Di sebuah pesantren besar yang terkenal dengan ketegasan sekaligus karismanya, Gus Zizan dikenal sebagai sosok ustadz muda yang tegas, berwibawa, namun diam-diam punya hati yang lembut. Kehidupannya yang teratur mulai berubah ketika Dilara, seorang santri baru dengan masa lalu kelam, datang untuk menuntut ilmu.
Dilara datang bukan hanya untuk belajar agama, tapi juga untuk mencari tempat aman setelah keluarganya hancur karena sebuah fitnah. Sifatnya yang pendiam dan penuh luka membuatnya jarang berbaur, namun keuletan dan kecerdasannya menarik perhatian Gus Zizan.
Awalnya, perhatian itu murni karena Dilara sering terlibat masalah—mulai dari disalahpahami teman, dituduh melanggar aturan, hingga menjadi korban gosip di pesantren. Namun, seiring waktu, Gus Zizan mulai melihat sisi lain dari santri itu, ketulusan, kepintaran, dan keteguhan hati yang menginspirasi banyak orang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 23
Pagi kedua setelah kejadian jemuran itu, Pondok Nurul Falah seolah kembali tenang dengan rutinitasnya. Suara ayam jantan masih terdengar bersahutan dari kampung sekitar, sementara langkah-langkah santri yang bergegas ke kelas diniyah menciptakan ritme khas kehidupan pondok.
Namun di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang terus berputar—gosip kecil tentang Dilara dan Gus Zizan.
Awalnya hanya bisikan ringan di asrama putri. Salsa yang iseng menyinggung wajah merah Dilara, lalu Mita yang menggoda, disambung tawa Sisil dan Dewi. Tapi sebagaimana gosip pada umumnya, ia tak berhenti di situ. Satu bisikan diubah sedikit, ditambahkan bumbu, lalu disampaikan ke telinga lain. Hingga akhirnya, gosip itu berubah menjadi cerita besar.
“Katanya, Gus Zizan sampai ngebantuin Dilara ngambilin baju jatuh loh.”
“Bukan cuma itu, aku dengar tangannya hampir bersentuhan…”
“Ya Allah, masa iya? Di belakang asrama pula. Ih, romantis banget, kayak di sinetron.”
Dalam waktu singkat, nama Dilara kembali jadi bahan perbincangan. Padahal ia baru saja lega karena isu dirinya terlalu ikut campur dalam masalah Wulan mulai mereda. Kini, gosip baru muncul, lebih sensitif, karena menyangkut putra pengasuh pondok.
Dilara tak tahu harus bersikap bagaimana. Saat masuk kelas, beberapa santri menatapnya sambil menahan senyum. Ada yang menyenggol teman di sebelahnya begitu Dilara lewat. Ada pula yang berbisik sambil melirik, membuat pipinya semakin panas.
Wulan yang duduk di sampingnya menyadari hal itu. Ia menepuk tangan Dilara pelan. “Lara… kamu nggak usah pikirin omongan mereka.”
Dilara menunduk, mencoret-coret bukunya. “Tapi aku malu, Lan. Seolah-olah aku sengaja…”
“Eh, jangan gitu. Aku tahu kamu nggak ada niat apa-apa. Semua murni kebetulan. Dan… aku lihat kok, Gus Zizan juga langsung pergi. Dia nggak macam-macam.”
Dilara menghela napas. “Tapi kalau gosip ini sampai ke ustadzah, aku bisa dimarahi. Bahkan mungkin dianggap sengaja cari perhatian.”
Wulan menatapnya iba. Ia tahu betul, Dilara selama ini termasuk santri teladan, selalu rajin, selalu siap membantu siapa pun. Hanya saja, posisinya sering kali berada di tempat yang salah, sehingga mudah disalahpahami.
Sementara itu, di kediaman pengasuh, Gus Zizan juga merasakan keganjilan. Saat keluar menuju kelas, beberapa santri putra sempat memberi salam dengan ekspresi yang berbeda. Ada yang menunduk sopan seperti biasa, tapi ada pula yang menyunggingkan senyum aneh.
Bahkan seorang santri senior sempat berseloroh, “Hati-hati sama jemuran, Gus. Angin di belakang asrama memang sering nakal.”
Kalimat itu sederhana, tapi telinga Gus Zizan cukup peka untuk mengerti maksudnya. Jantungnya langsung berdegup, wajahnya memanas, dan ia hanya bisa menunduk cepat sambil berlalu.
Di dalam kelas tafsir, pikirannya tak sepenuhnya fokus. Ia berusaha menjelaskan ayat dengan tenang, suaranya tetap tegas, tapi setiap kali menatap kitab, bayangan jemuran yang jatuh itu kembali muncul. Bayangan tangan Dilara yang nyaris bersentuhan dengannya.
“Ya Allah…” gumamnya dalam hati, beristighfar berulang kali.
Malam itu, gosip semakin melebar. Di asrama putri, Sisil kembali menggoda Dilara.
“Eh, Lara, kalau nanti jemuranmu jatuh lagi, panggil aku aja ya. Takutnya Gus Zizan lewat lagi.” Kata Mita.
Salsa menimpali, “Iya, atau sekalian aja taruh bajumu di depan perpustakaan. Biar lebih cepat dilihat Gus Zizan.”
“Sudahlah, kalian…” suara Dilara bergetar. “Jangan bercanda soal itu. Aku takut jadi fitnah.”
Namun justru karena ucapannya, tawa semakin keras. Hanya Dewi yang tetap diam, menatap Dilara dengan iba. Walaupun ikut tertawa juga.
Malam itu, setelah lampu asrama dimatikan, Dilara menangis pelan di balik selimutnya. Ia takut gosip ini sampai ke telinga pengasuh pondok atau ustadzah. Ia takut dinilai buruk, padahal ia sama sekali tak berniat apa-apa.
Di waktu yang sama, Gus Zizan juga sulit memejamkan mata. Ia keluar ke halaman rumah pengasuh, duduk di kursi kayu sambil menatap langit malam. Bintang-bintang bertaburan, angin malam membawa aroma bunga melati dari halaman pondok.
Hatinya gelisah. Bukan hanya karena gosip, tapi karena ia merasa semakin rapuh menghadapi perasaannya sendiri.
“Aku putra pengasuh… aku seharusnya jadi teladan…” gumamnya lirih. “Tapi kenapa hatiku goyah hanya karena seorang santri?”
Ia teringat wajah Dilara yang menunduk malu, tangan yang gemetar saat menerima kain dari tangannya, dan suaranya yang lirih mengucap terima kasih. Semua itu begitu sederhana, tapi mampu mengguncang keteguhan yang ia bangun bertahun-tahun.
Air matanya jatuh tanpa ia sadari.
Ia menengadah ke langit. “Ya Allah, jika ini ujian, beri aku kekuatan. Jika ini jalan-Mu, beri aku petunjuk. Aku tidak ingin mengecewakan ayahku, tidak ingin mencoreng nama pondok. Tapi aku juga tidak bisa terus berbohong pada diriku sendiri.”
Hari ketiga, gosip mencapai puncaknya. Seorang ustadzah akhirnya mendengar bisikan para santri. Meski tidak menegur langsung, ia sempat melirik Dilara dengan tatapan yang membuat gadis itu semakin tidak tenang.
Wulan yang peka segera menarik Dilara ke pojok halaman. “Lara, kamu harus kuat. Jangan tunjukkan wajah panik. Kalau kamu terlihat salah tingkah, gosip itu akan semakin dipercaya.”
Dilara mengangguk pelan, meski matanya berkaca-kaca. “Aku takut, Lan. Aku takut dianggap macam-macam.”
“Dengarkan aku,” Wulan menggenggam tangan sahabatnya. “Aku tahu siapa dirimu. Dan aku yakin, Gus Zizan juga tahu. Kalau pun gosip ini sampai ke beliau, aku yakin beliau bisa bedakan mana kebenaran, mana fitnah.”
Dilara terdiam. Kata-kata itu sedikit menenangkannya, tapi sekaligus membuat dadanya semakin sesak. Karena jauh di lubuk hati, ia pun merasakan sesuatu yang aneh—perasaan yang selama ini ia coba abaikan.
Sore harinya, takdir kembali mempertemukan mereka.
Saat Dilara mengambil air wudhu di sumur belakang, ember kecil yang dipakainya terlepas, jatuh menimbulkan suara keras. Beberapa santri menoleh, tapi yang lebih mengejutkan, Gus Zizan kebetulan lewat usai mengimami shalat asar di masjid dekat asrama putri.
Tatapan mereka kembali bertemu. Hanya sepersekian detik, tapi cukup membuat dada keduanya bergetar.
Dilara buru-buru meraih embernya, menunduk dalam-dalam. “Maaf, Gus…” suaranya nyaris tak terdengar.
Gus Zizan mengangguk singkat, lalu berjalan cepat tanpa berkata apa-apa. Tapi begitu jauh dari sana, ia merasakan lagi—debar yang tak pernah ia izinkan.
Malam itu, Gus Zizan akhirnya memberanikan diri menemui ayahnya, Kyai Zain, pengasuh pondok.
“Abi…” suaranya lirih ketika masuk ke ruang kerja.
Kyai Zainal menoleh dari balik kitab. Wajahnya teduh, sorot matanya bijak. “Ada apa, Nak? Wajahmu tampak gelisah.”
Gus Zizan menunduk, duduk di lantai. Tangannya meremas jubah putihnya sendiri. “Abi… bagaimana kalau… seorang ustadz jatuh hati pada santrinya?”
Kyai Zainal terdiam sesaat, lalu meletakkan kitabnya. “Pertanyaanmu berat, Zizan. Tapi jawabannya sederhana. Hati manusia itu bukan miliknya sendiri. Kadang ia bergetar pada sesuatu yang bahkan tak kita rencanakan.”
“Lalu… apakah itu dosa, Bi?”
“Yang menjadi dosa bukan rasa yang datang, tapi bagaimana kita menjaganya. Kalau rasa itu membuatmu lalai, itu yang salah. Tapi kalau kau jaga dengan benar, mungkin justru Allah sedang menyiapkan takdir.”
Mata Gus Zizan berkaca-kaca. “Abi… aku takut. Takut mengecewakan pondok. Takut menjadi fitnah.”
Kyai Zainal tersenyum lembut. “Zizan… justru karena kau takut, itu tanda Allah masih menjagamu. Jangan biarkan gosip mengendalikan hatimu. Kalau memang takdir, suatu saat akan jelas jalannya. Tugasmu sekarang hanya satu: jaga adab, jaga hatimu, dan jangan biarkan fitnah tumbuh.”
Kata-kata itu menancap dalam di hati Gus Zizan. Ia menangis dalam diam, merasa sedikit lega, tapi juga semakin sadar bahwa perasaan itu nyata—dan ia tidak bisa terus berpura-pura.
Di sisi lain, Dilara juga akhirnya tak tahan. Ia curhat panjang pada Wulan sebelum tidur.
“Lan… aku takut. Tapi… aku juga nggak bisa bohong. Sejak kejadian jemuran itu, aku… aku jadi sering kepikiran. Dan aku benci diriku sendiri karena merasa seperti ini.”
Wulan menatapnya dalam. “Lara… itu manusiawi. Jangan terlalu keras pada dirimu. Yang penting, kamu tetap jaga adabmu. Kalau Allah menakdirkan, tak ada yang bisa menolak. Tapi kalau tidak, percayalah, Allah pasti ganti dengan yang lebih baik.”
Dilara menutup wajah dengan tangan. Air matanya menetes. “Ya Allah… jangan biarkan aku jadi penyebab fitnah di pondok ini.”
Dan malam itu, dua hati kembali terjaga.
Gus Zizan—dengan sajadah basah air mata.
Dilara—dengan bantal basah tangis penyesalan.
Keduanya berdoa, pada Tuhan yang sama, dengan doa yang berbeda tapi sesungguhnya bermakna serupa: agar perasaan yang hadir tanpa permisi itu diberi jalan yang benar.
Namun satu hal yang keduanya tak bisa pungkiri: momen kecil di balik jemuran itu telah menyalakan api yang tidak mudah dipadamkan.