Sania pernah dihancurkan sampai titik terendah hidupnya oleh Irfan dan kekasihnya, Nadine. Bahkan ia harus merangkak dari kelamnya perceraian menuju titik cahaya selama 10 tahun lamanya. Sania tidak pernah berniat mengusik kehidupan mantan suaminya tersebut sampai suatu saat dia mendapat surat dari pengadilan yang menyatakan bahwa hak asuh putri semata wayangnya akan dialihkan ke pihak ayah.
Sania yang sudah tenang dengan kehidupannya kini, merasa geram dan berniat mengacaukan kehidupan keluarga mantan suaminya. Selama ini dia sudah cukup sabar dengan beberapa tindakan merugikan yang tidak bisa Sania tuntut karena Sania tidak punya uang. Kini, Sania sudah berbeda, dia sudah memiliki segalanya bahkan membeli hidup mantan suaminya sekalipun ia mampu.
Dibantu oleh kenalan, Sania menyusun rencana untuk mengacaukan balik rumah tangga suaminya, setidaknya Nadine bisa merasakan bagaimana rasanya hidup penuh teror.
Ketika pelaku berlagak jadi korban, cerita kehidupan ini semakin menarik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Nadine menggigit bibir. Dia sudah mengamuk, menghancurkan rumah, bahkan berteriak seperti orang tidak waras, tetapi tidak bisa memuaskan perasaan marah dan kesal yang berkecamuk di dadanya.
"Wanita itu—Sania ... kau sudah menjadi duri dan membuat kami terluka sedalam ini! Kau tidak akan kubiarkan tenang, Sania—tidak akan!"
Nadine menarik napas besar-besar dari mulut untuk membuat dirinya sedikit lebih tenang. Rasanya sudah cukup dia frustrasi pada keadaan seperti ini. Seorang Nadine tidak boleh lemah dan mudah menyerah. Lagipula, semua ini sudah direncanakan oleh Sania, jadi dia harus tegar dan tidak boleh merusak diri sendiri.
"Bereskan semua!" perintahnya pada pengurus rumah yang masih menunduk karena takut akan amukan yang Nadine lakukan setiap hari sewaktu ia pulang dari kantor.
Tangannya gemetar ketika masuk ke mobil dan menuju kantor untuk meeting. Setelah gagal menyakinkan Irfan dan justru malah ditampar kenyataan sampai ke ulu hati, Nadine kali ini bertekat kuat untuk mempertahankan Irfan.
Mereka tidak boleh bercerai, apapun yang terjadi. Menjadi pemimpin Brick adalah impian yang sebentar lagi menjadi nyata.
Sesampainya di kantor, Alveron sudah menunggu, namun ketika ia hendak mendekat, asistennya membisikkan sesuatu yang membuat Nadine terpaksa menunda berbicara dengan Alveron.
"Bu Nadine—" Alveron agak tergesa-gesa hari ini, jadi ketika melihat gelagat bahwa ia akan dinomorduakan, buru-buru diselanya langkah Nadine. "Saya hanya butuh waktu 10 menit."
Nadine bimbang sejenak, lalu akhirnya setuju untuk bicara dengan Alveron lebih dulu.
"Intinya, aku tidak ingin bercerai! Gugatan itu sudah masuk ke kantormu, kan?" Nadine melirik jam.
Alveron mengangguk. "Saya hanya ingin negosiasikan ulang komisi—"
"Urus saja semuanya dengan baik, biayanya berapapun, aku akan setuju! Kau seperti baru kenal aku saja, Alveron! Urusan seperti itu tidak harus dibahas di jam genting seperti ini, kan?" Nadine menatap Alveron tajam dan terkesan angkuh.
"Saya tahu, Bu—tapi, saya ingin jaminan bahwa nama baik saya tetap terjaga dengan anda transparan pada saya! Kejadian terakhir membuat saya—"
Ucapan Alveron terhenti saat Nadine melangkah lebih dekat ke muka Alveron. Bibirnya berkata seperti desisan ular yang menyeramkan.
"Lakukan saja semua dengan benar, Alveron! Atau kau juga akan bernasib sama dengan pria sialan itu nantinya kalau kau banyak bicara!"
Alveron gemetar meski ia berusaha tegar. Kakinya refleks mundur, bibirnya bergerak tak terkendali karena gugup.
"Anda terlalu serius, Bu Nadine ... tapi saya tetap berharap kali ini anda bekerja sama sedikit."
Nadine mengibaskan rambutnya. "Akan aku lakukan asal kau bisa menggagalkan usaha Irfan untuk menceraikan aku!"
Alveron mengangguk, menghela napas dalam saking leganya. Setidaknya, dia tidak harus menjatuhkan harga dirinya seperti kemarin-kemarin. Ya Tuhan, dia harus membayar mahal kejadian hari itu dengan hancurnya reputasi yang sudah lama ia bangun susah payah.
Kini, setidaknya masih ada harapan untuk tetap kokoh sebagai firma hukum terbaik negara ini.
Setelah selesai dengan Alveron, Nadine segera menemui ayahnya. Kantor Brick masih satu gedung dengan Velve hanya beda level saja. Brick berada di lantai terbaik di gedung ini, bersama dua perusahaan raksasa lain.
Ketika tiba, Nadine bisa menebak apa yang akan ayahnya katakan, jadi dia hanya menghela napas lalu bermuka datar.
"Mungkin Ayah yang harus datang menemui Irfan, Nadine ... sedikit banyak, Ayah memang bersalah padanya."
Nadine syok di tempat. Alexander Brooch berkata seperti itu? Kalimat yang sangat sakral keluar dari mulutnya. Ini tidak mungkin hanya karena Irfan membuat satu iklan untuknya, kan? Pasti sebenarnya, Brooch—ayahnya, sedang mengawasi dan mengetes sejauh apa Irfan bertahan dan sekuat apa Irfan menunjukkan diri.
"Kecakapan dan kelihaiannya membuat Ayah sadar bahwa Ayah terlalu lama membuang waktu," sambung Brooch kemudian. Ia menatap Nadine lembut. "Kenapa kamu diam? Apa kau tidak percaya pada kata-kata Ayahmu sendiri?"
Nadine segera menggeleng, "Bukan begitu, Ayah ... tapi Irfan sudah melayangkan gugatan cerai padaku kemarin. Dia—"
Nadine duduk di dekat ayahnya, mengadu seolah dia sedang disakiti hingga berdarah-darah. Memasang muka memelas, sendu, dan mata menyipit—pura-pura menangis, Nadine menyentuh lengan ayahnya.
"Semua ini karena Sania—Sania Grace, yang menggodanya, Ayah! Sania ingin balas dendam padaku karena sudah merebut suaminya dulu, sekarang—sekarang, huhuhu ...."
Brooch sedikit mengerutkan kening kala Nadine menelungkupkan wajah ke lengannya. Tapi dia adalah seorang ayah, jadi mau tak mau ia mengusap rambut Nadine.
"Kau putriku, putri Brooch yang masyur, tidak mungkin orang rendahan seperti Sania bisa mengalahkanmu."
Nadine tersedu sedikit lebih lama, lalu kembali tegak dengan tangan mengusap wajah. "Aku takut menghadapi Sania sekarang karena ada Robert Denver di belakangnya. Bukan takut, tapi susah mengalahkanya, Ayah—aku bahkan hanya bisa menangis sekarang! Irfan benar-benar diracuni hingga—hingga Irfan berani menolak tawaran berhargamu ini—huhuhu!"
Sedikit mengintip, Nadine samar tersenyum licik ketika melihat ekspresi ayahnya yang mendadak rumit. Nadine tahu betul, siapapun tidak boleh menolak tawaran Alexander Brooch! Merendahkan keluarganya, juga membuat putrinya menangis.
Sania hanya menunggu waktu kehancurannya saja.
tp gk apa2 sih kl mau cerai juga, Nadine pasti nyesek🤣
Sifat dasar Nadine suka menghancurkan. Bukan hanya benda, pernikahan orang lainpun dihancurkan.
Dan sekarang rumahtangganya mengalami prahara akibat ulahnya yang memuakkan.