Pernikahan tanpa Cinta?
Pernikahan hanyalah strategi, dendam menjadi alasan, cinta datang tanpa di undang. Dalam permainan yang rumit dan siapa yang sebenernya terjebak?
Cinta yang menyelinap di antara luka, apakah mereka masih bisa membedakan antara strategi, luka, dendam dan perasaan yang tulus?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _Luvv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24
“Mau makan siang bareng?” ajak Dokter Reyhan ketika tak sengaja berpapasan dengan Diandra di lorong rumah sakit.
Diandra menoleh sekilas, lalu tersenyum sopan. “Terima kasih, Dok, tapi saya sudah makan siang.”
Ia hendak melanjutkan langkah menuju ruangannya, namun suara Reyhan menghentikan geraknya.
“Sampai kapan kamu menghindar dari saya, Diandra?”
Diandra terdiam sesaat sebelum akhirnya menoleh lagi tidak lupa dengan senyum di wajahnya. “Menghindar? Saya tidak merasa sedang menghindari Dokter."
“Sejak saya mengungkapkan perasaan ini, kamu selalu menjaga jarak,” ucap Reyhan pelan. Suaranya terdengar tenang, tapi Diandra bisa menangkap jelas nada kecewa yang terselip di baliknya.
Diandra terdiam. Kali ini ia tidak bisa menyangkal. Memang benar, sejak hari itu ia memilih menjaga jarak. Bukan berarti ia benar-benar menghindar apalagi mereka bekerja di tempat yang sama, mustahil baginya untuk selalu menghindar.
“Diandra,” panggil Reyhan lagi.
“Ya,” jawabnya, berusaha terdengar setenang mungkin.
“Apa benar berita tentang pernikahan kamu?”
Pertanyaan itu membuat Diandra terhenyak. Seolah dadanya dihantam sesuatu yang berat. Jadi, kabar itu benar-benar sudah menyebar.
“Itu… privasi,” jawabnya lirih. Hanya itu yang mampu keluar dari bibirnya. Bahkan dirinya sendiri masih bingung harus menempatkan pernikahan itu di mana dalam hidupnya. Sebab, sejujurnya ia tak pernah menginginkannya jika saja keadaan tidak memaksanya.
Reyhan menatapnya lama, tatapannya dalam dan sulit diartikan. Ia menarik napas panjang, sebelum berkata. “Kalau memang benar… selamat atas pernikahanmu,” ucapnya akhirnya.
Diandra tidak menanggapi. Ia hanya menunduk singkat, kemudian melangkah pergi. “Saya permisi, Dok.”
Diandra berjalan cepat menuju ruangannya. Kepalanya penuh dengan pikiran, langkahnya terburu-buru seakan ingin segera melepaskan beban. Begitu pintu terbuka, matanya langsung menangkap sosok yang sudah lebih dulu menunggunya.
Marissa duduk santai di sofa, menyilangkan kaki dengan ekspresi tenang seakan ruang itu miliknya sendiri.
“Ca?” Diandra mengernyit, kaget sekaligus heran. “Ngapain kamu di sini?”
Marissa hanya tersenyum tipis, tatapannya sulit ditebak. “Ada yang mau gue omongin,” jawabnya dengan tenang, tapi nadanya menyimpan sesuatu yang serius.
Diandra mengangguk kecil, lalu ikut duduk di sebelah Marissa. Saat itu, sahabatnya mengeluarkan satu cup ice matcha favorit Diandra dari dalam paper bag.
“Ya ampun, makasih banyak!” seru Diandra, wajahnya langsung berbinar cerah.
Marissa tertawa geli melihat perubahan ekspresinya. “Astaga, lo bisa berubah secepat itu cuma gara-gara segelas matcha.”
Diandra ikut terkekeh kecil sebelum meneguk minumannya. Namun, setelah itu wajahnya kembali murung. Ia menarik napas pelan, lalu berbisik, “Tadi gue ketemu Dokter Reyhan… Kayaknya dia udah tahu soal pernikahan gue.”
Marissa menatapnya lekat, ekspresinya berubah serius. “Pantesan dari tadi muka lo keliatan aneh,” komentarnya cepat.
Diandra menghela napas lagi, lalu meletakkan gelasnya di meja. “Oh iya, lo tadi bilang ada yang mau diomongin. Apa, Ca?”
Marissa menatapnya serius. “Sebelumnya gue mau bilang makasih dulu, Ra. Gara-gara lo, gue masih bisa hidup tenang sampai sekarang.”
Diandra mengangkat alis, tersenyum tipis. “Ca, lo bisa langsung ke intinya aja.”
“Ih, gue serius, Ra!” protes Marissa setengah kesal. Ia menarik napas sebelum mengatakannya. “Lingga udah investasi ke perusahaan bokap, atas nama lo.”
Mata Diandra langsung membesar. “Atas nama gue?!” tanyanya tak percaya.
Marissa mengangguk mantap. “Iya. Tadi pagi dia ngajak gue ketemu, buat ngobrolin itu. Katanya, biar semuanya aman dan nggak ada masalah hukum nantinya, semua investasi dia masuk atas nama lo.”
Diandra terdiam lama, jantungnya berdetak kencang tak beraturan. “Banyak?” tanyanya ragu, hampir berbisik.
“Banyak banget,” jawab Marissa mantap sambil memperlihatkan layar ponselnya. “Cukup buat nutup kerugian sekaligus menyelamatkan perusahaan. Dan sekarang…” Marissa berhenti sejenak, menatap sahabatnya dalam, “…setengah perusahaan bokap resmi jadi milik lo.”
“Hah?!” Diandra sontak terperanjat. Tubuhnya seakan kehilangan tenaga. Matanya membesar, napasnya tercekat, sementara jantungnya berdentum semakin keras hingga terasa di telinganya. Sulit baginya menerima kenyataan dari kalimat yang baru saja diucapkan.
Marissa hanya mengangkat bahu, ekspresinya yakin tanpa ragu. “Menurut gue, Lingga emang beneran serius sama lo, Ra. Bahkan… bisa jadi dia memang suka banget sama lo.”
Diandra langsung menggeleng, wajahnya mengeras. “Nggak mungkin. Keluarga mereka itu licik, Ca. Gue rasa ini cuma salah satu trik dia buat ngiket gue lebih lama.” Tatapannya kosong menembus dinding ruangan, seakan mencari jawaban di balik kekalutan pikirannya. Semakin dipikirkan, dadanya justru terasa makin sesak.
“Tapi kan ini atas nama lo, Ra. Jadi sekalipun lo minta cerai, investasi itu nggak ngaruh. Lo tetap punya kendali atas setengah perusahaan bokap sekarang,” jelas Marissa hati-hati, seolah takut memantik emosi sahabatnya.
Diandra terkekeh sinis, senyum pahit terbit di wajahnya. “Lo yakin dia ngelakuin semua itu tanpa syarat? Lo yakin dia nggak bakal narik tali kendali suatu saat nanti?” Suaranya bergetar, getir, penuh kecurigaan yang menekan.
Marissa terdiam, menatap Diandra yang kini gelisah, jemarinya meremas ujung gelas tanpa sadar. Bagi orang lain, langkah Lingga mungkin terdengar manis, bahkan romantis. Tapi bagi Diandra, setiap kebaikan pria itu selalu datang bersama bayang-bayang tanda tanya besar dan itu justru lebih menakutkan daripada ancaman terang-terangan.
_____
“Apa yang sebenarnya kamu mau dari aku?” tanya Diandra langsung.
Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, Lingga kembali menginap di apartemennya. Alasannya, jika Diandra tetap menolak pindah ke rumahnya, maka ia akan menetap di sini. Dan sejauh ini, Lingga benar-benar menepati ucapannya.
Lingga yang sejak tadi fokus menatap layar laptop, langsung menoleh. Alisnya sedikit berkerut. “Maksud kamu apa?” tanyanya, seolah benar-benar tak mengerti.
Diandra menatap Lingga penuh. “Kamu sudah berinvestasi besar di perusahaan keluarga Marissa. Aku tahu, nggak mungkin kamu ngelakuin itu tanpa tujuan. Pasti ada sesuatu yang kamu inginkan dari aku, kan?”
Lingga menghentikan aktivitasnya. Laptop ditutup perlahan, lalu ia menatap Diandra dalam, penuh keseriusan. “Tinggal di rumah saya.”
Diandra memicingkan mata. “Hanya itu?” nada curiganya jelas terdengar. Baginya, terlalu mustahil Lingga mengeluarkan uang sebanyak itu hanya demi sebuah permintaan sederhana.
Namun pria itu mengangguk mantap. “Kalau kamu lebih nyaman di sini, saya juga nggak keberatan. Tapi izinkan saya tinggal di sini, dengan kamu.”
Jawaban itu justru membuat Diandra semakin bingung. Tatapannya penuh pertanyaan yang tak berani ia ucapkan. Benarkah hanya itu? Atau sebenarnya Lingga sedang menyusun rencana lain? Balas dendam keluarga lewat dirinya, mungkin?
“Buang pikiran buruk kamu itu, Diandra.” ujarnya.
Diandra menggigit bibir bawahnya, lalu berbisik lirih, “Aku bingung…”
Lingga mencondongkan tubuh sedikit. “Kenapa harus bingung?”
“Apa tujuan kamu melakukan semua ini?” tanya Diandra dengan wajah penasarannya.
Lingga terdiam lama. Ia menatap wajah istrinya yang masih penuh keraguan, lalu menunduk sesaat. Bahkan dirinya sendiri sulit menjelaskan alasannya. Sejak pertama kali melihat Diandra, ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang membuatnya tertarik, yang bahkan tidak bisa ia definisikan dengan logika.
Akhirnya, Lingga kembali mengangkat wajahnya. Ada senyum samar yang terukir di bibirnya, senyum yang terlalu misterius untuk bisa ditebak. “Nanti… kamu akan tahu,” ucapnya tenang.
Diandra mendengus pelan, tidak puas dengan jawaban itu. Justru semakin banyak pertanyaan yang berputar di kepalanya. “Kamu selalu begitu, Lingga. Selalu bikin orang bingung,” gumamnya, separuh kesal, separuh pasrah.
Tanpa menunggu balasan, ia bangkit dari duduknya. Langkahnya cepat menuju kamar, meninggalkan Lingga yang masih tenggelam di balik layar laptopnya. Sesaat kemudian, Diandra sudah terduduk di ujung ranjang, menunduk dalam diam.
Kepalanya penuh.
“Kenapa kamu selalu buat aku bingung, Lingga…” bisiknya lirih, seolah berbicara pada bayangan dirinya sendiri. Ia meremas ujung sprei, menahan resah yang tak bisa ia pahami.
Lalu, sebuah pikiran muncul. Sebuah keberanian kecil yang ia tanamkan untuk melawan kebingungannya. “Apa aku harus mulai duluan?” ujarnya pelan, tapi penuh tekad.
Tatapannya mengeras, seakan menemukan pegangan baru. “Aku harus gerak cepat.”
Jika Lingga memang memiliki rencana di balik pernikahan ini, maka Diandra pun memiliki alasan sendiri menerima pernikahan ini bukan semata karena ingin menolong sahabatnya, tapi ada hal lain yang ia perjuangkan.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum tipis. Senyum yang tak kalah misterius dari milik Lingga.
“Kalau kamu bisa menggunakan status ini, maka aku juga bisa, Lingga…” bisiknya, seakan menyatakan perang dalam diam.