Putri Rosella Lysandrel Aetherielle, anak bungsu Kerajaan Vermont, diserahkan sebagai tawanan perang demi menyelamatkan tahta dan harga diri keluarganya.
Namun yang ia terima bukan kehormatan, melainkan siksaan—baik dari musuh, maupun dari darah dagingnya sendiri.
Di bawah bayang-bayang sang Duke penakluk, Rosella hidup bukan sebagai tawanan… melainkan sebagai alat pelampiasan kemenangan.
Dan ketika pengkhianatan terakhir merenggut nyawanya, Rosella mengira segalanya telah usai.
Tapi takdir memberinya satu kesempatan lagi.
Ia terbangun di hari pertama penawanannya—dengan luka yang sama, ingatan penuh darah, dan tekad yang membara:
“Jika aku harus mati lagi,
maka kau lebih dulu, Tuan Duke.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luo Aige, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mak comblang istana
Setelah bidak terakhir di papan catur Kaisar terguling, permainan usai dengan senyum samar kemenangan di wajah Orion. Ia menunduk hormat, lalu meninggalkan ruangan dengan langkah mantap. Prajurit pengawal segera mengarahkan jalannya menuju balairung dalam yang lebih kecil, tempat para kerabat serta sahabat lamanya telah menunggu.
Ruangan itu memang tidak sebesar aula utama, tetapi kehangatannya jauh berbeda. Tirai merah keemasan menjuntai di jendela tinggi, aroma anggur manis memenuhi udara, dan suara tawa riang sudah terdengar bahkan sebelum Orion menjejakkan kaki di ambang pintu.
“Ah, akhirnya Sang Serigala Kaisar datang juga!” seru Pangeran Albrecht,—sepupu dekatnya, sambil menepuk bahu Orion dengan keras. “Kupikir kau akan mengurung diri lagi bersama papan catur tua itu sampai matahari terbenam.”
Di sampingnya, Pangeran Lucien yaitu sepupu lain yang terkenal lebih lembut dan gemar bermain kata ikut menimpali dengan tawa kecil. “Hati-hati, Albrecht. Jika ia terus bermain dengan Kaisar, jangan-jangan kepalanya penuh strategi dan tak menyisakan ruang untuk sekadar membahas lelucon bersama kita.”
Orion hanya mendengus ringan. “Lebih baik penuh strategi daripada penuh omong kosong.” Namun bibirnya sedikit terangkat, tanda ia tidak benar-benar marah.
Di meja sudah menunggu dua sahabat seperjuangannya, Lord Komandan Garneth dan Count Merek von Halberd, yang pernah bertempur bersamanya di garis depan. Mereka bukan kerabat darah, tetapi ikatan perang membuat mereka lebih dekat daripada saudara kandung.
“Duduklah, Sang Besi Dingin,” cibir Merek sambil menuangkan anggur ke cawan Orion. “Kami tadi sedang membicarakan sesuatu yang amat penting bagi masa depan Kekaisaran.”
Orion mengangkat alis. “Pasti topik serius.”
“Serius sekali,” jawab Garneth dengan nada dramatis, mencondongkan tubuhnya. “Kami sedang menentukan bunga mana yang paling cocok untuk dijadikan pendamping hidup Duke Draevenhart.”
Tawa pun pecah di sekeliling meja.
Albrecht menepuk meja, menyeringai nakal. “Di taman selatan, bunga mawar putih sedang mekar. Tempat sempurna untuk melihat para nona bangsawan berlenggak-lenggok pura-pura menikmati alam.”
Lucien segera menimpali, “Taman barat lebih indah. Pohon magnolia mekar seperti salju yang jatuh dari langit. Para wanita suka berjalan di sana sambil membawa kipas. Kau cukup berdiri saja, dan mereka akan berlomba-lomba menatapmu.”
“Jangan lupa taman bunga iris di dekat kolam,” sela Merek. “Di sana ada jalan setapak sempit. Cocok sekali untuk sepupu kita ... atau siapa pun mendorongmu ‘tak sengaja’ bertemu seorang putri yang anggun.”
Albrecht mencondongkan tubuh, matanya berbinar penuh ide gila. “Kita bisa jadi mak comblang, Orion! Bayangkan saja, kami bersembunyi di balik semak, lalu ketika seorang wanita lewat, kami tiba-tiba—”
“Cukup.” Orion menyela datar, meski nada tawanya samar terdengar di balik ketegasan itu. “Kalian ini prajurit atau ibu-ibu pasar?”
Lucien pura-pura menghela napas berat. “Sayang sekali. Padahal aku sudah menyiapkan kalimat pembuka yang puitis untukmu. Kau tinggal mengucapkannya, dan hati siapa pun pasti luluh.”
“Benar,” sahut Garneth sambil terkekeh. “Kalimat itu bisa membuat mereka jatuh cinta atau lari terbirit-birit.”
Merek mengangkat cawan tinggi-tinggi. “Untuk Orion, Sang Pendiam yang lebih takut pada bunga daripada pada medan perang!”
Sorak sorai meledak. Cawan beradu, anggur tumpah sedikit di atas meja. Bahkan Orion tak sanggup menahan tarikan tipis di sudut bibirnya.
“Jika kalian punya waktu luang untuk omong kosong seperti ini ...,” ucapnya akhirnya. “Lebih baik gunakan untuk melatih prajurit atau menjaga perbatasan. Bukan mengatur taman bunga untukku.”
Namun nada itu tidak setajam biasanya. Semua yang hadir tahu, Orion membiarkan dirinya digoda. Untuk sesaat, atmosfer istana yang biasanya sarat intrik menjadi ringan—sekadar tawa para kerabat dan sahabat yang pernah menghabiskan masa muda bersama, kini saling meledek demi melupakan beban berat yang menunggu di pundak masing-masing.
Tawa di balairung dalam belum sepenuhnya reda ketika Albrecht tiba-tiba berdiri, menepuk bahu Orion dengan keras.
“Sudah cukup bicaranys. Kita buktikan sekarang.”
Lucien segera menyambar, suaranya penuh semangat nakal. “Ya, sebelum Sang Pendiam ini sempat kabur ke ruang strategi lagi.”
Begitu Orion hendak melangkah mundur, kedua sepupunya itu serentak menggandeng lengannya. Pegangan mereka begitu erat, seakan-akan sedang menarik seekor kuda liar yang berusaha lepas. Garneth dan Merek di belakang justru menyoraki sambil terbahak, sama sekali tak berniat menolong.
“Lepaskan aku, Albrecht. Lucien.” Suara Orion berat dan dingin, nyaris seperti gertakan di medan perang. Namun kali ini tidak seorang pun bergeming.
“Tidak sebelum kau menginjakkan kaki di taman bunga,” jawab Albrecht seenaknya, tetap menyeretnya maju. “Kau selalu punya alasan untuk menghindar. Sekarang tidak ada jalan keluar.”
Merek meledak dalam tawa, suaranya bergema hingga pilar-pilar marmer. “Akhirnya aku bisa melihat Duke Draevenhart yang ditakuti musuh, diseret seperti anak kecil yang menolak mandi!”
Sorak tawa kembali pecah. Lorong panjang menuju taman pun penuh gema langkah mereka, bercampur dengan suara riang para kerabat dan sahabat yang merasa menemukan hiburan baru. Para pelayan yang kebetulan lewat hanya menunduk sopan, tetapi senyum-senyum kecil lolos juga dari bibir mereka. Tidak setiap hari mereka melihat sang Duke diperlakukan seperti tawanan oleh darah daging dan sahabatnya sendiri.
Pintu besi tempa yang mengarah ke taman selatan akhirnya terbuka. Udara segar menerpa, membawa aroma manis bunga mawar yang sedang mekar. Cahaya senja menumpahkan warna emas di atas jalan setapak batu putih, membuat embun yang menempel di dedaunan berkilau bagai permata. Air mancur di tengah taman berderai lembut, menjadikan tempat itu seolah dunia lain bukan medan politik, melainkan ruang yang lebih tenang dan lembut.
Para wanita bangsawan sudah hadir di sana. Mereka berjalan perlahan, gaun panjang menjuntai menyapu jalan setapak, kipas lipat berayun lembut di tangan. Beberapa bercengkerama sambil tertawa lirih, sebagian lagi melirik ke arah rombongan pria yang baru datang. Bisikan-bisikan halus segera terdengar, terselip di balik senyum malu-malu yang mereka sembunyikan di balik kipas.
Albrecht dengan cepat mencondongkan badan, menunjuk ke arah seorang wanita bergaun biru pucat dengan rambut emas tergerai hingga pinggang. “Lihat itu,” katanya dengan nada setengah kagum, setengah usil. “Lady Seraphine Velmar. Senyum kecilnya saja bisa membuat bangsawan tua lupa akan intrik. Jika ia bernyanyi, seluruh aula akan hening.” Seraphine memang berdiri dekat air mancur, jemari halusnya menyentuh kelopak mawar yang jatuh ke permukaan air.
Lucien menepuk lengan Orion, lalu melirik ke sisi lain jalan. “Dan itu, Lady Isolde Theremont.” Rambut hitam Isolde disanggul tinggi berhias permata, matanya kelabu berkilat tajam. Gaun merah anggurnya menjadikannya pusat perhatian, meski langkahnya tenang dan penuh wibawa. Tatapannya seperti pisau, mampu membelah siapa saja yang berani menantang. Lucien terkekeh pelan. “Jika Seraphine adalah lagu, maka Isolde adalah belati. Dua sosok berbeda, tetapi sama-sama bisa menjerat siapa pun yang cukup bodoh untuk mendekat.”
Belum sempat Orion bereaksi, Merek yang sedari tadi menahan tawa menepuk bahunya. “Dan lihat ke sana—Lady Celestine D’Arclay.”
Sosok berambut cokelat kemerahan itu tampak melangkah ringan di antara temannya, matanya hijau zamrud berkilau di bawah sinar senja. Tawanya jernih seperti lonceng kecil, gaun hijau muda dengan renda putih membuatnya terlihat seolah musim semi tengah berjalan di antara mawar. “Dengan dia ...,” lanjut Merek sambil tergelak. “Aku jamin kau akan lebih sering dibuat pusing daripada menghadapi Kaisar di papan catur.”
Ketiga wanita itu jelas sadar sedang diperhatikan. Seraphine menunduk sedikit dengan senyum tipis, Isolde hanya melirik sekilas dengan tatapan sulit ditebak—dingin namun memikat. Celestine sebaliknya, ia bahkan berani melambaikan kipas kecilnya sambil tertawa, seolah sengaja mempermainkan situasi.
Orion hanya menatap mereka sekilas, matanya dingin, lalu memalingkan wajah. “Semua ini buang-buang waktu.”
“Buang-buang waktu?” Albrecht pura-pura terkejut, menepuk dada dramatis. “Astaga, Orion. Ini bukan buang-buang waktu. Ini misi kami, misi mak comblang.”
Lucien menunduk, memberi salam teatrikal. “Benar sekali. Demi darah keluarga, demi masa depan Kekaisaran, dan demi hiburan pribadi kami.”
Garneth yang biasanya kaku akhirnya ikut bersuara, nadanya berat namun penuh sindiran. “Anggap saja ini strategi politik. Pilihanmu bisa mengguncang reputasi Kekaisaran.”
Orion mendesah lirih, hampir tak terdengar. “Kalian semua lebih menyebalkan daripada seribu musuh di medan perang.”
Kalimat itu justru membuat tawa semakin meledak. Bahkan beberapa wanita bangsawan yang memperhatikan dari kejauhan saling menyikut, berbisik dengan mata berbinar. Jarang sekali mereka melihat Duke Orion von Draevenhart yang terkenal dingin, diseret ke taman seperti tawanan oleh kerabat dan sahabatnya sendiri.
Meski wajahnya tetap datar, seolah tak terusik oleh semua perhatian itu, mereka yang mengenalnya dengan baik tahu, jika di balik tatapan dingin itu ada kilatan kecil, entah jengkel, entah geli. Dan justru kilatan itulah yang membuat para mak comblang dadakan ini semakin yakin, suatu hari nanti, bahkan Duke Orion pun tidak akan bisa selamanya menghindar dari permainan hati.
~oo0oo~
Perjalanan dari istana kekaisaran menuju Dreadholt berlangsung tanpa banyak percakapan. Orion hanya berdiam di dalam kereta, pandangannya terarah ke luar jendela, menatap hutan-hutan hitam yang bergoyang diterpa angin malam. Sesampainya di kediaman, ia tidak segera beristirahat, melainkan langsung menuju kamar pribadinya yang luas dan dingin.
Begitu pintu berat itu tertutup, ia melepas mantel hitamnya lalu menjatuhkan tubuh ke kursi kerja yang berdiri di dekat meja panjang, penuh kertas, peta, dan buku. Lilin-lilin di atas tempat lilin perak bergoyang, nyalanya bergetar diterpa angin yang masuk dari jendela yang belum sepenuhnya tertutup.
“Varron,” panggilnya singkat. Suaranya berat, tak memberi ruang bantahan.
Marshal Agung yang setia itu maju selangkah, menunduk dalam. “Ya, Tuan.”
“Panggil Rosella. Katakan padanya aku ingin makan malam disiapkan sekarang.”
“Segera, Tuan.” Varron memberi hormat, lalu keluar dengan langkah mantap.
Tak lama, pintu kembali berderit. Rosella masuk, membawa nampan berisi hidangan berupa sup hangat, beberapa potong roti, daging panggang yang masih beruap tipis, dan kue-kue manis kecil yang tersusun rapi di atas piring porselen putih. Dengan langkah hati-hati, ia meletakkan nampan itu di atas meja, di hadapan Orion.
“Silakan nikmati makan malam anda, Tuan Duke,” ucap Rosella tenang, meski tangannya sempat bergetar halus ketika menyusun piring.
Orion tidak segera bergerak. Ia tetap bersandar di kursinya, satu tangan menyangga pelipis, tangan lainnya membalik lembaran majalah asing yang ia baca sekilas. Tatapan birunya hanya menyinggung hidangan, lalu kembali pada halaman. Senyum miring menghiasi bibirnya.
“Cobalah satu kuenya,” ucapnya dingin, tanpa mengalihkan pandangan dari bacaan. “Siapa tahu kau menaruh racun secara diam-diam di dalamnya.”
Rosella terdiam. Jemarinya menegang di sisi gaunnya, dadanya naik turun perlahan menahan gejolak perasaan. Ucapan itu bukan hanya penghinaan, tetapi juga pengingat pedih bahwa ia tetaplah tawanan yang tak pernah dipercaya.
Dengan rahang mengeras, ia akhirnya meraih satu kue kecil di piring. Tanpa berkata apa pun, ia menggigit ujungnya, menelan perlahan, lalu menatap Orion dengan sorot tajam. Bibirnya menahan kata-kata, tetapi tangannya terangkat, memperlihatkan kue itu. “Tidak ada racun, Tuan.”
Barulah Orion menurunkan majalahnya. Tatapannya menelisik, seolah ingin membaca kebenaran dari dalam mata gadis itu. Bibirnya terangkat lagi dalam senyum miring. “Benarkah?”
Sebelum Rosella sempat menjawab, pria itu berdiri. Hanya dua langkah, cukup untuk menghapus jarak di antara mereka. Dengan gerakan tiba-tiba, ia mendorong tubuh Rosella hingga jatuh ke sofa panjang yang tadi sempat ia duduki.
Tubuh gadis itu terhempas, matanya membelalak kaget, sisa kue yang masih tergenggam terjepit di tangannya. Orion menunduk, kedua lengannya bertumpu pada sandaran, mengurung tubuh Rosella sepenuhnya. Aura dingin dari tubuhnya berpadu dengan aroma besi yang menempel di pakaian, menyelimuti udara di antara mereka.
Rosella terengah, masih berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. Namun sebelum ia sempat bicara, Orion meraih pergelangan tangannya yang masih menggenggam kue bekas gigitan, dan tanpa basa-basi ia menunduk kemudian mencicipi bagian yang telah digigit Rosella.
Hening. Yang terdengar hanyalah desah napas mereka yang beradu dekat.
Lalu—
Tok, tok, tok.
Ketukan pelan terdengar dari pintu.
“Orion, apakah kau di dalam?” Suara seorang perempuan terdengar jelas dari luar. Nada itu khas, dalam, penuh wibawa—Grand Duchess.
Orion tidak segera menjawab. Tatapannya tetap tertuju pada Rosella, seolah mencoba meneliti setiap reaksi gadis itu, sementara senyum samar masih menggantung di bibirnya.
.
.
.
Bersambung ....