Seorang pria bernama Lorenzo Irsyadul, umur 25 tahun hidup seorang diri setelah ibunya hilang tanpa jejak dan dianggap tiada. Tak mempunyai ayah, tak mempunyai adik laki-laki, tak mempunyai adik perempuan, tak mempunyai kakak perempuan, tak mempunyai kakak laki-laki, tak mempunyai kerabat, dan hanya mempunyai sosok ibu pekerja keras yang melupakan segalanya dan hanya fokus merawat dirinya saja.
Apa yang terjadi kepadanya setelah ibunya hilang dan dianggap tiada?
Apa yang terjadi kepada kehidupannya yang sendiri tanpa sosok ibu yang selalu bersamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon A Giraldin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 33: Scary
Setelah mengembuskan napas, Lorenzo memulai percakapan dengan kondisinya juga ikutan tenang. “Liliana, apakah lukamu baik-baik saja sekarang?” tanyanya kepadanya dengan tampang penuh ke khawatiran.
Liliana seperti biasa tetap tanpa emosi dan langsung menjawab pertanyaannya. “Aku baik-baik saja sekarang. Lukaku juga tidak seberapa, jadi bisa sembuh sendiri. Terimakasih sudah membopongku ke sini, Lorenzo!”
Liliana yang menundukkan kepalanya membuatnya langsung panik. “Aaa... angkat kepalamu!” mohonnya kepadanya. Liliana pun menurutinya dan Lorenzo langsung kembali berucap. “Lalu, kau tidak ingin tahu yang terjadi sebelum-sebelumnya kah!” tawarnya kepadanya.
Berpikir sebentar dan langsung menerima tawarannya. “Tentu saja mau. Jadi, apa yang terjadi selama aku pingsan?” tanyanya kepadanya.
Lorenzo menceritakan semua hal yang terjadi. Red dan lain sebagainya ia ceritakan semuanya tanpa terlewat sedikitpun. Selesai menceritakan semuanya, ia langsung meminta pendapat padanya. “Kurang lebih seperti itu. Bagaimana menurutmu?”
Berpikir cukup lama dan menjawabnya setelah selesai berpikir. “Ternyata bisa seperti itu ya. Apakah kemungkinan besar, informasi itu mau diucapkan atau tidak, akhirnya akan berbeda-beda?”
Pertanyaannya membuatnya berpikir sejenak dan menjawabnya. “Sepertinya seperti itu. Kalau begitu, jika itu benar, yang masih menjadi misteri adalah... bagaimana cara Black Figure melakukan itu semua? Aku tahu seberapa mengerikannya dia, tapi tetap saja, misteri itu harus dipecahkan.”
Berbaring dan kedua tangannya ditaruh di belakang kepala sambil melihat langit-langit. “Entahlah, aku juga tak tahu bagaimana caranya bisa melakukan banyak hal semengerikan itu. Yang paling aneh menurutku adalah... kalau ia bisa melakukan hal seperti itu, kenapa tak melakukannya kepada kita? Kita bisa mati kapan saja, tapi ia tak melakukannya, jadi... kenapa?”
Lorenzo langsung menjawabnya dengan cepat karena yakin akan jawabannya. “Mudahnya, Black Figure bisa membunuh kalau ada Red di dalam tubuh seorang pria atau wanita. Tanpa Red, kita akan baik-baik saja. Lalu, setiap senjata pemerintahan, para anggotanya, semuanya memilikinya. Yang tak masuk ke dua hal itu, berarti tak memilikinya.”
Jawabannya membuatnya menutup mata sebentar dan langsung menatapnya tanpa perubahan ekspresi. “Begitu ya. Yahh... itu masuk akal sih. Sekarang, tak ingin melakukan sesuatu denganku!” tawarnya kepadanya.
Wajahnya memerah hebat dan langsung menatapnya. “A-apa maksudmu?” tanyanya dengan agak terbata-bata dan malu-malu kucing.
Liliana langsung setengah duduk dan mendorongnya sampai ia berada di bawahnya. Kepala mereka berdua saling berdekatan dan Lorenzo tak bisa menatapnya dengan benar. “Li-liliana tu-tunggu, a-apa yang mau k-kau lakukan?”
Menjawabnya dengan santai dan tanpa perubahan ekspresi. Ia lebih dekat lagi dan Lorenzo langsung menutup kedua matanya. “Oke, tenang... Liliana tak mungkin melakukan sesuatu yang aneh-aneh. Jadi, buka matamu dan__.” Begitu membuka kedua matanya, ia langsung terkejut dan tak bisa berkata-kata.
Keningnya dicium olehnya dan membuat Lorenzo refleks langsung bergerak cepat dalam posisinya sampai ke bawah lantai. Wajahnya memerah hebat, malu-malu, jantung berdetak kencang, pandangan ke mana-mana, mata membentuk spiral, dan asap keluar dari atas kepalanya.
“Ta-tadi itu apa?” tanyanya dengan agak terbata-bata tanpa mengubah kondisinya sekarang.
Berpikir sebentar dan menjawabnya setelah selesai berpikir. “Hadiah untuk kerja kerasmu. Informasimu sangat berharga dan semua yang sudah kau lakukan semuanya...” beranjak dari tempat tidurnya, berjalan mendekatinya, Lorenzo tak bisa bergerak ke mana-mana, dan tahu-tahu, Liliana duduk sepertinya serta kepalanya berdekatan dengannya.
Membisikkan sesuatu di telinga kanannya. “Kalau kau lebih bekerja keras lagi, aku bisa memberikan lebih dari sekedar mencium keningmu,” katanya tanpa ekspresi menggoda atau datar selalu bahkan dikondisi seperti ini.
Tak bisa lagi mengendalikan dirinya, ia jatuh terbaring dengan cepat, dan langsung mengatakan sesuatu. “Ba-baikk. A-aku akan lebih be-bekerja ke-keras lagi.” Ia tak bergerak dan berbicara lagi atau bisa dibilang... pingsan.
Lorenzo yang pingsan membuatnya langsung mengangkat tubuhnya, membaringkannya di tempat semula, dan Liliana juga ikut berbaring di tempatnya semula. Lampu terang benderang tetap tak dimatikan agar kondisi Love hotel masih tetap sama.
Saat Liliana perlahan menutup kedua matanya sambil membelakanginya, tetap tak ada perubahan ekspresi, tapi ia mengatakan sesuatu sebelum tertidur nyenyak. “Selamat tidur, Lorenzo. Terimakasih sudah menyelamatkanku.”
Mereka berdua pun tidur nyenyak dan pagi hari tiba begitu saja. Kondisi perkotaan adalah langit cerah, burung gereja berkicau di atap-atap rumah warga, bangunan-bangunan tampak normal, orang-orang menjalankan aktivitasnya seperti biasa, dan kendaraan-kendaraan berlalu lalang seperti biasanya.
Saat pagi hari tiba, yang bangun pertama adalah Lorenzo dengan wajah sedikit memerah dan kondisi lainnya baik-baik saja sekarang. Ekspresi masih malu-malu, perlahan mulai berubah menjadi tersenyum lebar.
Ia membangunkan Liliana dan dirinya bangun begitu saja. Dalam posisi yang sama atau setengah duduk, mereka berdua saling bertatapan satu sama lain dengan kondisi seperti biasanya. Dengan senyum lebarnya, ia langsung mengatakan sesuatu kepadanya. “Selamat pagi, Liliana.”
Ucapannya ia balas dengan cepat. “Selamat pagi, Lorenzo.” Menguap sambil menutupnya dengan tangan kanannya. “Sepertinya, aku masih ingin tidur.”
Lorenzo beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan menuju pintu keluar. “Begitu ya. Bye, bye dan sampai jumpa di restoran dekat sini.” Saat mau membuka pintu, Liliana langsung mengatakan sesuatu yang membuatnya berhenti. “Kau punya uang! Masuk juga mungkin langsung dikasih menu, minta bayaran, dan bagaimana kau mengatasinya?”
Pertanyaannya membuatnya membalikkan badannya dan memohon untuk ikut bersamanya. “Tadi hanya bercanda dan... ayo pergi bersama ke restoran, Liliana!” ajaknya kepadanya dengan memohon sekali sampai kedua matanya berkaca-kaca.
Tak sanggup menahan tampangnya, Liliana menghela napas, dan beranjak serta melepaskan genggaman tangannya. “Oke, jadi, ayo pergi ke sana.”
Mereka berdua saling berdekatan satu sama lain dan Lorenzo bukannya wajahnya memerah, ia malah tersenyum lebar dan... “Oke.” Pergi begitu saja menuju ke pintu keluar.
Liliana mengikutinya dan... tak terjadi apa-apa setelah keluar dari hotel. Saat berjalan di jalan setapak, sebuah kejadian terjadi di jalanan yang membuat langkah mereka berhenti. “BRENGSEKKK!!!” teriaknya kencang dan langsung meninju pipi kanannya.
Seorang pria berpenampilan rambut putih seperti macan, mata orange seperti harimau, dan pakaian judo, serta caranya melakukan bela diri, bisa dibilang sebagai... bukan ahli bela diri.
Seorang pria yang berpenampilan rambut hitam lurus, mata biru laut, dan pakaian judo sama sepertinya, membuktikan lagi bahwa ia maupun yang satunya bukanlah ahli bela diri atau singkatnya bisa dibilang... cuman pakai saja.
Kerumunan orang-orang mengerumuni jalan yang menghalangi Lorenzo dan Liliana untuk pergi ke restoran terdekat dari hotel. Kerumunan yang teriak-teriak dengan tangan membentuk lingkaran di bibir, mengangkat tangan kanan dan kiri secara bergantian, dan melempar botol kaleng ke arah mereka berdua.
3 hal tersebut tak dilakukan sama oleh semua orang atau singkatnya hanya beberapanya saja yang melakukannya. Beberapa orang seperti Liliana dan Lorenzo hanya bisa menonton saja, namun dengan ekspresi berbeda. Liliana dan Lorenzo menatap datar penuh khawatir, sedangkan beberapa orang menatap mereka dengan tersenyum dan tertawa terbahak-bahak.
“OYY!! CEPAT KALAHKAN PUTIH SIALAN ITU!” teriak salah seorang diantara penonton kepada pria berambut hitam.
Mereka semua langsung meneriakkan banyak sekali sampai ada yang mencaci maki, berkata kasar, dan lain sebagainya. Di belakang mereka berdua, dua orang pria dengan yang satu memakai pakaian hijau dan yang satu memakai pakaian merah saling bergosip satu sama lain.
“Mereka berdua lagi. Si putih brengsek belum jera-jera ya! Si hitam sialan juga kenapa belum bisa mengalahkannya?” tanyanya kepada si pakaian merah.
Si pakaian merah langsung menjawabnya. “Guru mereka sangat ketat soalnya. Kalau tak ada yang bisa mengalahkan salah satunya, setiap hari ini, pasti akan diulang-ulang terus kejadian yang sama.”
“Bwahaha,” tawanya berlebihan. “Apa-apaan itu?”
Ikut tertawa terbahak-bahak. “Namanya juga mafia. Di mana-mana mereka memang brengsek.”
Jalan kanan dan kiri banyak kendaraan beroda dua dan beroda empat membunyikan klakson semuanya. Puluhan kendaraan-kendaraan tersebut bahkan pengemudinya saja sampai teriak-teriak marah kepada mereka berdua.
“HITAM SIALAN, CEPAT KALAHKAN SI PUTIH!” perintahnya menyemangati si hitam.
“MENYINGKIRLAH DARI JALAN, PARA BRENGSEK!” teriaknya sambil memerintahkan kepada kerumunan serta kepada mereka berdua.
Teriakan-teriakan penuh amarah keluar semuanya dan semua itu berhenti setelah suara mobil polisi terdengar. Lorenzo dan Liliana menatap ke belakang dan Lorenzo terkejut akan apa yang ia lihat. “A-apa-apaan itu?!”
Bersambung...
Tulisanmu bagus, Loh... semoga sukses ya...
ayo, Beb @Vebi Gusriyeni @Latifa Andriani