NovelToon NovelToon
Istri Sang Mafia

Istri Sang Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Mafia / Cinta setelah menikah / Roman-Angst Mafia / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:499
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

Pernikahan adalah mimpi setiap gadis.
Tapi tidak bagi Zia.
Bukan malam itu.
Bukan di altar itu.
Dan—terutama—bukan dengan pria itu.

Yang Zia tahu, Viren Kaeshiro adalah pengusaha muda yang jenius, berkuasa, dan sempurna.
Begitu kata semua orang. Begitu kata kakaknya, Alin.

Tapi di balik jas mahal dan perusahaan teknologi raksasa,
Viren adalah pemimpin Cinderline—organisasi bayangan yang tak tersentuh hukum dan tak dikenal dunia.

Dan malam itu…
Zia baru saja menikahi seorang iblis bersetelan jas.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 24 DUA PANTI

Langit begitu cerah menyinari Calligo hari ini. Udara hangat menelusup melalui jendela-jendela besar, memantulkan cahaya ke lantai marmer yang mengilap. Tak banyak yang berubah di sana—meskipun hubungannya dengan Viren kini terasa sedikit lebih baik. Sedikit lebih ringan.

Zia terduduk di meja dapur, tangannya bertumpu, dagunya menggelantung malas di atas jemari. Ia tengah asyik mengobrol dengan Emi, yang tampak sibuk mondar-mandir menyiapkan sesuatu.

“Emi, sejak kapan kau di sini?” tanya Zia. Kakinya yang pendek mengayun-ayunkan ke udara, seperti anak kecil yang belum menjejak dunia.

Emi terdiam sejenak, seakan menghitung. “Sejak usiaku dua puluh tahun.”

Zia mengernyit. “Lalu... sekarang usiamu berapa?”

“Empat puluh.”

“Hah?” Zia hampir melompat dari kursinya. Sementara Emi hanya menoleh sambil tersenyum tipis.

Zia mengerjap. “Kau yang benar?”

Emi hanya mengangkat bahu kecilnya.

“Jadi aku sudah tidak sopan menyebut namamu begitu saja, ya?” gumam Zia, setengah menyesal.

“Itu bukan namaku, Nona.” jawab Emi datar. Suaranya tenang, tapi tak bisa disangkal ada sedikit nada kesengajaan yang menarik perhatian Zia.

Zia menajamkan telinga. “Lalu, namamu siapa?”

“Elisa,” jawabnya singkat, kembali sibuk dengan wajan dan aroma harum yang memenuhi dapur.

Percakapan mereka terpotong oleh suara hentakan sepatu dari arah lorong. Tidak salah lagi. Itu—Viren.

Zia menunduk, tubuhnya membeku seketika. Ciuman singkat di dapur kemarin kembali menyeruak ke benaknya, begitu jelas, begitu… tak terduga. Dan itu membuat jantungnya kini berdetak lebih kencang.

“Ah, sial…” bisiknya pelan. Ia bahkan ingin bersembunyi di bawah meja.

Pagi ini akan jadi pertemuan pertama mereka sejak kejadian itu.

“Zia.” Suara Viren terdengar.

Zia segera bangkit. “Ya.”

Viren memberi isyarat dengan dagunya agar ia mengikut. Tanpa banyak kata, Zia mengekori pria itu kembali ke kamar. Suasananya hening, hanya langkah kaki mereka yang bergema di lantai koridor.

Di kamar, Viren membuka laci dan mengeluarkan sebuah kotak salep. Lalu, tanpa berkata apa-apa, ia melepas bajunya, memperlihatkan luka-luka di punggung yang belum benar-benar sembuh.

Zia mendekat, membuka tutup salep, lalu mencelupkan ujung jarinya ke permukaan dingin itu. Dengan hati-hati, ia mengoleskan salep pada luka Viren. Gerakannya lambat, penuh kehati-hatian. Luka-luka itu mulai mengering, tapi bekasnya masih jelas. Bekas darah lama yang sempat mengalir pun masih samar.

Tatapannya jatuh pada tangan kiri Viren yang kini penuh jahitan.

“Kau mau ke mana?” tanyanya pelan.

“Kantor,” jawab Viren tanpa menoleh.

“Tapi... kau belum sembuh.”

“Aku akan sembuh. Seiring waktu.”

Lalu, sebelum pergi, Viren mengusap pelan puncak kepala Zia dengan tangan yang masih utuh. Sekilas, sentuhan itu seperti ucapan terima kasih. Atau permintaan maaf. Atau sekadar… pengakuan bahwa ia di sana, bersamanya.

Kemudian ia pergi. Meninggalkan aroma salep dan keheningan di dalam kamar.

Zia mematung. Melihat punggung itu menjauh membuat dadanya terasa sesak. Luka itu masih basah. Tapi ia tak bisa menghentikannya.

Perlahan, ia berjalan ke balkon, menyibak tirai. Di halaman bawah, Jake sudah berdiri di sisi mobil hitam dengan pintu yang terbuka. Seperti biasa, tenang dan siaga.

Viren muncul dengan kemeja gelap dan kacamatanya. Langkahnya tegap, tak menunjukkan kelemahan sedikit pun. Lalu ia masuk ke dalam mobil. Jake pun ikut, duduk di kursi pengemudi.

Zia menggenggam ujung tirai. Hatinya ikut melaju, entah ke mana.

Mobil melaju perlahan, menjauh dari halaman Calligo.

Di dalam kabin yang kedap suara, keheningan membungkus dua pria itu, seolah membiarkan waktu berputar tanpa campur tangan. Hanya deru mesin dan bayangan pepohonan yang memantul di kaca jendela yang menjadi saksi perjalanan pagi itu.

"Apa yang kau temukan?" tanya Viren akhirnya, suaranya datar namun cukup untuk memecah sunyi yang menegang.

Jake tak langsung menjawab. Ia menggenggam kemudi erat, matanya tetap lurus menatap jalanan yang masih sepi.

“Panti yang pernah mengalami kebakaran, hanya ada dua di kota ini,” ucapnya kemudian. Tenang, informatif.

“Di mana saja?” tanya Viren.

“Di Blok Arca dan BlueHole. Tapi kedua panti itu menyisakan masing-masing satu saksi hidup.”

Viren mengangguk pelan. "Kita akan kunjungi keduanya. Mulai dari yang paling tua kasusnya."

“Baik, Tuan.”

Sementara itu, jauh di jantung Cinderline—di tempat yang lebih dingin dan suram dari cuaca pagi—Samuel tengah berkutat dengan tumpukan data dan permintaan dari para calon kolaborator.

Wajahnya serius, satu tangan memegang tablet, sementara tangan lainnya sibuk membalik halaman berisi laporan latar belakang. Setiap nama yang masuk akan diperiksa ulang, tak ada celah yang bisa diselundupkan.

Setelah kejadian di pelabuhan yang menimpanya, Cinderline kini semakin memperketat jaringan dari dalam. Semua latar belakang para klien kembali ditelusuri—bukan hanya demi keamanan, tapi untuk satu tujuan utama: menemukan pencipta sistem Nexux.

Leonardo Murpy.

Sosok yang hingga kini belum berhasil mereka lacak keberadaannya. Nama itu sudah lama menghilang dari catatan resmi, seolah lenyap begitu saja. Tapi di dunia seperti ini, diam bukan berarti hilang. Dan adiknya tahu, selama Nexux masih terkunci, Leo pasti masih hidup. Dan cepat atau lambat, Cinderline akan menemukannya.

Ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya.

Manuel masuk dengan dua cangkir kopi panas di tangannya. Ia meletakkannya di atas meja, tanpa banyak bicara, lalu duduk di seberang.

"Masih belum ada petunjuk?" tanyanya, walau jawabannya sudah bisa ditebak.

Samuel hanya menggeleng pelan. Matanya tetap terpaku pada layar. “Jika pria itu benar-benar masih hidup… maka kita akan menariknya dari persembunyian.”

...----------------...

Mobil hitam itu melaju melewati blok-blok kota yang mulai menggeliat. Langit bersih dari awan, seolah cuaca sedang menyambut pencarian yang tak pasti hasilnya.

Jake menepi di sebuah sudut jalan. Di hadapan mereka berdiri bangunan tua berplakat besi: Panti Asuhan Imarta, Blok Arca. Temboknya masih kokoh, warnanya seperti baru dicat. Sesekali suara tawa anak-anak terdengar dari dalam.

Viren turun dari mobil, langkahnya mantap menuju gerbang panti. Jake mengikuti di belakang. Anak-anak yang tengah bermain di taman menoleh sejenak, lalu berlarian masuk ke dalam, seolah mereka baru saja melihat bayangan yang menakutkan.

Tak lama kemudian, seorang wanita tua muncul. Ciput rapat di kepalanya, wajahnya ramah meski sorot matanya hati-hati.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya, sopan.

Viren membenarkan letak kacamatanya.

“Bisa kita bicara di dalam?” suaranya tenang, nadanya lebih lembut dari biasanya.

Wanita itu mengangguk. Ia mempersilakan mereka masuk.

“Kami ke sini ingin tahu tentang kejadian tujuh belas tahun lalu,” ujar Viren. Suaranya tetap ramah.

Wanita itu terdiam sejenak. “Saat itu bukan saya yang mengelola tempat ini,” jawabnya perlahan. “Tapi menurut cerita yang saya dengar, panti ini pernah terbakar. Hanya satu anak yang selamat—seorang laki-laki. Setelah itu dia dipindahkan ke panti lain.”

“Bukan seorang perempuan?” Jake ikut bertanya.

Wanita itu menggeleng. “Dari dua puluh anak, hanya satu anak laki-laki yang ditemukan hidup.”

Jake menatap Viren. Keduanya sudah tahu—ini bukan tempat asal Zia.

“Kalau begitu, terima kasih atas informasinya,” ucap Viren sambil berdiri.

Namun langkah mereka terhenti.

“Tunggu,” seru wanita itu. “Kenapa kalian menanyakan hal ini juga?”

Juga?

Jake dan Viren saling berpandangan. Ada orang lain yang lebih dulu menyelidiki masa lalu Zia.

Viren menoleh. “Siapa yang datang sebelumnya?”

“Saya tidak tahu namanya. Tapi dia juga seorang pria,” jawab wanita itu. “Seingat saya, tidak membawa surat resmi atau apa pun. Hanya banyak bertanya...”

“Ada CCTV di sini?” tanya Jake cepat.

Wanita itu menggeleng.

Perjalanan dari Blok Arca menuju BlueHole cukup panjang. Sepanjang jalan, keduanya tenggelam dalam diam. Namun isi kepala mereka sama: Siapa pria yang lebih dulu datang mencaritahu Zia?

Taman BlueHole tampak lebih hidup dan lebih besar. Anak-anak bermain dengan pakaian bersih dan sepatu layak. Tempat ini jelas berbeda—lebih bersih, lebih tenang, dan terasa... terawat. Seperti ada investor besar yang berdiri di belakangnya.

Viren menyentuh sisi kacamatanya. Kacamata yang ia ciptakan jauh sebelum sistem SPEKTRA—mampu memindai radius hingga berubah ke detail beberapa inci. Tapi kelebihannya, bukan hanya itu.

Ia turun dari mobil. Membenarkan jas, lalu melangkah perlahan di atas paving block menuju pintu utama. Jake sudah masuk lebih dulu untuk mencari pengurus.

Viren masih menatap halaman. Tempat ini seolah tak pernah mengalami tragedi.

“Tuan... ” suara Jake membuyarkan lamunannya.

Viren mengikuti masuk ke dalam.

Sama seperti sebelumnya, mereka mengulang pertanyaan. Kali ini, jawabannya berbeda.

“Delapan belas tahun lalu,” kata wanita pengurus itu, “panti ini pernah terbakar hebat. Hanya satu anak yang selamat. Perempuan.”

Viren dan Jake tak menyela, mereka hanya mendengarkan wanita itu. "Ia ditemukan dalam keadaan baik." Lanjutnya.

Jake menatapnya lekat. “Tanpa luka sedikit pun?”

Wanita itu mengangguk. “Entah bagaimana, dia muncul dari pintu belakang dalam keadaan bersih. Kami segera menyelamatkannya dan membawanya Ket tempat aman. Setelah itu aku merawatnya selama setahun. Lalu datang seseorang... mengadopsinya.”

Viren bersandar di kursinya. “Siapa nama anak itu?”

Wanita itu terdiam, berusaha mengingat. Hingga akhirnya, satu nama keluar pelan dari bibirnya:

“Zia.”

Dan orang yang mengadopsinya tidak lain dan tidak bukan adalah Alex.

...----------------...

Malam kembali datang.

Udara di Calligo malam ini lebih dingin dari biasanya. Seolah angin membawa sesuatu yang belum terucap, menggantung di antara lorong-lorong panjang rumah itu.

Zia berjalan pelan melewati lorong dari perpustakaan menuju ruang tamu. Tubuhnya dibalut sweater hijau tua, celana panjang hitam membingkai langkah-langkahnya yang tenang. Rambutnya ia sanggul asal, membentuk simpul kusut di atas kepala.

Di tangannya, ponsel menyala redup. Sosial medianya masih dipenuhi hal yang sama sejak beberapa minggu terakhir. SPEKTRA—masih bertengger di halaman paling atas, masih dibicarakan banyak orang, dan masih jadi teka-teki yang belum selesai dibongkar publik.

Tangannya menggulir layar. Di sana, kalimat-kalimat tentang sistem itu tertulis rapi, seolah disusun oleh tangan profesional yang tahu betul cara menyusun propaganda.

Lalu, satu kalimat membuatnya terpaku.

Apa alasan Kairotek mengembangkan SPEKTRA?

Zia menggeser ke kolom komentar.

"Mereka menciptakan itu pastinya untuk keamanan..." tulis seseorang.

"Entahlah, aku tidak peduli dengan sistem itu. Aku hanya peduli dengan penciptanya, Viren."

Komentar itu diakhiri dengan emotikon tertawa—entah bercanda, atau serius dalam kesembronoannya.

Zia terdiam.

Pikirannya perlahan berkabut, lalu menajam pada satu titik: Kenapa Viren menciptakan SPEKTRA?

Denting jam dinding membuatnya menoleh. Jarum panjang hampir menyentuh angka dua belas. Pukul sembilan lewat.

Dan Viren belum juga pulang.

Apakah ia khawatir?

Mungkin. Tapi Viren memang sering datang dan pergi seperti bayangan—kadang pulang saat Zia sudah tertidur, kadang pergi saat ia belum bangun, atau tak pulang sama sekali. Dan tak ada seorang pun yang tahu ke mana perginya pria itu.

Sementara itu—di luar Calligo—bulan purnama menggantung penuh di langit, memantulkan cahaya dingin ke atas anak tangga.

Viren baru saja turun dari mobil. Jasnya tergantung di satu lengan, rambutnya sedikit berantakan, meski kacamata tetap bertengger tenang di wajahnya seperti biasa.

Langkahnya pelan.

Ia menaiki anak tangga dengan ekspresi datar, lalu membuka pintu utama. Lampu ruang tamu masih menyala.

Ia masuk.

Zia sedang duduk di sofa. Tangannya memeluk gelas berisi susu cokelat, wajahnya menoleh begitu mendengar suara langkah.

"Kau baru pulang?" tanyanya.

Viren mengangguk singkat. "Hm."

Ia melangkah pelan lalu duduk di sebelah Zia, menjaga sedikit jarak, tapi tidak terasa jauh.

"Kau belum tidur?" tanyanya.

Zia menggeleng. Tangannya masih erat memegang gelas. "Apa kau lelah?"

"Sedikit."

Hening.

Zia menarik napas, lalu bertanya hati-hati, "Boleh aku tanya sesuatu?"

Nada suaranya pelan, seolah sedang menyusuri batas antara keberanian dan rasa takut. Meskipun suasana terasa lebih tenang dari biasanya, pria ini tetap sulit ditebak.

Viren memandangnya sebentar.

"Tentang SPEKTRA?"

Zia terkejut. Ia tidak menjawab, hanya menatap Viren seolah mencari petunjuk. Bagaimana pria itu tahu? Apa dia bisa membaca pikirannya? Atau itu hanya tebakan?

Tapi akhirnya Zia mengangguk.

"Aku penasaran… alat apa itu?"

Viren tidak langsung menjawab.

Ia menatap lurus ke depan, sejenak hanya diam—diam yang terasa seperti hujan yang tertahan di langit.

Kemudian ia berkata pelan:

“Anggap saja seperti CCTV yang berevolusi. Hanya itu,” ucap Viren.

“Hanya?” Zia mengerjap pelan. “Alat itu bisa menembus penyamaran, mengenali wajah meski tertutup masker, bahkan membaca identitas seseorang hanya dari cara mereka berjalan. Itu bukan sekadar alat biasa.”

Ia diam sejenak, menatap pria di depannya yang tetap tenang.

“Kau tahu apa yang paling menggangguku?” tanyanya pelan. “Bukan tentang bagaimana alat itu bekerja. Tapi… kenapa seseorang sampai menciptakan sesuatu seperti itu.”

Viren menunduk sedikit, lalu menyandarkan punggung perlahan ke kursi. “Karena kadang, kepercayaan bukan sesuatu yang bisa kau andalkan di dunia nyata. Maka kau menciptakan cara lain… untuk mengenali siapa lawanmu, bahkan sebelum mereka sempat bergerak.”

Zia menatapnya lama, matanya tak berkedip.

“Aku tidak tahu apakah itu bijaksana… atau hanya bentuk ketakutan,” gumamnya jujur.

“Mungkin keduanya,” jawab Viren datar, tapi pelan.

Zia menarik napas panjang, lalu bersandar. Tatapannya tak lepas dari wajah pria di hadapannya. “Satu hal yang aku sadari sejak datang ke rumah ini… semua orang menyimpan sesuatu, dan kau—kau yang paling dalam dan tertutup.”

Viren tersenyum tipis. Senyum yang seperti cermin retak—nyaris tak membentuk pantulan yang utuh.

“Kau ingin tahu apa lagi tentang SPEKTRA?”

Zia menggeleng pelan. “Tidak. Aku ingin tahu kenapa kau menciptakannya.”

Diam merayap di antara mereka, seperti kabut tipis yang menyelinap pelan—tak terlihat, tapi terasa. Denting jam dinding menggema lembut di ruangan, seolah waktu ikut menahan napas.

Viren bangkit perlahan. Ia mengambil jasnya yang tadi diletakkan di sofa, menggenggamnya sejenak, lalu melemparkannya ke pundak tanpa banyak suara.

Sebelum benar-benar pergi, ia berkata pelan, tanpa menoleh, “Karena aku pernah kehilangan sesuatu yang tak bisa ku lindungi. Dan aku tidak ingin kehilangan lagi.”

Lalu langkahnya menjauh, Zia tetap di tempatnya. Jari-jarinya membeku di sekitar gelas yang sejak tadi belum sempat ia teguk. Ia menatap kosong ke arah meja—bukan pada gelas—tapi pada sisa-sisa percakapan yang masih berputar di benaknya. Kalimat itu… berat, dan entah kenapa terasa terlalu jujur untuk malam yang begitu sunyi.

.

.

.

Setelah membaca sampai bab ini apa pendapat kalian tentang novel ini? Komen pendapat kalian soal cerita ini dong, biar aku makin semangat lanjutin kisahnya🤗🤗

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!