Kisah seorang gadis bernama Kanaya, yang baru mengetahui jika dirinya bukanlah anak kandung di keluarga nya saat umurnya yang ke- 13 tahun, kehadiran Aria-- sang anak kandung telah memporak-porandakan segalanya yang ia anggap rumah. Bisakah ia mendapatkan kebahagiaannya kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jeju Oranye, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BUK- 17 : Mengeluarkan uneg- uneg
Kanaya menatap ayahnya dengan tatapan penuh kekecewaan, dan rasa sakit. Kata-kata ayahnya serupa serpihan kaca yang menusuk hati kecilnya, yang selama ini berusaha keras menunjukkan bahwa dia mampu dan ingin membuktikan dirinya, bukan sekedar anak yang hanya pandai menggambar.
Sementara tuan Abiyasa masih bergeming, ekspresi nya tetap tak berubah meski melihat kekecewaan dalam tatapan dan suara anaknya itu, ia bahkan berpikir jika reaksi yang di berikan Kanaya itu terlalu berlebihan.
"Sudah lah Kanaya, papa juga melakukan ini demi dirimu. Jika berada dalam satu kelas kamu akan lebih dekat dengan aria. Lagipula soal akademis, bukankah aria lebih unggul? papa juga mengerti soal hobi mu, jika kamu masuk ips, bukankah dengan begitu tidak akan menggangu hobi mu yang suka menggambar? "
Setelah mengatakan itu, tuan Abiyasa bangkit dari duduknya seraya melepas kaca mata kerjanya. Ia berjalan melewati Kanaya begitu saja untuk pergi ke ruang tengah, di mana keluarga mereka sedang berkumpul di sana.
Namun baru saja ia keluar melewati pintu, Kanaya dengan berjalan cepat menghadang langkahnya, tuan abiyasa mengernyit. Wajahnya yang selalu penuh kewibawaan itu kini seperti penuh kerumitan.
"Ada apa lagi Kanaya, bukankah sudah papa bilang--"
"Anda tidak bisa memperlakukan saya seenaknya seperti ini, pak Abiyasa! "
Ucapan tuan Abiyasa tergantung begitu saja di udara saat Kanaya berujar dengan begitu lantangnya seolah tak kenal apa itu ketakutan. Matanya yang penuh keteguhan membuat tuan abiyasa tertegun.
Namun hanya sesaat rasa terpanah tuan Abiyasa mucul karena setelahnya wajah pria paruh baya itu terlihat memerah padam.
"Apa- apaan kamu ini, Kanaya. Kenapa jadi bersikap tidak sopan begitu pada orang tua? "
Suara tuan Abiyasa yang menggelegar luar biasa membuat seisi rumah terkesiap kaget, anggota keluarga yang berada di ruang tengah akhirnya berbondong-bondong menuju ke ruang kerja tuan abiyasa. Nyonya Tania yang paling cemas, soalnya dia yang paling mengetahui bagaimana tabiat buruk suaminya jika sedang marah. Oleh karena itu dia buru- buru mendekat ke arah sang suami untuk meredam emosi nya meski dia tahu itu akan sia-sia sebab kali ini suaminya benar-benar sangat murka.
"Sayang, sabarlah. " nyonya Tania mengelus pundak suaminya dengan lembut.
Namun hal itu tak juga meredakan amaran tuan abiyasa, seluruh tubuh nya bergetar, matanya menatap nyalak.
"Anak durhaka ini! " ia menunjuk tepat di wajah Kanaya. "Lama-lama memang tak bisa di biarkan, sekarang apa mau mu hah? katakan?! "
Sementara Kanaya tetap tenang walaupun ia tahu tatapan semua orang kini mengarah padanya seperti sedang menghakimi.
"Pertama- tama bapak Abiyasa yang terhormat, tolong saya minta anda untuk tidak terus merendahkan saya. Memangnya anda tahu apa? saya mati- matian belajar agar bisa di posisi sekarang, tapi anda seenaknya menghancurkan mimpi yang sudah susah payah saya rajut begitu saja. "
"Yang kedua, tolong jangan anda katakan bahwa saya tak lebih pintar dari anak kandung anda soal akademik karena anda tak tahu apa- apa! "
Setelah mengatakan itu, Kanaya pergi ke dalam kamarnya sendiri, kamar yang bahkan lebih sempit dari kamar seorang pembantu. Ia mengeluarkan semua piala nya dan sertifikat penghargaan yang pernah ia dapatkan semasa di sekolahnya yang dulu.
Di rangkul nya semua dengan erat dalam dua tangan lalu menghamburkan nya di depan mereka yang selalu merendahkan soal prestasinya itu.
"Lalu semua ini apa? prestasi yang tak pernah kalian lihat. Aku mendapatkan nya bahkan di saat dia. " ia menunjuk ke arah Aria. "Yang kalian usahakan secara mati- matian belum tentu mendapatkan nya. " akhirnya ia menyombongkan sesuatu yang selama ini selalu ia pendam hanya agar Aria tak merasa insecure padanya.
Dan ini juga bukan pertama kalinya Kanaya di rendahkan soal prestasi, mereka pikir Kanaya hanya murid bodoh yang hanya tahu soal menggambar. Oleh sebab itu semenjak kedatangan Aria, mereka tak pernah lagi memperdulikan soal prestasi Kanaya di sekolah bahkan tak memfasilitasi itu. Di saat aria mendapatkan guru privat terbaik untuk belajar sementara Kanaya hanya mampu tersenyum getir dan mengandalkan kemampuan otaknya saja.
Seluruh tubuh Kanaya bergetar, ia akhirnya mengeluarkan uneg- unegnya yang selama ini ingin ia keluarkan, di depan ayahnya.
Sementara Areksa, yang melihat itu semakin tak tahan dengan sikap Kanaya yang menurutnya sudah keterlaluan. Maka dengan wajahnya yang mengeras penuh amarah, ia menarik lengan Kanaya dengan kasar.
Sreek! tiba-tiba saja baju yang di kenakan Kanaya robek di bagian leher. Baju itu memang asalnya sudah sangat lama dan usang namun masih di pakai oleh Kanaya. Oleh sebab itu juga gesekan antara baju dan kulitnya membuat ia meringis karena tepat mengenai luka- luka nya.
Wajah Kanaya meringis menahan perih. Sementara semua orang tertegun saat melihat tampak di sekitar leher hingga tulang selangka Kanaya penuh dengan luka hingga bagian atas lengannya.
Wajah- wajah mereka tampak menggelap campuran antara keterkejutan dan kerumitan yang dalam.
Sementara areksa yang menyebabkan itu semua langsung merasa bersalah, seperti sebuah godam besar menghantam dadanya dengan begitu kuat.
"A- apa? apa yang terjadi padamu? " lirih Areksa, getir. Luka- luka ada yang terlihat sudah mengering ada juga yang masih di balut perban. Mereka tidak menyadari nya sama sekali selama ini betapa Kanaya berusaha untuk menyembunyikan luka- luka itu.
Di sisi lain tuan abiyasa juga tertegun, namun ekspresi nya tampak tak terbaca.
Kanaya yang melihat reaksi beragam dari mereka hanya tersenyum miring. Akhirnya sesuatu yang selama ini mati- matian ia sembunyikan, terbongkar juga.
"Lucu sekali melihat ekspresi mereka, seolah-olah mereka merasa bersalah. Apa mereka baru menyadari nya sekarang? "
Di sisi lain Areksa tampak tak sabaran menunggu jawaban dari adiknya itu.
"Kanaya, katakan lah! " desaknya sambil mengguncang pundak Kanaya, pelan.
Sementara Kanaya hanya menatap datar. Tak ada air mata, tak ada tangis, karena ia sudah lelah melakukan itu. Wajahnya tampak tak berekspresi dengan jelas meski bulu matanya bergetar pelan. Ia menatap satu persatu semua anggota keluarga itu dengan raut datar.
Sementara areksa sudah di ambang batas kesabaran nya.
"Kanaya katakan lah, apa yang terjadi padamu? apa kamu mendapatkan perundungan? " kali ini Areksa berteriak, mendesak adik nya itu agar membuka suara.
Hingga pada akhirnya Kanaya melirik ke arah areksa menatap matanya dengan datar. "Ya aku mendapatkan perundungan di panti asuhan, apa kalian puas?!"
Terkejut lah mereka, sampai-sampai Areksa memundurkan langkahnya karena kenyataan yang begitu hebat memukul egonya.
"B- bagaimana bisa? bukankah kau bilang kau suka berada di panti itu? "
"Aku tak pernah benar-benar bilang suka, karena kenyataan nya aku hanya terpaksa, itu juga alasan agar kau tak memaksa ku untuk pulang. Karena pada kenyataannya entah di rumah ini ataupun di panti, Sama-sama neraka bagiku. "
Dan semua orang tertegun dengan pernyataan Kanaya tersebut.
****