Elena hanya seorang gadis biasa di sebuah desa yang terletak di pelosok. Namun, siapa sangka identitasnya lebih dari pada itu.
Berbekal pada ingatannya tentang masa depan dunia ini dan juga kekuatan bawaannya, ia berjuang keras mengubah nasibnya dan orang di sekitarnya.
Dapatkah Elena mengubah nasibnya dan orang tercintanya? Ataukah semuanya hanya akan berakhir lebih buruk dari yang seharusnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahael, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 : Keturunan
Elena POV
Lima tahun sudah berlalu sejak aku mengerti maksud dari angka-angka yang ada di atas kepala semua orang, dan saat ini aku telah berusia 12 tahun.
Awal mula ketika aku mengetahui maksud dari semua angka acak itu adalah ketika tetanggaku, nenek Von meninggal. Angka yang berada di atasnya telah habis, dan sesuatu yang baru ku sadari ketika melihat kematian nenek Von adalah sesuatu yang tertulis di bawah angkanya.
'Umur'
Hanya dengan satu kalimat itu dapat menjelaskan segala hal. Kekuatan ini dapat melihat sisa waktu orang lain, dan alasan kematiannya.
Pada awalnya aku benar-benar ketakutan dan meringkuk di pojok rumah. Aku tidak mengerti mengapa aku bisa mendapatkan kemampuan mengerikan seperti ini. Melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang lain, dan mengetahui sesuatu yang tidak masuk akal membuatku merasa akan gila.
Delia saat itu begitu panik ketika melihatku gemetar ketakutan setelah pemakaman nenek Von.
"Lena? Sayang? Kenapa, nak?" Delia mengangkat wajahku yang sudah pucat. Namun, hal itu membuatku dapat melihat alasan kematian Delia.
'Penyakit Menular'
Saat itulah rasanya duniaku hancur.
Penyakit menular? Jika itu benar-benar terjadi, rakyat biasa seperti kami hanya akan mati seperti tikus.
Tuhan, kenapa kau memberiku penglihatan seperti ini? Lebih baik cabut saja mataku jika harus melihat hal seperti ini!
"Elena, cerita pada ibu. Apa yang terjadi denganmu?" Delia begitu khawatir melihat raut wajahku yang kosong. Ia menggoyangkan badanku dengan wajah yang hendak menangis.
Dalam sunyi aku mulai berkata dengan lirih, "Ibu... Ada apa denganku? Aku bisa melihat sesuatu yang tidak seharusnya kulihat."
Mendengar hal itu Delia menjadi bingung. "Apa maksudmu, sayang?"
"Di atas kepala nenek Von ... Angkanya telah habis. Dia mati ...," ucapku dengan putus asa. Delia yang mendengar itu menampilkan wajah yang rumit.
Ia kemudian langsung memelukku dan mengatakan maaf secara berulang-ulang.
"... Maafkan ibu, Lena. Semua salah ibu."
"Apa maksud ibu ...."
"Semuanya karena kamu anak kaisar, Lena!"
Seperti tersambar oleh petir. Hal itu membuat pupil mataku bergetar.
"Karena kesalahan ibu, kamu lahir Elena ...." Terasa sesuatu yang basah mengalir di pundakku, dan isak tangis Delia menyadarkanku kembali akan kenyataan pahit ini.
"... Karena matamu ... Mata merah muda cerah, tanda keluarga kekaisaran. Tanda kalau kamu adalah anak kaisar, Elena ...." Delia menceritakan segalanya padaku saat itu. Tentang sejarah kekaisaran, dan alasan ia bisa berakhir disini.
Dikatakan bahwa kaisar pertama memiliki mata merah muda yang begitu jernih hingga terlihat seperti permata langka.
Rumor yang beredar jika kekasih sang kaisar adalah seekor naga yang sudah hidup selama ribuan tahun lamanya untuk menemukan belahan jiwanya, dan kekuatan naga itu tersemat di manik mata sang kaisar. Karena hal itu, siapapun yang memiliki manik mata berwarna merah muda di rumorkan dapat melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh siapapun.
Namun, dalam setiap generasi manik merah muda itu semakin memudar dan kekuatannya sekarang hanya terdengar seperti rumor belaka. Kaisar saat ini memiliki mata berwarna merah seperti darah dan ia terkenal begitu kejam.
Lalu, Delia adalah seorang pelayan yang melayani permaisuri. Ia berkata bahwa hubungan mereka begitu dekat hingga bisa dikatakan berteman. Namun, suatu hari kaisar membawa Delia ke kamarnya. Tak kuasa menahan perasaan bersalah kepada permaisuri, Delia memutuskan untuk melarikan diri.
Ketika Delia sampai ke desa ini, ternyata ia sedang mengandung. Pada awalnya ia begitu depresi dan ingin mengakhiri hidupnya karena rasa bersalah, tapi merasakan sebuah kehidupan berada di perutnya membuat ia mengurungkan niatnya. Namun, anaknya malah terlahir dengan manik mata merah muda yang tidak dimiliki oleh sang kaisar.
Mengetahui fakta itu, Delia berusaha untuk menyembunyikan anaknya dan melindunginya dari kaisar.
Tapi sejak hari itu aku mulai bertekad untuk mengubah nasibku dan ibu. Selama lima tahun itu aku mulai belajar tentang obat-obatan yang ada di dunia itu. Mencoba mencari sepeser uang untuk membeli buku obat-obatan dan terkadang mencari beberapa bahan ke kota. Semua terus kucoba dan lakukan agar angka yang ada di atas kepala ibu bisa bertambah.
Elena end POV
Saat ini Elena sedang berjalan kearah rumah Ralf dan Mega sembari membawa tas selempang. Surai merah muda pendeknya melambai dengan halus terkena terpaan semilir angin di desa.
Tuk. Tuk. Tuk.
Mengetuk hingga tiga kali, pintu kayu itu terbuka dan menampilkan sosok gadis dengan surai keunguannya.
"Mega, apa sudah siap?" tanyaku.
"Lena, tolong bangunkan kak Ralf! Sedari tadi aku sudah mencoba membangunkannya, tapi dia tidak bangun-bangun. Seakan sedang latihan meninggal saja." gerutu Mega dengan kesal. Elena hanya tertawa canggung mendengar gerutuan Mega.
"Darimana dia mempelajari kata-kata seperti itu?"
"Baiklah, biar aku yang membangunkannya." Elena pun berjalan memasuki rumah dan berjalan mengarah ke pintu kamar Mega dan Ralf.
Hana, ibu dari Ralf dan Mega hanya tersenyum melihat Elena berjalan memasuki kamar anaknya. Hal itu sudah terlihat biasa karena salah satu anaknya yang memiliki kebiasaan tidur yang buruk.
Tepat di depan pintu kamarnya, Elena menarik napas terlebih dahulu lalu membuka pintu itu dengan keras sembari meneriakkan nama Ralf dengan keras, "RALF, BANGUN ATAU AKU DAN MEGA AKAN MENINGGALKANMU!!!"
Suara itu begitu keras hingga membuat Ralf yang awalnya masih tertidur nyenyak langsung melompat dari kasurnya hingga jatuh ke lantai.
"El- Elena ...?"
"Cepat bersiap, Ralf. Bukankah kita sudah janji untuk pergi ke kota hari ini?"
"Be-benar ... Aku akan bersiap! Tunggu sebentar! Jangan tinggalkan aku, Elena!" Ralf langsung berlari ke belakang rumahnya untuk membersihkan tubuhnya sedikit, sedangkan Elena pergi ke ruang tamu, menunggu Ralf bersama Mega.
"Kakak terlalu bersemangat semalam karena akan pergi ke kota bersama hingga membuatnya tidur terlalu larut."
Elena hanya tertawa geli mendengar aduan Mega yang terdengar begitu manis itu. Sedangkan Mega memperhatikan Elena dengan begitu intens hingga membuat Elena kebingungan.
"Ada apa?"
"Lena, apa kau tidak ingin memanjangkan rambutmu?" Mega mengulurkan tangannya untuk memegang rambut Elena yang sangat pendek itu.
"Tentu, akan ku panjangkan. Aku perlu menjualnya lagi nanti agar bisa membeli beberapa buku, bukan?"
Mega hanya bisa menghela napas dan menggeleng pasrah. Sedangkan Elena terlihat bingung.
"Kamu sungguh tidak peka, Elena. Mega itu sayang dengan rambutmu yang selalu di potong sangat pendek." Ralf tiba-tiba menimpali setelah selesai bersiap.
"Kenapa sayang?"
Mega benar-benar gemas dengan temannya ini. Ia bingung apakah temannya ini bodoh atau dungu. "Itu karena rambutmu sangat cantik, Lena! Itu terlihat seperti bunga Peony!"
"O-oh ... Terimakasih ...." Elena tidak dapat memberikan respon apapun lagi. Ia perlu menjual rambutnya agar bisa membeli sebuah buku obat-obatan. Kebetulan sekali rambut dengan warna merah muda sangat langka dan banyak di gemari oleh wanita bangsawan. Jika ada kesempatan menghasilkan uang, kenapa harus disayangkan?
"Sudahlah, Mega. Lebih baik kita pergi sekarang. Paman George pasti sudah menunggu kita lama," ucap Ralf.
"Bukankah itu karena kakak yang tidak mau bangun?!"
Pertengkaran hampir dimulai kembali dengan dua bersaudara itu, jika saja Elena tidak menengahi mereka dengan cepat.
"Sudahlah, ayo berangkat."
Pada akhirnya mereka pun berjalan ke arah gerbang desa, dimana sebuah gerobak sudah menunggu disana.
"Halo, paman George!" sapa mereka.
"Kupikir kalian tidak jadi pergi. Aku hampir saja meninggalkan kalian disini," ucap paman George sambil tertawa khas bapak-bapak.
"Salahkan kak Ralf yang tidur tidak bangun-bangun!"
Paman George hanya bisa tertawa melihat tingkah Mega yang begitu kesal dengan Ralf.
"Paman, maaf kami terlambat. Kami masih boleh ikut, kan?"
"Tentu saja. Naiklah."
Menerima izin dari paman George. Elena, Mega, dan Ralf pun naik ke atas gerobak yang di tarik oleh satu kuda. Sedangkan paman George berada di tempat kusir untuk menjalankan kudanya.
"Hey, saat di kota nanti apa yang ingin kalian beli?" tanya Ralf dengan wajah bersemangat.
"Aku ingin membeli buku."
"Mungkin bahan obat-obatan baru?"
"...."
Ralf menatap keduanya dengan tatapan malas. "Membosankan."
"Apa?!"
"Me-memangnya Ralf mau membeli apa di kota nanti?" putus Elena sebelum pertengkaran kembali berlanjut.
"Tentu saja aku akan melihat-lihat toko senjata!"
"Tidak membelinya?"
"Ayah bilang aku belum memerlukannya. Saat waktunya tiba, ia akan membelikanku pedang yang ku mau."
Mendengar hal itu, Mega mendengus remeh dan berkata, "Jadi maksudmu kamu tidak memiliki uang dan hanya melihat-lihat?"
"Aku punya uang!!"
"Argh. Kapan kami sampai?"
Elena menyerah menengahi mereka dan berakhir hanya termenung melihat ke arah luar hingga kereta berhenti di alun-alun kota.
To Be Continued