NovelToon NovelToon
Perjodohan Berdarah Menantu Misterius

Perjodohan Berdarah Menantu Misterius

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Mafia / Percintaan Konglomerat / Identitas Tersembunyi / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Portgasdhaaa

Dulu, dia hanyalah seorang anak jalanan—terlunta di gang sempit, berselimut kardus, hidup tanpa nama dan harapan. Dunia mengajarinya untuk tidak berharap pada siapa pun, hingga suatu malam… seorang gadis kecil datang membawa roti hangat dan selimut. Bukan sekadar makanan, tapi secercah cahaya di tengah hidup yang nyaris padam.

Tahun-tahun berlalu. Anak itu tumbuh menjadi pria pendiam yang terbiasa menyimpan luka. Tanpa nama besar, tanpa warisan, tanpa tempat berpijak. Namun nasib membawanya ke tengah keluarga terpandang—Wijaya Corp—bukan sebagai karyawan, bukan sebagai tamu… tapi sebagai calon menantu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Portgasdhaaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Roti Dan Hujan

Laras duduk di tepi ranjang rumah sakit, kedua tangannya menggenggam selimut putih yang menutupi pahanya. Ruang rawat itu bersih dan hening, hanya sesekali terdengar langkah perawat di lorong luar.

Beberapa menit yang lalu, Ayah dan Ibunya pamit dengan wajah penuh kekhawatiran yang disamarkan. Mereka bilang, Kakeknya–Tuan Wijaya–memanggil mereka untuk datang.

Laras hanya mengiyakan sembari mengangguk. Walaupun sebenarnya hatinya merasa tidak tenang. Ia tahu, jika Kakeknya yang memanggil, itu bukan sekadar untuk obrolan keluarga biasa. Sedikit banyak, Laras sudah memiliki gambaran. Hal itu pasti berkaitan dengan kejadian yang menimpanya.

Ia menarik napas pelan. Pandangannya kosong ke arah jendela yang tertutup tirai. Sesekali, jari-jarinya bermain di atas selimut. Berusaha membuang resah yang tak tahu harus ke mana.

Lalu...tiba-tiba suara ketukan terdengar. Pintu kamarnya dibuka pelan, tanpa suara.

Laras dengan cepat menoleh. Matanya membulat ketika menyadari siapa yang datang.

Arka.

Sekilas bayangan malam itu terlintas dalam kepalanya. Sorot mata Arka yang gelap, tangan yang melindungi, dan tubuhnya yang tegap saat berdiri di hadapannya.

Arka hanya berdiri diam di ambang pintu. Di tangannya, sebuah kantong kertas kecil berisi sepotong roti hangat tergenggam erat. Ia sempat mampir ke toko roti 24 jam sebelum ke rumah sakit.

Ia mengenakan jaket hitam yang dipakai seadanya, dengan resleting terbuka separuh. Potongannya sederhana, tapi cara Arka memakainya membuatnya tampak dingin dan susah ditebak.

“Arka…”

Suara Laras nyaris tak terdengar.

Arka menatapnya sejenak, lalu ia pun akhirnya masuk ke ruangan. Ia perlahan mendekat ke arah Laras, dan berdiri tepat disamping kasurnya.

“Bagaimana kondisimu?”

Arka bertanya dengan suara rendah. Dingin. Tapi pelan, seolah berhati-hati.

Laras diam untuk beberapa detik.

“Aku udah baik-baik aja…” Jawabnya, pelan.

Setelah itu ada jeda. Sunyi. Hanya detak infus dan suara AC.

Laras menggigit bibir bawahnya. Jantungnya berdetak lebih cepat.

Kenapa dia datang?

Kenapa sekarang?

Arka melangkah kecil ke meja di samping ranjang. Ia melihat catatan medis, lalu kembali menatap Laras.

Ia membuka kantong kertas kecil yang sejak tadi dia bawa. Tanpa berkata apa-apa, ia mengambil sepotong roti gandum dari dalamnya, lalu meletakkannya pelan di atas meja kecil di samping ranjang Laras.

Suaranya tetap dingin, tapi gerakannya… hati-hati. Seperti seseorang yang sedang mengembalikan sesuatu yang telah lama ia simpan.

“Kamu harus makan lebih banyak...Supaya bisa terus tersenyum.”

Laras tertegun sejenak mendengar kalimat itu.

“Kamu harus makan lebih banyak. Supaya bisa terus tersenyum.”

Entah kenapa… kalimat itu terdengar familiar. Rasanya aneh, ia seperti pernah mendengarnya di masa lalu. Tapi pikirannya kosong.Ia tak bisa mengingat dari mana.

Tatapannya mengabur beberapa detik, sebelum akhirnya ia menggeleng pelan dan menarik napas untuk membuyarkan lamunannya.

“…Terima kasih,” ucap Laras lirih, nyaris seperti bisikan.

Arka menoleh pelan. Matanya seakan bertanya, untuk apa?

Laras menunduk, lalu melanjutkan, masih dengan suara pelan tapi kali ini lebih jelas.

"Untuk malam itu…”

Tangannya mengepal di atas selimut.

“Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi… kalau kamu tidak datang menyelamatkanku.”

Sekali lagi ruangan kembali hening.

Arka terdiam sejenak.

Sorot matanya meredup, lalu perlahan mengalihkan pandangan ke jendela yang tertutup tirai. Seolah mencoba menyembunyikan sesuatu.

“…Kamu tidak perlu berterima kasih,” Suaranya pelan, tapi tegas. “Aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan.”

Laras mendongak pelan, menatap Arka. Heran.

“Apa maksudmu?”

Arka menarik napas pendek. Ia terlihat sedang memilih kata dengan sangat hati-hati.

“Melindungi mu,” ucapnya datar, tapi ada nada yang nyaris tak terdengar… seolah ada sesuatu yang lebih dari sekadar kewajiban. “Itu... tugasku.”

Laras tersipu malu. Ia sedikit terkejut dengan jawaban arka yang tidak ia bayangkan.

Kepalanya menunduk dalam-dalam, berusaha menyembunyikan rona hangat di pipinya. Ada sesuatu dalam cara Arka berkata “melindungi mu” yang membuat dadanya bergetar.

 

Ruangan Kembali hening.

Saling diam.

Begitu banyak keheningan yang terasa di antara mereka. Namun, begitu banyak pula yang ingin diucapkan, tapi seperti tertahan di kerongkongan.

 

Detik berjalan lambat. Suara AC tetap berdengung pelan, seolah ikut menyaksikan dua manusia yang tenggelam dalam kerumitan perasaan mereka sendiri.

Laras menggenggam ujung selimutnya. Berusaha mengumpulkan keberanian.

Ia tahu ini mungkin bukan waktu yang tepat. Tapi... jika tak bertanya sekarang, kapan lagi?

Perlahan, dengan suara kecil dan hati-hati, ia bertanya.

“Arka…”

Laki-laki itu menoleh pelan.

“…Kenapa kamu… sebegitu nya peduli padaku?”

Matanya tidak menatap langsung. Ia takut menemukan jawaban yang terlalu jujur... atau terlalu dingin.

Tapi sebelum Arka sempat menjawab, Laras mengumpulkan keberanian yang lebih besar. Suaranya sedikit gemetar.

“Dan... kenapa juga kamu memilih aku?”

Kali ini Arka menatapnya.

Tatapan itu seperti pisau yang perlahan mengiris lapisan pertahanan Laras. Tenang, tajam, dan dalam.

Tapi ia tetap diam. Membuat Laras semakin gugup.

Beberapa detik berlalu, hingga akhirnya Arka membuka suara.

Perlahan. Pelan. Tapi jelas.

“…Karena kamu satu-satunya,” ucapnya datar.

Laras mengerjap. Kaget, sekaligus tidak paham. “Satu-satunya… apa?”

Arka menunduk sedikit, menatap tangannya sendiri. Jemarinya mengepal sejenak, lalu kembali lepas.

“…Yang membuatku ingin tetap hidup.”

Laras menahan napas.

Jantungnya seperti berhenti berdetak selama beberapa detik. Kata-kata itu… tidak terdengar seperti pengakuan. Tapi juga bukan sekadar pernyataan biasa. Itu sesuatu yang dalam. Sesuatu yang... menyakitkan dan hangat dalam waktu yang sama.

Namun sebelum ia sempat membuka mulut, Arka melanjutkan.

“Sepuluh tahun lalu...di sebuah gang sempit. Seorang anak laki-laki yang kamu beri sepotong roti... apakah kamu masih mengingatnya?”

Laras menatap Arka tak berkedip.

Dunia di sekelilingnya terasa menghilang.

Ruang rawat itu, suara AC, bahkan denyut di lengannya, semua seperti lenyap, digantikan oleh satu kalimat sederhana yang baru saja diucapkan Arka.

Matanya membesar. Mulutnya sedikit terbuka.

Ada denyut aneh di dadanya, seperti palu yang dipukul pelan berulang, dan berulang lagi.

"Sepuluh tahun yang lalu?"

“…Jadi… anak laki-laki yang waktu itu…”

Suaranya bergetar.

“Adalah kamu?”

Arka hanya diam.

Tapi diamnya cukup untuk menjawab segalanya.

Laras terdiam.

Kepalanya bergetar pelan.

Lalu, perlahan… kenangan itu menyusup ke balik kelopak matanya.

Rasanya kabur. Tapi nyata.

 

_______

Sepuluh tahun yang lalu...

 

Hujan turun deras.

Langit kelabu. Di sebuah gang sempit di antara dua bangunan tua. Air mengalir di sepanjang selokan kecil, membawa daun-daun mati dan sampah plastik.

Seorang gadis kecil berpayung biru langit berjalan pelan. Ia baru saja disuruh pulang cepat karena hujan turun semakin deras.

Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti.

Di ujung gang, ia melihat seorang anak laki-laki… meringkuk. Tubuhnya kurus dan penuh lebam. Bajunya lusuh dan basah kuyup. Ia duduk di atas tumpukan kardus yang hampir terendam air hujan.

Anak itu tidak menangis. Tapi juga tidak bergerak. Matanya kosong. Seolah tidak lagi punya alasan untuk hidup.

Si gadis kecil mendekat dengan langkah hati-hati.

“Hei…”

Suaranya kecil.

“Kamu tidak apa-apa?” Dia bertanya dengan penuh rasa khawatir.

“Kamu keliatan lesu banget, Kamu lapar ya?”

Anak itu tidak menjawab. Bahkan tidak menoleh.

Tidak mendapatkan jawaban, gadis kecil itu lantas berlari meninggalkannya.

Anak laki-laki itu tidak bergeming. Seakan sudah tahu, bahwa pada akhirnya gadis itu pasti pergi meninggalkannya. Bahwa dunia ini terlalu kejam untuk tempatnya bisa berharap.

Namun hal yang tak diduga...gadis itu kembali...

Tidak dengan payung. Tidak dengan mantel.

Tubuhnya basah kuyup, rambutnya menempel di pipi, dan kakinya bergetar karena dingin.

Ia berlari.

Memeluk erat sebuah kantong plastik putih berisi roti. 

Sampai akhirnya, ia kembali berdiri di hadapan bocah itu—yang masih diam, masih tak percaya, masih mengira dirinya hanya akan dilupakan seperti biasa.

“Ini…”

Suara gadis itu bergetar karena hujan dan napasnya yang memburu.

Ia membuka kantong plastik itu. Mengambil satu potong roti hangat—dan meletakkannya dengan pelan di atas pangkuan anak laki-laki itu.

“Maaf kalau aku lama…” gumamnya.

“Tadi aku harus maksa ibu penjual biar mau buka pintunya.”

Anak laki-laki itu hanya menatap.

Bisu. Beku. Basah.

Tapi tangan kecilnya yang gemetar perlahan terangkat. Menyentuh roti itu… seolah tak percaya benda itu nyata. Bahwa rasa lapar yang selama ini ia abaikan, kini tiba-tiba begitu dekat, begitu hangat.

 

“Kamu harus banyak makan,” ucap gadis itu.

Suaranya kecil, tapi penuh keyakinan.

“…Supaya bisa terus tersenyum.”

Anak laki-laki itu masih menatap roti di pangkuannya.

Tangan kecilnya gemetar.

Tapi bukan karena dingin—melainkan karena ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan sedang tumbuh dalam dadanya.

Sesuatu yang nyaris ia lupakan.

Gadis kecil itu tersenyum. Senyum yang sederhana. Sedikit canggung tapi begitu tulus.

"Kalau begitu sampai jumpa yah..."

Gadis itu melambaikan tangannya, meninggalkan bocah itu dengan sekresek roti hangat dan senyum sederhana yang memberinya secercah harapan.

Dan saat itulah—bocah laki-laki itu merasa... Bahwa ia belum benar-benar sendiri di dunia ini. Bahwa ternyata, bahkan dalam hujan yang paling deras, masih ada seseorang yang bersedia kembali… hanya untuk memberinya sedikit kebaikan.

 Senyum itu…

Senyum yang membelah gelap dalam dirinya. Yang membuatnya ingin tetap hidup. Yang membuatnya, kelak—ingin melindungi senyum itu selamanya.

 _________ 

Laras menutup mulutnya. Matanya memanas.

Itu… bukan hanya sekadar kenangan.

Itu adalah salah satu peristiwa kecil yang dulu ia lupakan—karena mengira tak berarti apa-apa. Tapi ternyata...

“…Kamu…” bisiknya pelan, suaranya nyaris hilang.

Tanpa terasa air matanya jatuh—bukan karena sedih. Tapi karena sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

_______

"Kita selalu punya pilihan untuk berbuat baik atau tidak.

Tapi, terkadang… dunia berubah karena satu kebaikan kecil yang kita lakukan tanpa sengaja."

 

 

 

 

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!