Hidup Danu berubah total ketika ia menemukan sebuah amplop misterius di depan pintu kosnya. Di dalamnya, terselip sepucuk surat dengan kertas usang dan bau kayu basah yang aneh.
“Untuk Danu Setyawan. Baca saat sendirian.“
Awalnya Danu mengira surat itu hanyalah lelucon dari dosen atau senior iseng. Tapi rasa penasaran mengalahkan logikanya. Sampai ia benar-benar membaca isinya…
“Kepada Danu,
Aku tahu ini terdengar aneh, tapi kamu telah menjadi suamiku secara sah sejak 7 hari yang lalu.
Aku, Nyai Laras, menyerahkan seluruh harta dan rumahku kepadamu, sebagaimana tertulis dalam surat wasiat ini.
Datanglah ke Desa Pagarjati dan tinggallah bersamaku, sebagaimana janji yang pernah kamu buat,
meski kamu mungkin tidak mengingatnya.
Hormatku,
Nyai Laras.“
***
Lalu, siapakah sebenarnya Nyai Laras? Apakah Danu hanya korban lelucon terencana? Atau justru kebenaran mengarah ke sesuatu yang jauh lebih mengerikan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sablah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kita belum selesai
Beralih ke hari berikutnya,
Pagi itu, sekitar pukul delapan pagi, suasana di kontrakan Galang terasa jauh lebih sunyi dibanding biasanya. Sinar matahari sudah menyelinap masuk lewat celah jendela, memantul di dinding-dinding kusam rumah kontrakan itu. Di dalam rumah, dua cangkir kopi mengepul di atas meja makan, ditemani sepiring roti tawar yang nyaris tak disentuh. Aroma mentega dan kopi hitam tak cukup kuat mengusir hawa dingin yang tertinggal sejak malam.
Galang dan Danu duduk berhadapan, masing-masing masih dalam pakaian kasual sebelum berangkat kuliah. Tapi tak ada semangat pagi di antara mereka. Wajah keduanya tampak muram, lesu. Danu beberapa kali melamun, tatapannya kosong menembus jendela. Galang lebih sering menunduk, memainkan sendok di sisi gelasnya, seolah sedang berperang dengan pikirannya sendiri.
Kelesuan ini bukan tanpa sebab.
Sejak pembicaraan sore kemarin bersama Naya dan Bima tentang Desa Pagarjati, gamelan gaib, dan kisah orang-orang hilang, pikiran mereka seperti diseret kembali ke dalam pusaran ketidakjelasan. Bahkan, rencana mereka yang semula ingin keluar mencari angin pada malam harinya pun batal tanpa perlu dibahas. Tak ada yang benar-benar ingin pergi. Tak ada yang punya energi untuk bersenang-senang.
Dan pagi ini, sisa-sisa kekacauan itu masih tersisa.
Tak selang lama, Galang akhirnya membuka suara. "Nu…" ucapnya pelan, namun nada suaranya tegas. "Lo harus kasih waktu dulu buat fokus kuliah. Soal desa itu… kita cari jalan keluarnya sama-sama, tapi bukan sekarang. Kita gak bisa tenggelam di situ terus."
Danu menoleh pelan, seperti terbangun dari lamunannya. Butuh beberapa detik sebelum ia membalas. "Gue tahu, Lang. Gue juga pengen hidup normal lagi. Tapi… kepala gue kayak penuh terus. Pikiran gue gak pernah berhenti muter di tempat yang sama. Gue takut, kalau semua ini berlarut-larut, semuanya malah jadi beban. Dan makin berat"
Galang mengangguk perlahan. "Gue ngerti. Gue juga mikir ke sana. Tapi kita tinggal satu langkah lagi buat lulus. Bentar lagi sidang skripsi, abis itu tinggal nunggu wisuda. Masa kita tumbang sekarang gara-gara sesuatu yang... belum jelas juga ujungnya?"
Danu menghela napas panjang, lalu mencoba tersenyum, walau sedikit dipaksakan. "Skripsi ya…" ia bergumam lirih. "Padahal dulu kita pikir paling berat itu tugas akhir Matkul Pak Bagus."
"Eh, itu juga berat sih." Galang terkekeh kecil, berusaha mencairkan suasana.
Mereka tertawa sebentar. Lalu sunyi lagi. Keheningan kembali turun, tapi kali ini tidak sepekat sebelumnya. Danu mengambil selembar roti, menggigitnya pelan, lalu menatap Galang serius. Tapi kali ini, keheningannya terasa sedikit lebih ringan.
"Tapi Lang… janji ya. Kalau ada apa-apa... lo gak tinggalin gue."
Galang menatap balik sahabatnya. "Gak akan. Lo gak sendiri, Nu. Ada gue disini, gue bakal ikut. Tapi untuk sekarang, kita hadapin dulu yang nyata. Dunia kita sekarang adalah tentang kelas, dosbing, revisian, skripsi. Kita selesain itu dulu. Soal Pagarjati… memang belum selesai, gue tahu. Tapi kita juga belum selesai urusan di dunia ini."
Danu mengangguk. "Oke. Kita ke kampus."
Dan dengan itu, dua pemuda itu bangkit, mengenakan tas mereka, dan melangkah keluar. Pagi masih sejuk, jalanan masih lengang.
Di balik rencana akademik yang menanti, mereka tahu... sesuatu yang lebih besar sedang menunggu. Tapi untuk hari ini, mereka memilih menatap yang nyata dulu, dan meninggalkan yang gaib untuk sementara.
******
Dua Bulan Kemudian
Waktu melaju cepat, dan tanpa terasa, dua bulan berlalu sejak pagi kelabu di kontrakan itu. Suasana sudah jauh berbeda sekarang. Skripsi telah rampung. Sidang akhir dilalui dengan deg-degan, tapi penuh kelegaan. Nama mereka sudah terpampang di daftar peserta yudisium, tinggal menunggu satu langkah lagi: wisuda.
Di kampus, kegiatan mulai melambat. Mahasiswa lain pun mulai berpencar, banyak yang sudah pulang ke kampung halaman atau sibuk mencari kerja. Galang dan Danu masih tinggal di kontrakan, menunggu jadwal gladi resik wisuda yang tinggal menghitung hari. Di tengah suasana menunggu itu, mereka kembali punya waktu untuk sekadar duduk santai… dan berpikir ulang tentang apa yang dulu sempat mereka tunda.
Suatu sore di teras kontrakan, Galang memecah keheningan. "Nu… sekarang kita udah gak ada alasan buat ngehindar."
Danu yang tengah memainkan ponsel menoleh. "Maksud lo?…"
Galang menatap serius penuh keyakinan "Pagarjati. Kita pernah janji buat nyelesain ini bareng. Dulu kita mundur karena harus kelarin skripsi. Sekarang? Udah gak ada skripsi, gak ada revisian, gak ada kelas."
Danu termenung sejenak, lalu meletakkan ponselnya di meja. "Gue juga ngerasa… waktunya mungkin emang udah deket. Sebenarnya, beberapa hari ini, mimpi tentang desa itu balik lagi."
Galang menatapnya serius. "Lo liat Nyai laras lagi?"
Danu mengangguk perlahan. "Dan dia gak cuma diem. Dia selalu mengucapkan kalimat yang sama, 'Mas Danu pulang, waktu nya sudah hampir habis. Mas harus kembali.'"
Galang meneguk ludah. "Lo yakin ini bukan cuma tekanan dari rasa bersalah atau pikiran lo aja?"
Danu menatap langit yang semakin menggelap. Awan-awan jingga mulai berganti kelabu, tapi kepalanya masih penuh dengan satu warna: bayangan dari mimpi yang tak kunjung berhenti.
"Entahlah, Lang…" gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan. "Tapi mimpi itu terus berulang. Sama persis. Suasana desanya, suara gamelannya, dan Nyai Laras... dia selalu ada di sana. Kayak... manggil gue balik."
Galang menoleh cepat. "Kalau udah sampai segitunya, Nu… ya udah, ayo. Kita balik ke sana."
Danu sempat terkejut mendengar nada Galang yang kali ini tidak ragu. Tapi belum sempat ia menanggapi, Galang melanjutkan.
"Kita ajak Naya dan Bima juga. Kita buktikan bahwa desa itu emang ada, dan semua yang kita alami bukan cuma halusinasi massal."
Danu menatap Galang dalam-dalam, lalu mengangguk. "Oke. Tapi… apa perlu gue pamit ke orang tua gue dulu?"
Galang langsung mengangguk mantap. "Iya, Nu. Lo harus. Gimanapun juga, mereka orang tua lo. Kalau lo tiba-tiba ilang atau kejadian apa-apa... mereka harus tahu. Harus siap."
Danu menunduk sebentar, menimbang-nimbang. Tapi tak lama, ia mengeluarkan ponselnya dari saku dan mulai mengetik sesuatu. Sempat terdiam sejenak, sebelum akhirnya ia menekan tombol hijau dan menyandarkan ponsel ke telinganya.
Nada sambung terdengar beberapa kali, sebelum suara perempuan paruh baya menjawab di seberang sana.
“Halo? Danu?”
Suara sang mama terdengar khawatir, mungkin karena ia jarang menelepon sejak skripsi selesai.
Danu menelan ludah, lalu berkata, "Iya, Maa… Maaf Danu ganggu. Cuma mau bilang… malam ini Danu akan pulang. Ada hal penting yang harus Danu bicarakan secara langsung."
"Lho? Ada apa, Nak? Kamu baik-baik aja kan?"
Danu tersenyum kecil, meski tidak dilihat siapa pun. "Iya, Maa. Nanti aku cerita semuanya. Tapi tolong jangan panik dulu. Danu cuma pengin ngobrol."
Di seberang sana, terdengar helaan napas lega, diikuti dengan suara pelan, "Ya udah… Mama tunggu."
Panggilan ditutup.
Setelah telepon ditutup, suasana kembali hening sejenak. Danu menatap kosong ke depan, sebelum Galang memecah kesunyian dengan bertanya pelan.
"Jadi... gimana, Nu?"
Danu menoleh. "Kita ditunggu di rumah. Kita pulang malam ini juga."
Mendengar itu, Galang langsung beranjak dari duduknya. Tanpa banyak bicara, ia berjalan ke meja, mengambil ponselnya, dan mulai mengetik sesuatu dengan cepat. Jari-jarinya lincah, seolah sudah tahu persis apa yang harus dilakukan.
Danu mengernyit heran. "Lo ngapain, Lang?"
Galang menoleh sekilas, lalu menjawab sambil tetap menatap layar ponsel. "Kita berangkat dari rumah lo. Tapi sebelumnya, kita harus kabarin Naya dan Bima. Mereka juga harus ikut."
Danu terdiam sejenak. Raut wajahnya menyiratkan sedikit keraguan. "Lang… lo yakin mereka bisa? Ini rencana yang mendadak banget."
Galang menatap Danu, kali ini dengan ekspresi mantap. "Justru karena mendadak, Nu. Kalau kelamaan mikir, kita malah gak akan jadi berangkat. Lagian… urusan kuliah udah selesai, kan? Gak ada alasan buat nunda-nunda."
Danu menarik napas dalam, lalu mengangguk perlahan. "Oke. Terserah lo aja, deh."
Galang pun membuka aplikasi pesan, masuk ke grup kecil berisi mereka berempat, lalu menekan tombol panggilan video grup. Sambil menunggu tersambung, tatapan Galang tetap fokus, penuh keyakinan, seolah kali ini… tak ada ruang untuk ragu.
Dan suara nada sambung mulai terdengar,
Nada dering video call menggema dari ponsel Galang. Ia menatap layar dengan serius, menunggu dua wajah yang sangat dikenalnya muncul. Danu berdiri di sampingnya, memeluk kedua tangan di dada, ekspresinya campur aduk antara cemas dan pasrah.
Tak lama, layar ponsel menampilkan dua wajah sekaligus.
Bima muncul lebih dulu. Rambutnya masih basah kuyup, terlihat baru selesai mandi. Beberapa tetes air masih menetes dari ujung rambutnya ke pundak. Ia hanya mengenakan kaus oblong putih yang agak kusut.
"Halo? Ada apa ini? Gue baru mandi langsung disuruh angkat video call. Ada yang darurat?" tanya Bima dengan nada santai sambil menyeka rambutnya dengan handuk kecil.
Tak berselang lama, Naya juga muncul di layar. Wajahnya berkeringat, dan kausnya sedikit menempel di tubuh karena basah oleh keringat. Nafasnya terlihat masih agak memburu, menandakan ia baru selesai berolahraga.
"Gila, kenapa kalian rame-rame nge-video call sore-sore gini? Gue belum sempat mandi nih," katanya sambil mengelap wajah dengan handuk kecil.
Galang langsung mengambil alih pembicaraan. Suaranya tegas, tak membuang waktu.
"Malam ini, gue ikut Danu pulang ke rumahnya."
Bima mengangkat alis, ekspresinya heran namun masih menyisakan selera bercanda. "Heh? Nggak ada angin nggak ada hujan, lo ke rumah Danu? Bukannya lo emang sering numpang makan di sana?" katanya sambil terkekeh.
Naya ikut tersenyum, meski napasnya masih belum stabil. "Iya, bukannya udah kayak anak kosan tambahan di rumah Danu, Lang?"
Galang mengangkat tangan, seolah meminta waktu untuk menjelaskan sebelum mereka makin menggoda. "Gue ke rumah Danu… cuma buat pamit sama nyokap bokap dia. Karena… kita mutusin buat balik ke Desa Pagarjati."
Seketika, senyum di wajah Bima dan Naya menghilang. Mereka bersamaan memekik, "APA?!"
Galang menatap layar ponselnya lekat-lekat. "Kita harus balik ke sana. Kita tuntaskan ini semua sekarang. Kalian mau kan Danu segera lepas dari masalah ini? Dari mimpi-mimpi itu? Dari bayang-bayang yang ngikutin dia terus?"
Naya mengernyit, ekspresinya berubah serius seketika. "Gue akan marah kalau kalian pergi kesana tanpa gue. Jangan pernah kepikiran buat ninggalin kita. Gue ikut. Tunggu beberapa menit lagi, gue langsung ke kos kalian."
Bima juga langsung merespons cepat, suaranya jauh lebih mantap dari sebelumnya. "Gue packing sekarang. Nggak usah naik kendaraan umum. Kita bawa mobil gue aja. Lebih cepat, lebih aman. Naya, gue jemput lo dulu ya. Sekalian bawa baju ganti dan perlengkapan seperlunya."
Naya mengangguk mantap. "Oke, tapi jangan lama. Gue juga mau mandi dulu. Biar nggak nyusahin di mobil nanti."
"30 menit cukup?" tanya Bima sambil berjalan ke lemari.
"lima belas," jawab Naya cepat, lalu mematikan videonya tanpa banyak bicara lagi.
Galang tertawa kecil melihat kekompakan mereka. "Oke, gue tunggu kalian disini. Nanti kita langsung ke rumah Danu sama-sama"
Bima mengacungkan jempol. "Sip. Jangan berangkat sebelum gue dateng. Gue gas sekarang."
Galang mengangguk, lalu menutup video call tersebut. Ia menurunkan ponsel dan menatap Danu yang masih berada di tempat yang sama sejak tadi.
"Ayo, Nu. Lo juga siap-siap. Baju, jaket, senter, apa pun yang lo rasa perlu. Kita nggak tahu bakal nginep atau nggak."
Danu masih diam sejenak, memproses segalanya yang baru saja terjadi begitu cepat. Tapi akhirnya ia menghela napas panjang dan mengangguk mantap.
"Oke, Lang. Kita beresin semua sore ini... Gue siap"
Mereka pun mulai bergerak. Danu ke kamarnya, merapikan barang-barang, mengambil beberapa baju, powerbank, senter kecil, dan kalung melati yang dulu ia temukan di hutan. Kalung itu kini terasa seperti bagian penting dari perjalanan mereka, seperti simbol dari misteri yang belum selesai.
Galang, di sisi lain, sibuk memeriksa perbekalan ringan di dapur. Ia tahu perjalanan mereka kali ini tidak bisa dianggap remeh. Sekecil apa pun persiapan tetap lebih baik daripada datang dengan tangan kosong.