Karena merasa iba melihat para lansia yang ia jaga dan rawat di Panti Jompo yang dikelolanya, Mariyati ingin menghukum semua keturunan para orang tua itu. Para lansia itu hidup seorang diri hingga tiada, tanpa ada sanak keluarga yang menemani sampai mereka semua dijemput ajal.
Demi membalaskan rasa kecewa para orang tua yang dulu ia rawat di Panti Jompo itu, Mariyati rela bersekutu dengan para iblis dari alam kegelapan. Ia membuat beberapa keturunan para lansia itu, untuk membayar semua perlakuan orang tua mereka, pada Nenek atau Kakek mereka. Dengan cara menumbalkan nyawa para cucu atau cicit dari lansia itu. Akankah Mariyati berhasil menumbalkan nyawa keturunan para lansia yang dulu ia rawat. Karena dengan menumbalkan nyawa keturunan para lansia itu, Nenek atau Kakek mereka dapat kembali hidup. Apakah Mariyati berhasil menjalankan niatnya itu? Baca kelanjutan ceritanya yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novi putri ang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33 TUMBAL KEDUA.
Mbah Gito memejamkan kedua mata, sebelum ia melanjutkan rapalan mantranya. Dia sudah bersiap menghujamkan pisau ke pergelangan tangan kanan Doni. Nampak raut wajah Doni berubah, ia terlihat kesakitan namun tak berdaya untuk berontak. Saat itu ia dalam pengaruh sihir Mbah Gito, dan ia hanya bisa pasrah. Saat pergelangan tangan kirinya juga disayat pisau. Darah mengalir deras dari kedua tangannya. Sebagai makhluk halus tentu saja semua hantu lansia itu langsung bereaksi. Mereka menghirup aroma anyir darah segar, seketika jiwa-jiwa tanpa raga itu menggila. Sosok mereka berubah jadi beringas, dan bersama an menikmati tetesan darah Doni yang ditampung di dalam batok kelapa. Bahkan jiwa nek Siti dan kakek Ridho juga tak kuasa menahan diri, untuk sama-sama menikmati segarnya darah manusia. Doni hanya bisa meringis merasakan sakit, saat para hantu lansia itu dengan beringas menyesap habis darah yang keluar dari pergelangan tangan Doni.
"Hahaha teruskan sampai kalian puas. Dan bagian puncaknya, akan ku persembahkan darah itu untuk membuat Dodit lebih sehat dan bugar. Tak sakit-sakitan seperti dulu lagi!" Ucap Mariyati seraya berkacak pinggang penuh kemenangan.
Mendengar ucapan Mariyati, membuat hati nek Siti dan kakek Ridho getir. Mereka tanpa sadar ikut menikmati persembahan jiwa yang dipersembahkan untuk kakek Dodit. Keduanya menghentikan apa yang mereka lakukan. Mulut mereka sudah berlumuran darah dari cicit teman mereka sendiri. Tak lama kedua sosok hantu itu melesat pergi meninggalkan ruangan ritual. Hanya ke empat hantu lansia yang masih bertahan disana. Mbah Gito berniat menghentikan kedua hantu lansia yang pergi, namun Mariyati melarangnya.
"Biarkan saja mereka berdua pergi. Setidaknya kita sudah berhasil membuat mereka ikut menikmati persembahan malam ini." Kata Mariyati menyeringai lalu berjalan ke depan dipan kayu.
"Ini pisaunya, sudah ku bacakan mantra guna untuk jiwa Dodit memiliki kekuatan lebih. Karena setelah ini jiwa cicitnya akan menjadi budak ku. Dan sebagai gantinya aku akan membuatnya kembali sehat dan bugar." Pungkas Mbah Gito tertawa lantang, seraya menyerahkan sebilah pisau ke Mariyati.
Tak menunggu lama, Mariyati langsung menusukan pisau ke leher Doni. Ia nampak kesetanan daripada setan-setan yang ada disebelahnya. Berkali-kali Mariyati menusuk leher Doni tanpa jeda, hingga puncaknya ia menyayat leher Doni dengan pisau. Darah mengalir deras ke batok kelapa yang ada di atas dipan kayu. Tubuh Doni menggelepar bagaikan ikan yang kekurangan air. Mariyati tertawa girang melihat akhir hidup pemuda itu. Hanya terdengar suara memekik sebelum ajal benar-benar menjemput Doni. Hantu kakek Dodit langsung melesat mendekati dipan kayu itu. Ia meneguk habis darah yang ada di batok kelapa sampai titik darah penghabisan.
Diluar sana petir menggelegar dengan kencangnya, membuat Sintia terbangun dari tidurnya. Sayup-sayup ia membuka kedua mata, melihat keluar jendela yang ternyata tirai nya setengah terbuka. Ditengah kesadarannya, ia mendengar suara tawa seseorang yang tak asing di telinganya. Ia melihat jam dinding, waktu sudah menunjukkan pukul satu malam.
"Ngapain bu Mariyati ketawa tengah malam begini. Apa mereka masih berkumpul ya, buat doa bersama?" Batin Sintia di dalam hatinya.
Sebenarnya ia berniat bangkit dari tempat tidurnya, namun rasa kantuk yang luar biasa membuatnya mengurungkan niat. Ia meregangkan otot-otot tubuh di atas tempat tidur. Lalu memiringkan tubuh, dan berniat memejamkan kedua mata. Baru saja kedua matanya akan tertutup sempurna. Ia malah mendengar suara jeritan panjang seorang lelaki. Sontak saja Sintia membuka matanya lagi, ia mengaitkan kedua alis mata merasa tak asing dengan suara tadi.
Perasaan Sintia tak salah, karena yang baru saja ia dengar memang lah suara orang yang ia kenal. Suara terakhir Doni sebelum ia benar-benar menjemput ajalnya. Sintia langsung tak tenang, ia bangkit berjalan menuju jendela.
"Aneh gak ada orang diluar sana, tapi gue kayak denger sesuatu." Gumamnya dengan menggaruk kepala yang tak gatal.
Dari luar kamarnya, ia seperti melihat nek Siti sedang berjalan seorang diri. Ia berjalan melewati lorong gelap di dekat dapur. Karena mengira jika yang dilihatnya benar-benar nek Siti, ia keluar kamar dan mengikuti langkah perempuan tua itu. Sampai akhirnya ia berhenti di depan ruang ritual. Samar-samar ia mendengar suara dari dalam sana. Tanpa sengaja tangan Sintia menyentuh gagang pintu. Seketika Mariyati mengetahui ada yang tidak beres diluar sana. Ia menerawang melalui batin, dan melihat sesuatu yang membuatnya marah. Ia mengetahui jika nek Siti berusaha memberikan petunjuk pada cicitnya. Yang akhirnya membuat Sintia sampai berada di depan pintu ruangan ritual. Mariyati mengepalkan kedua tangan seraya membulatkan kedua mata. Ia berjalan keluar lalu membuka gagang pintu. Nampak Sintia kebingungan melihat Mariyati sudah berdiri di depannya dengan sorot mata membunuh.
"Apa yang kau lakukan disini Sintia? Bukankah sudah saya bilang, kalau kalian dilarang berkeliaran keluar kamar kalau sudah tengah malam!" Bentak Mariyati melotot membuat Sintia menundukkan kepala ketakutan.
"Maaf bu, tadi saya gak bermaksud keluyuran keluar kamar. Tapi tadi saya lihat nek Siti berjalan kesini, karena hawatir makanya saya ikuti. Tapi setelah sampai di depan pintu ini, seakan nek Siti juga menghilang gak tau kemana. Mungkin memang saya yang salah lihat, kalau begitu saya permisi kembali ke kamar bu." Jelas Sintia dengan peluh yang membasahi keningnya.
"Tunggu Sintia!" Seru Mariyati menghentikan langkah gadis muda itu.
Mariyati kembali memperingatkan Sintia, jika yang ia lihat mungkin adalah jelmaan para hantu yang ingin mencelakai nya. Karena di sekitar Panti masih banyak hutan dan bangunan kosong. Ia menggunakan teknik itu untuk menakut-nakuti Sintia.
"Selain para penjahat dan buronan, tentu masih ada makhluk tak kasat mata yang gentayangan di sekitar sini. Kalau tak ingin terjadi sesuatu, jangan pernah lagi mengikuti siapapun di tengah malam begini. Meskipun orang itu menyerupai seseorang yang kau kenal. Bisa jadi itu bukanlah manusia!" Cetus Mariyati, menekankan pada Sintia dan dibalas dengan anggukan kepala.
Sintia berjalan setengah berlari kembali ke kamarnya. Ia merasa seperti ada yang mengikutinya dari belakang. Lalu ia kembali menghentikan langkah, saat ada aroma bunga melati di sekitarnya. Nampak seluruh tubuhnya bergetar, ia tak berani membalikkan badan karena berpikiran jika ada sesuatu yang akan mengejutkannya. Sintia menghembuskan nafas panjang, sebelum melanjutkan langkah kakinya. Namun sesosok kuntilanak terbang tepat di depannya, kuntilanak itu menembus tubuhnya.
Bruuugh.
Sintia tergeletak di lantai, tubuhnya mengejang dan matanya melotot. Jiwa nek Siti sedang merasuki tubuh Sintia, ia memberikan penglihatan di masa lalu. Kehidupan masa lampau nek Siti, yang dulu ketika masih muda berwajah sangat mirip dengannya. Entah apa yang ingin nek Siti tunjukan dengan merasuki tubuh cicitnya sendiri.
padahal cuma baca tapi panas dingin nya beneran cok