Ketika mobil Karan mogok di tengah jalan, pertemuannya dengan Puri menjadi awal dari kisah yang tak terduga.
Mereka berasal dari latar belakang keyakinan yang berbeda, namun benih cinta tumbuh seiring waktu. Di awal, perbedaan agama hanya dianggap warna dalam perjalanan mereka—mereka saling belajar, berbagi makna ibadah, dan menghargai kepercayaan masing-masing.
Namun, cinta tak selalu cukup. Ketika hubungan mereka semakin dalam, mereka mulai dihadapkan pada kenyataan yang jauh lebih rumit: restu keluarga yang tak kunjung datang, tekanan sosial, dan bayangan masa depan yang dipenuhi pertanyaan—terutama soal anak-anak dan prinsip hidup.
Di sisi lain, Yudha, sahabat lama Puri, diam-diam menyimpan perasaan. Ia adalah pelindung setia yang selalu hadir di saat Puri terpuruk, terutama saat sang ibu menentang hubungannya dengan Karan
Diam-diam, Yudha berharap bisa menjadi tempat pulang Puri.
Kini, Puri berdiri di persimpangan: antara cinta yang Karan Atau Yudha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Karan merasa tubuhnya lemas saat ia tiba di rumah Puri yang hancur dan banyak sekali tulisan tidak senonoh.
Ia melihat foto Puri yang ada di dinding dan disebelah foto Puri ada foto Mama.
Karan pun langsung memutuskan ke rumah Om Sasongko, dengan harapan sedikit saja bisa menemukan informasi tentang Puri.
Namun, begitu Om Sasongko membuka pintu, ekspresi di wajahnya langsung berubah menjadi marah.
"Apa yang kamu inginkan? Kenapa kamu masih mencari Puri?" teriak Om Sasongko, langsung menatap Karan dengan tajam.
Karan mengatupkan giginya, berusaha menahan amarah.
"Saya hanya ingin tahu di mana Puri! Saya ingin bertanggung jawab. Tolong, Om, beri saya kesempatan untuk menjelaskan semuanya."
Namun, Om Sasongko tidak peduli. "Kamu datang terlambat, Karan. Kamu sudah menghancurkan hidupnya, dan sekarang kamu masih berani datang ke sini? Puri hampir gila setelah kematian mamanya dan kamu menikah dengan wanita lain,"
Om Sasongko mendorong tubuh Karan dengan keras, membuatnya terjatuh ke lantai.
"Pergi dari sini, kamu tidak pantas untuk mengetahui apapun tentang Puri!" serunya dengan amarah yang meluap-luap.
Karan berdiri dengan susah payah, menatap Om Sasongko dengan penuh kekesalan.
"Saya minta maaf, Om. Tapi saya tidak akan berhenti mencari Puri." Dengan itu, Karan berbalik dan keluar dari rumah, merasa semakin terpuruk.
Karan baru tahu jika Mama sudah meninggal dunia saat ia menikah dengan Amora.
Ia melanjutkan perjalanan tanpa tujuan pasti, hingga akhirnya ia tiba di rumah Yudha.
Hatinya berdebar, berpikir mungkin ada petunjuk di sana yang bisa membawanya ke Puri.
Sesampainya di sana, Rama, seorang sahabat lama Yudha, menyambutnya di depan pintu.
"Rama, tolong... saya mencari Yudha, saya butuh bicara dengannya." Karan berkata dengan suara yang penuh keputusasaan.
Rama tampak ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Yudha sudah pindah, Karan. Dia dan Puri nggak lagi tinggal di sini."
Karan merasa terkejut, hatinya terasa terhempas. "Puri? Puri ke mana? Apa kalian tahu di mana dia?" tanya Karan penuh harap.
Namun, Rama menatap Karan dengan mata yang penuh kebingungan, tidak memberikan jawaban lebih lanjut. Ia tahu banyak hal, namun memilih untuk diam.
"Maaf, Karan. Saya nggak bisa memberi tahu kamu lebih banyak. Itu urusan pribadi mereka."
Karan merasa kepalanya berputar. "Puri... di mana dia, Rama? Tolong beri saya petunjuk!" Namun, Rama hanya menggelengkan kepala dan menutup pintu perlahan, seakan memberi Karan isyarat bahwa ini bukan lagi urusannya.
Hati Karan semakin hancur. "Apa yang harus aku lakukan?" pikirnya dalam kebingungan yang mendalam. "Puri, di mana kamu? Aku harus menemukanmu."
Dengan tekad yang semakin bulat, Karan memutuskan untuk tidak menyerah.
Ia tahu, di suatu tempat, Puri sedang menghadapi dunia sendirian, dan ia harus ada di sana untuknya.
“Aku akan menemukanmu, Pur... Aku janji.”
Rama menghubungi Yudha dan mengatakan kalau Karan mencarinya. Ia menarik napas panjang, lalu mengetik pesan singkat di ponselnya.
"Yudh, Karan baru saja datang. Dia terlihat kacau... masih mencari Puri. Aku nggak bilang kalian ada di Australia, seperti yang kita sepakati."
Pesan terkirim. Lama Rama menatap layar kosong, hatinya berat. Ia tahu, cepat atau lambat, kebenaran akan menemukan jalannya.
Yudha membaca pesan itu dalam diam. Wajahnya tegang, tapi jemarinya cepat menghapus pesan itu tanpa berpikir panjang.
Ia tidak akan memberitahu Puri bahwa Karan masih kebingungan mencarinya. Baginya, masa lalu seharusnya tetap terkubur.
Sementara itu, Karan berjalan pulang dengan langkah lunglai. Ia merasa ada yang hilang, seperti mencari bayangan yang tak bisa disentuh.
Tapi sebelum sampai rumah, ia berhenti di sebuah toko bunga kecil di sudut jalan.
Ia membeli setangkai mawar putih—bunga favorit Puri.
Entah mengapa, ia merasa harus membawanya pulang.
Mungkin sebagai penawar rindu. Mungkin sebagai harapan bahwa suatu hari, Puri akan kembali.
Sesampainya di rumah, Yudha membuka pintu pelan. Di dalam, aroma tumisan rempah menyambutnya. Ia segera tahu, Puri sedang berada di dapurlagi.
Yudha melangkah cepat. Di sana, istrinya tengah berdiri dengan tangan gemetar, memaksa mengaduk wajan meski tubuhnya tampak lemah.
“Sayang… bukankah aku sudah bilang, jangan masak,” ucap Yudha pelan, penuh kekhawatiran. Ia mendekat, mengambil spatula dari tangan Puri dengan lembut.
Puri menatapnya dengan senyum tipis, meski jelas rasa sakit masih menyelimuti wajahnya.
“Aku hanya ingin suamiku mencicipi masakanku,” jawabnya lirih, hampir seperti bisikan.
Yudha menghela napas. Ia menahan gejolak di dadanya antara ingin memarahi, dan tak sanggup karena tahu niat Puri hanya satu: cinta.
“Cukup. Aku di sini. Kamu istirahat, biar aku yang lanjutkan,” bisiknya, memeluk Puri erat, seolah ingin menahan waktu agar tak membawa mereka pada hal-hal yang tak diinginkan.
Yudha membantu Puri duduk di kursi makan, menyelimutinya dengan jaketnya sendiri.
Ia kembali ke dapur, menyelesaikan masakan yang belum sempat matang. Hatinya campur aduk—cinta, cemas, dan rasa bersalah yang sulit diabaikan.
Sementara itu, Karan duduk di tepi ranjangnya, menatap mawar putih yang kini tergeletak di meja.
Ia menggenggam kelopaknya pelan, seolah ingin mengirim pesan diam-diam lewat bunga itu. Di kepalanya, kenangan bersama Puri berputar tak henti-henti.
Tawa gadis itu. Tatapan matanya. Keputusan yang memisahkan mereka tanpa pamit.
Ia mengeluarkan ponselnya, membuka pesan yang belum sempat dikirim:
“Puri… aku masih mencarimu. Bukan untuk memaksamu kembali. Tapi setidaknya... aku ingin tahu kau baik-baik saja.”
Namun, setelah lama menatapnya, Karan menghapus pesan itu. Ia sadar, mungkin cinta yang terlambat tak selalu layak untuk diterima.
Di seberang kota, Puri mencicipi masakannya yang telah disiapkan Yudha. Matanya berkaca-kaca.
“Enak?” tanya Yudha sambil tersenyum, mencoba menyembunyikan kekhawatirannya.
Puri mengangguk. “Tapi bukan karena bumbunya... karena kamu yang masak.”
Yudha membalas senyuman itu, meski hatinya terusik.
Ia belum tahu, seberapa lama mereka bisa menjaga dunia kecil ini tetap tenang. Karena ia sadar, Karan tak akan berhenti sampai ia tahu semuanya.
Yudha tertawa kecil saat mendengar ucapan Puri. Ia masih memeluk tubuh istrinya erat, seolah tak rela melepaskannya walau sesaat.
"Mas Yudha mandi dulu, bau acem," ucap Puri pelan, suaranya menggoda meski napasnya sedikit terengah.
Yudha mengangkat wajahnya, menatap istrinya yang masih tersenyum manis.
“Kalau sudah tahu bau, kenapa masih mau dipeluk?” godanya balik.
Puri mengangkat alis, pura-pura berpikir. “Karena yang bau cuma badannya, bukan hatinya.”
Yudha terkekeh. Lalu Puri menambahkan dengan lirih, “Mandikan ya…”
Yudha terdiam sejenak. Ada kelembutan dalam permintaan itu, tapi juga kegetiran.
Ia tahu tubuh Puri sudah tak sekuat dulu. Bahkan berdiri terlalu lama pun bisa membuatnya lelah.
Dengan lembut, ia mengangkat tubuh istrinya dari kursi.
"Ayo, kita mandi. Tapi nanti jangan protes kalau Mas Yudha malah jadi betah di kamar mandi," ucapnya sambil tersenyum nakal, mencoba mengalihkan kekhawatiran yang terus menyelinap.
Puri menyandarkan kepalanya di dada Yudha. “Nggak apa-apa… asal mandinya bareng.” ucap Yudha.
Dan mereka pun melangkah perlahan ke kamar mandi, meninggalkan sejenak segala kekalutan di luar sana, dalam kehangatan yang hanya mereka mengerti.