.
"Gagal total"? "Ultimatum"?
Kian tahu, ini bukan hal sepele. Revan hanya akan mengirim pesan sebegini mendesak jika situasinya benar-benar kritis. Ia segera menghubungi Liam.
Sementara itu, Liam yang sedang bermain game di kamarnya, terkejut saat menerima pesan yang sama dari Revan. Ia langsung menghentikan permainannya, tahu bahwa ada yang jauh lebih penting daripada ranking gamenya.
Liam segera menerima panggilan telepon dari Kian.
"Gue baru aja baca," kata Liam, suaranya tegang. " Tante Diandra gila. Dia nggak bisa kayak gitu!"
"Tahan dulu emosi lo, Li. Tante Diandra sudah kasih kita kartu As, tapi dengan syarat. Itu yang akan kita gunakan," potong Kian, suaranya tajam dan penuh strategi. "Ini bukan lagi soal bisnis, ini soal gimana kita bisa narik Valeria keluar dari sana tanpa dihukum Mamanya."
"Oke, framework baru?" tanya Liam.
"Tepat. Revan dan Damian pasti sudah di sana. Lo cepat ke sana sekarang. Gue on the way," perintah Kian.
...****************...
Beberapa menit kemudian, Revan dan Damian sudah tiba di tempat biasa mereka berkumpul, sebuah kafe kecil yang sudah tutup dan biasa mereka gunakan sebagai markas sementara. Tak lama, Kian dan Liam juga tiba, wajah mereka sama-sama terlihat serius.
...Hanya ilustrasi gambar. ...
Revan dan Damian duduk di meja, wajah mereka tegang. Kian dan Liam sudah tiba. Kian terlihat berpikir keras, sementara Liam masih tampak bingung.
Liam membuka pembicaraan. "Sejujurnya, gue agak bingung, sih. Kenapa masalahnya jadi pindah ke Valeria? Awalnya, rencana bisnis ini antara lo, Revan, Kian, Damian, dan gue. Tapi sekarang Valeria jadi pusat masalahnya."
Revan menghela napas, menyandarkan diri. "Oke, jadi gini."
"Awalnya, gue cuma nawarin Valeria buat join bisnis. Valeria bilang harus minta izin dulu ke Mamanya, dan dia takut Mamanya bakal nolak dan nggak ngijinin dia ikut. Gue bilang dia bisa bilang bisnis ini cuma antara gue dan dia biar Mamanya setuju."
"Tapi kelihatannya Valeria sangat takut buat ngomong ke Mamanya. Dia takut Mamanya akan marah dan ngelarang dia total. Akhirnya gue bilang gue yang akan ngomong langsung ke Tante Diandra."
"Dan di sana gue bikin kesalahan taktis. Gue malah bilang kalau rencana ini bukan cuma antara gue dan Valeria, tapi juga ada kalian: Kian, Damian, dan Liam."
Revan menceritakan reaksi Diandra. "Dia langsung screening satu per satu. Dia nyebut Kian, anak dari Rex Adrian. Dan Damian, anak yang semalam datang dan mau ngajak Valeria keluar malam. Dia bilang, Valeria cuma boleh gabung kalau cuma sama gue. Kalau sama kalian, dia larang total."
Revan menatap teman-temannya. "Jujur, gue bingung kenapa dia masalahin lo, Dam, gue ngerti karena kejadian semalam. Tapi gue nggak habis pikir, Kian, ada masalah apa antara bokap lo dan Mamanya Valeria? Sepertinya Tante Diandra nggak suka banget sama lo, Kian. Itu aneh."
Semua mata kini tertuju pada Kian. Ia menghela napas panjang, merapikan sedikit rambutnya, dan menyimpulkan apa yang ia duga.
"Gue nggak tahu detailnya, tapi gue tahu ini ada masalah. Dan masalahnya adalah persaingan bisnis," kata Kian, suaranya terdengar dingin dan tajam. "Bokap gue, Rex Adrian, dan Tante Diandra adalah saingan sengit di dunia bisnis. Mereka sudah lama berada di industri yang sama. Kalau Tante Diandra tahu gue join bisnis kafe sama anaknya, itu bakal jadi konflik lain. Dia nggak mau Valeria punya hubungan bisnis sama siapa pun yang berpotensi jadi ancaman buat dia."
Damian terkejut. "Persaingan bisnis? Lo serius, Kian?"
"Serius. Dan itu membuat situasinya makin rumit," jawab Kian. "Dia nggak cuma takut sama lo, Dam, dia juga takut sama influence bokap gue lewat gue."
Liam menggebrak meja dengan kepalan tangan. "Jadi sekarang apa? Kita biarin rencana ini gagal? Biarin Valeria balik diisolasi sama Mamanya?"
Kian menatap satu per satu temannya, kemudian kembali kepada Revan. "Revan, lo bilang kita dapat izin masuk dengan syarat lo dan Valeria doang. Itu adalah kartu yang akan kita mainkan. Kita harus pura-pura ikut permainannya."
Kian bergeser maju, meletakkan sikunya di atas meja.
"Begini strateginya. Revan, lo harus menghubungi Tante Diandra, segera. Bilang lo setuju dengan syaratnya. Bahwa bisnis ini resmi hanya atas nama Revan dan Valeria."
"Terus kita?" tanya Damian.
"Kalian akan jadi investor dan konsultan rahasia," jelas Kian. "Di atas kertas, di depan Tante Diandra, kalian nggak ada. Tapi di belakang layar, kalian tetap terlibat total dalam modal, ide, dan manajemennya. Kita pakai nama orang lain untuk dokumen resmi yang nggak akan dia lihat, atau kita buat struktur perusahaan yang sangat sederhana dan kabur."
"Valeria bagaimana?" tanya Revan.
"Valeria harus berperan meyakinkan Mamanya kalau dia dan Revan yang pegang kendali. Dan yang terpenting," Kian menunjuk ke arah Damian. "Damian, lo harus menghilang sementara dari lingkaran luar Valeria. Jangan sampai Tante Diandra punya bukti buat menolak rencana ini lagi. Jangan ke rumah Valeria dulu."
"Menghilang?" tanya Damian, tidak terima.
"Demi Valeria," tegas Kian. "Lo harus tunjukkin ke Mamanya kalau lo nggak akan jadi distraction."
Kian menatap Damian yang tampak tidak terima dengan ide 'menghilang' sementara.
Revan segera menimpali, berusaha meredakan ketegangan. "Lagian, lo nggak benar-benar menghilang, Dam. Di sekolah kalian masih bisa bertemu, apalagi kalian sekelas. Yang penting, jangan sampai Tante Diandra tahu lo dekat sama Valeria. Apalagi main ke rumahnya. Kita harus tunjukkan kalau proyek ini 100% aman dan hanya di bawah pengawasan gue sama Valeria."
Damian menyandarkan punggungnya, membuang napas kasar. Ekspresinya menunjukkan kekecewaan yang besar.
"Jadi, gue harus pura-pura jaga jarak dari dia di luar? Dan dia harus nahan semua masalah sendirian di rumah?"
"Nggak sendirian," sela Liam. "Dia punya kita. Kita di belakang layar. Kita akan sering ketemu lo di luar jam sekolah buat bahas ini."
"Dan gue akan sering ke rumahnya buat ketemu Mamanya, biar Mamanya yakin," tambah Revan. "Dam, ini demi Valeria. Kalau lo mau dia bebas dan punya alasan buat sering keluar rumah, kita harus ikutin permainannya Diandra dulu."
Damian menatap Kian dan Revan bergantian. Ia mengerti. Kebebasan Valeria lebih penting daripada harga dirinya.
"Oke," kata Damian, mengangguk perlahan. "Gue setuju. Tapi gue mau pastikan, setiap perkembangan bisnis, setiap masalah, Valeria harus tahu. Dan kalau ada hal serius di rumahnya, gue harus tahu juga."
"Tentu saja," jawab Kian, kini tersenyum tipis. "Sekarang kita fokus ke langkah pertama. Revan, besok pagi lo harus telepon Tante Diandra dan konfirmasi. Kita mulai siapkan modal dan dokumen untuk cover kita."
Revan menggeleng. Ia punya ide yang lebih berani.
"Nggak, gue nggak mau lewat telepon," kata Revan. "Besok pagi gue akan langsung ke rumah Valeria dan ngomong langsung ke Tante Diandra. Sepertinya lebih enak kalau dibicarakan langsung daripada lewat telepon."
Kian dan Damian saling pandang. Ini adalah langkah yang berisiko, tetapi juga menunjukkan keseriusan Revan.
"Yakin lo, Van?" tanya Damian. "Lo akan menghadapi Mamanya sendirian?"
"Gue yakin," jawab Revan. "Gue harus tunjukkin ke Tante Diandra kalau gue seserius itu sama bisnis ini. Kalau sudah deal sama Mamanya, baru kita jalankan rencana ini dari belakang."
Bersambung......