Suamiku punya dua identitas? Mana yang benar?
Demi adik yang sedang tertidur panjang dalam komanya, Ellena akhirnya memutuskan menerima ajakan menikah dari seorang pria yang paling dia benci. Namun, apakah lelaki itu memang sejahat itu? Seiring berjalannya waktu, Ellena mulai meragukan itu. Akan tetapi, kehadiran sosok Darren yang tak pernah Ellena ketahui keberadaannya selama ini, seketika membuat keraguan Ellena kembali menguap. Mana sosok asli yang sebenarnya dari suaminya? Bima atau Darren?
Selamat datang di dunia percintaan yang bertabur intrik perebutan harta dan tahta!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itha Sulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33
Bima terasa menerima pukulan telak di ulu hatinya. Fakta yang Ellena ungkapkan tadi benar-benar merubah pandangannya terhadap bocah tengil itu. Beberapa kali ia menjambak rambutnya sendiri demi merutuki kebodohannya yang selama ini sudah salah menduga tentang bocah tengil itu. Ada rasa bersalah yang tiba-tiba menyergap dadanya. Apa yang sudah dia lakukan ? Dia sudah menyeret gadis polos yang harus bersusah payah demi bisa bertahan hidup ke dalam peliknya kisah rumit kehidupannya. Tak tahan menyaksikan pemandangan menyakitkan di depannya, Bima memilih pergi dan menuju ke club malam Redi.
"Woi, bro ! Ada angin apa nih ?". Sapa Redi dengan riangnya. Ia ikut bergabung di meja bartender bersama Bima.
"Wisssss... Kayaknya kompakan nih ama si Andra !." Celetuk Arga yang baru saja bergabung.
"Maksud lo ?". Tanya Bima heran.
"Kemarin Andra yang ke sini. Sekarang lo yang muncul."
"Andra ke sini ? Ngapain ?".
"Curhat masalah bini lo !". Seketika, Redi menyikut perut Arga agar lelaki bodoh satu itu tidak membocorkan hal yang bisa Membuat perpecahan dua sepupu sahabat mereka. Namun, sepertinya terlambat. Bima sudah terlanjur mendengarnya dan segera berbalik menatap tajam Arga yang berdiri di belakangnya.
"Monyet itu bilang apa ?". Tanya Bima dingin. Bahkan, bulu kuduk Arga sudah mulai meremang sekarang. Mulut embernya benar-benar membawa bencana.
"Hmmmm itu.....".
"Itu apa ?". Bentak Bima yang membuat Arga tersentak dengan wajah yang memucat. Arga hanya bisa meneguk salivanya kasar.
"Santai, bro ! Jangan emosi gini. Lo kenapa sih ?". Redi memegangi bahu Bima dan menuntun pria itu untuk duduk kembali.
Bima tidak menggubris pertanyaan Redi dan lebih memilih kembali memesan segelas vodka martini kepada bartender di hadapannya.
"Bim ? Lo kenapa sih ?". Redi kembali bertanya.
"Andra nembak Ellena tadi siang." Jawab Bima sedikit kesal. Ia kembali menyesap vodka martini pesanannya sesaat setelah bartender menaruh minuman itu di hadapannya.
"What ? Udah gila tuh bocah ?". Tanya Redi tak percaya.
Bima tidak menjawab. Ia lebih memilih menghabiskan minumannya dengan sekali tenggak lalu kembali memesan.
"Bim ? Lo cemburu ?". Sahut Arga hati-hati. Kali ini ia tidak mau kena semprot lagi.
"Cemburu ? yang bener aja ?".
"Terus lo kenapa kayak gini ?".
"Gue cuma gak mau kelakuan bodoh mereka bikin gue rugi suatu hari nanti. Gak lebih."
"Saran gue, jangan mainin Ellena terlalu lama, Bim ! Kasihan anak orang." Kali ini Redi terdengar jauh lebih serius ketimbang sikapnya yang biasa.
"Maksud kalian apaan sih ?". Tanya Bima kesal.
"Kita berdua tahu. Andra juga tahu ,kalau di hati lo masih ada dia. Kita cuma gak mau lo nyakitin gadis polos kayak Ellena."
Bima memejamkan matanya sebentar kemudian memicing ke arah Redi. "Gue ke sini buat Happy, bukan buat dengerin omong kosong kalian." Suara rendah Bima terdengar menakutkan bahkan bagi seorang Redi sekali pun. Ia bahkan tidak berkutik saat Bima memilih pergi dan melenggang keluar entah ingin kemana.
*
*
*
"Halo, sayang !". Suara perempuan terdengar sensual ketika melihat siapa yang bertamu di rumahnya. Bagi perempuan itu, dirinya sedang ketiban durian runtuh saat menemukan sosok Bima Dirgantara di depan pintu apartemennya.
Tanpa di suruh masuk, Bima sudah melenggang menuju ruang tamu dan duduk di sana. Wanita pemilik apartemen itu menyusul dan ikut bergabung bersama Bima di ruang tamu. Tubuhnya kini sudah mendekap tubuh atletis Bima dan menggambar pola abstrak dengan telunjuknya di dada bidang Bima yang masih terbalut kemeja kerja.
"Tumben kamu ke sini ?."
Bima menatap wajah wanita itu. Tatapan tajam yang mengintimidasi, namun terlihat mempesona bagi setiap wanita yang menatapnya.
"Hibur saya malam ini."
"As you wish, baby." Ucap perempuan itu dengan senang hati. Dirinya kemudian berpindah dan duduk di pangkuan Bima sambil mencium bibir pria itu rakus. Bibir yang di idam-idamkan oleh banyak wanita di luar sana. Dan lihatlah siapa yang sedang menikmatinya, tentu saja dia.
Ciuman itu sudah berpindah ke leher Bima. Perempuan itu sudah mulai melepas 3 kancing teratas kemeja Bima. Sementara Bima hanya menutup mata berusaha menikmati permainan perempuan yang sedang duduk di atasnya sekarang. Namun, Bima tidak bisa merasakan apa-apa. Dirinya tidak bereaksi. Justru kepalanya malah memikirkan wajah menangis Ellena yang di lihatnya tadi. Bahkan, setelah 5 gelas vodka martini yang di minumnya di club tidak cukup untuk membuat dia merasakan gairah sama sekali.
"Sandara, cukup !". Ucap Bima kemudian. Ia menyerah. Cara ini sama sekali tidak membuat Ellena menghilang dari kepalanya. Rasa bersalah jauh lebih besar ketimbang hal lain yang sedang ia lakukan sekarang.
Namun, perempuan yang ternyata Sandara itu tidak berhenti. Justru jauh lebih rakus menghisap leher Bima hingga memerah. Ucapan Bima sama sekali tidak di gubris nya.
"Aku bilang cukup, Sandara !". Bentak Bima yang sudah mendorong jauh tubuh Sandara hingga tersungkur ke lantai.
"Kamu kenapa, Bim ? Gak biasanya kamu kayak gini !". Tanya Sandara shock. Di tolak Bima membuat wanita itu seakan tak percaya.
"Aku mau pergi sekarang." Kata Bima seraya merapikan kembali kancing kemejanya.
"Kita baru aja ketemu sayang, kok kamu malah mau pergi lagi sih ?". Sandara berusaha menahan tangan Bima agar Bima tidak meninggalkannya.
Bima memejamkan mata. Muak dengan perlakuan wanita seperti Sandara. Cepat-cepat Bima menghempaskan tangan Sandara dan meninggalkan wanita itu yang masih terduduk di lantai.
"I don't care, ***** !".
Sandara menggeram marah ketika tubuh Bima menghilang di balik pintu. Wanita itu benar-benar merasa sedang di permainkan oleh lelaki muda kaya raya itu. Apa segitu tidak pantasnya dia bersanding dengan Bima setelah semua yang sudah ia berikan kepada lelaki itu ?
Suara tepuk tangan menyadarkan Sandara dari lamunannya. Seorang perempuan cantik baru saja masuk selang beberapa saat setelah Bima keluar. Wajah Sandara semakin merah padam melihat siapa yang datang. Karina, sahabat dekatnya.
"Bagaimana rasanya di campakkan Bima Dirgantara sahabatku sayang ?". Tanya Karina sambil berjalan anggun mendekati Sandara yang masih bersimpuh di lantai.
Sandara mendongak menatap Karina yang berdiri di depannya. Rasa marah bercampur malu menggerogoti perasaannya saat ini. Karina datang di saat yang benar-benar tidak tepat.
"Bukan urusanmu, Kar !". Jawab Sandara. Ia kemudian bangkit dan memperbaiki tali dressnya yang sempat turun.
Karina mendengus pelan yang lebih terdengar seperti tawa sinis merendahkan. Wanita cantik itu bersedekap lalu memandang Sandara dengan tatapan menilai.
"Kau tahu, Sandara ? Bima tidak akan pernah jatuh cinta dengan wanita sepertimu."
Sandara berdecih sebal. Matanya menatap lekat manik hitam milik Karina. "Dan menurutmu kau pantas ?".
Karina berbalik dan berjalan menuju ke rak berisi banyak hiasan di sudut ruang tamu Sandara. Dia meraih sebuah patung kecil seukuran telunjuk jari disana. Karina memperhatikan bentuknya dan meletakkannya kembali. Lalu kembali melihat-lihat hiasan yang lain.
"Aku tidak bilang kalau aku lebih pantas, Sandara. Aku dan Bima sudah selesai sejak kau menghasutku untuk melawan pria itu." Kata Karina. Dirinya sudah kembali berjalan mendekati Sandara setelah ia puas melihat-lihat.
Sandara mendelik tajam ke arah Karina. Ia tahu, Karina sedang merencanakan pembalasan atas kehancurannya yang merupakan hasutan dari dirinya. Ya, Sandara lah yang mempengaruhi Karina untuk melawan balik Bima dengan jaminan jika Karina terpojok, dia akan membantu Karina. Tapi nyatanya, justru dia malah berdiri di pihak Bima dan mengambil kesempatan untuk dekat denga pria yang di cintai sahabatnya sendiri.
"Jadi apa maumu ?". Tanya Sandara.
"Tidak ada. Aku hanya ingin melihat kau hancur sama sepertiku."
"Cih, jangan mimpi Kar ! Itu tidak akan pernah terjadi." Ucap Sandara meremehkan. "Kau sudah kehilangan kepercayaan Bima sekarang. Bahkan, karirmu saja sudah hancur. Kau tidak punya apapun sekarang untuk menjatuhkan aku, Karina."
Karina hanya tersenyum sinis. "Oh ya ? Mungkin aku memang sudah tidak bisa dekat dengan Bima. Bahkan, aku juga sudah tidak mengharapkan semua itu. Siapa juga yang mau dekat dengan iblis seperti dia ? Tapi aku masih memegang kartu As milikmu, sahabat."
Sandara terperanjat. Wajahnya mulai pias. "Apa maksudmu ?".
"Kau akan lihat nanti. Untuk sekarang, nikmati saja kebersamaanmu bersama Bima. Tapi tunggu saja ! Kau juga akan bernasib sama sepertiku."