Tujuh belas tahun lalu, satu perjanjian berdarah mengikat dua keluarga dalam kutukan. Nadira dan Fellisya menandatangani kontrak dengan darahnya sendiri, dan sejak itu, kebahagiaan jadi hal yang mustahil diwariskan.
Kini, Keandra dan Kallista tumbuh dengan luka yang mereka tak pahami. Namun saat rahasia lama terkuak, mereka sadar… bukan cinta yang mengikat keluarga mereka, melainkan dosa yang belum ditebus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lautan Ungu_07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 03 Mereka Juga Anak Kamu
Dua hari setelah kecelakaan, Alka sudah di perbolehkan pulang. Sore itu, Alka tengah bersiap untuk meninggalkan rumah sakit. Ia duduk di tepi ranjang yang sudah hampir rapi.
Ia menatap kosong ke luar jendela, rambutnya acak-acakan. Pintu terbuka pelan, membuat Alka menoleh.
"Alka," panggil Edgar. Ia berjalan mendekat.
"Iya, Om. Gimana kondisi, Alesha sekarang?" tanya Alka.
"Alesha sudah lebih baik dari kemarin. Kedepannya, tinggal fokus jalanin terapi." jawab Edgar, bibirnya tersenyum tipis.
Edgar menarik napas dalam, lalu duduk di samping Alka. "Ka, masalah kecelakaan ini sudah saya bicarakan dan di selesaikan dengan Bu Fellisya dan Nadira. Saya cuma mau minta, kamu tolong bantu jaga, Alesha di sekolah."
"Tapi... apa, Alesha mau?" tanya Alka, tatapannya ragu.
Setelah pemakaman Ibunya Alesha dua hari lalu. Alesha benar-benar tak mau bertemu dengan, Alka. Karena dia masih beranggapan jika ini memang kesalahan Alka.
"Saya sudah bujuk dia pelan-pelan. Dia mau kok," Edgar mengelus pelan punggung Alka.
"Kalau dia mau, saya nggak keberatan, Om. Mungkin, itu sebagai bentuk tanggung jawab saya jaga Alesha, dan nemenin dia terapi." ada perasaan lega di hati Alka.
"Sebenarnya, Alesha udah punya pacar di sekolahnya. Dia ketua osis, tapi saya takut kalau dia lagi sibuk, Alesha nggak ada yang jagain." jelas Edgar, ia bangkit dari duduknya.
"Iya, Om. Saya paham kok," Alka mengangguk kecil.
"Yaudah, kalau gitu. Saya pamit pergi ya, Ka. Kamu hati-hati." Edgar menepuk pundak Alka, sebelum ia benar-benar pergi.
Tak lama setelah, Edgar keluar. Renata kini masuk. Menghampiri Alka yang masih duduk.
"Ayok pulang, Ka." Renata meraih lengan Alka, membantunya bangun.
Alka hanya menoleh, tak menjawab apa-apa. Mereka berdua berjalan melewati lorong rumah sakit menuju parkiran. Bau antiseptik dan obat-obatan masih menempel di pakaian Alka.
Mobil putih Renata melaju perlahan. Meninggalkan rumah sakit, di jalanan sore hari.
Di dalam mobil, Alka menatap kosong jalanan. Tapi ingatannya terus memutar kembali kejadian malam saat kecelakaan itu.
Renata yang mengemudi, sesekali menoleh. "Kenapa, Ka?" tanyanya.
Alka menghela napas dalam, ia menunduk. "Masih kepikiran malam itu, Bu. Waktu itu Alka bener-bener masih sadar. Saat lampu merah, Alka juga berhenti, nggak ngerasa lalai dalam berkendara."
"Kamu yakin, Ka? Nggak lagi ngantuk?" tanya Renata.
Alka menggeleng cepat. "Nggak, Bu. Alka emang ngantuk, tapi Alka masih sadar. Justru... Alka yang ngerasa di tabrak, bukan Alka yang nabrak."
Renata tak menjawab. Ia tahu Alka memang tak pernah lalai, dia juga jujur. "Ibu nggak tahu pasti, Ka. Malam itu, yang duluan datang ke rumah sakit, Mama sama Oma."
"Apa ini ulah, Mama?... Dari dulu, Mama kan, selalu ingin lihat aku menderita." tebak Alka ngasal.
Renata tak menjawab, ia hanya menoleh sebentar. Apa yang Alka katakan memang benar, Fellisya ingin sekali merasa puas, jika Alka atau Lista sedang ada masalah.
Keheningan kembali menggantung dalam mobil. Tak ada lagi yang bersuara, hanya hembusan napas berat dari Alka, dan suara samar kendaraan di jalanan.
Mobil putih itu, kini masuk ke halaman rumah mewah. Di luar, malam sudah tiba. Alka dan Renata kini turun, mereka melangkah masuk ke dalam rumah.
Malam itu nampaknya sama seperti malam pada biasanya. Tak ada yang membuat nyaman di rumah besar itu. Hanya ada sunyi dalam banyak orang, dan perdebatan kecil antara Renata dan Fellisya.
Dalam sekejap, malam telah berlalu. Pagi ini, penghuni rumah itu sudah kumpul di meja makan panjang.
Suara denting piring dan sendok, aroma bumbu dan makanan memenuhi ruangan. Dari arah tangga, Alka turun perlahan. Kakinya masih terasa nyeri.
"Cucu Oma, gimana kondisinya sekarang?" Nadira langsung menyambutnya hangat.
Berbeda dengan Kallista, yang tak pernah di sambut. Atau bahkan di sebut sebagai cucu Oma. Ia berada di belakang Alka pun, nampaknya seperti tak ada.
"Lista, hari ini kamu berangkat bareng, Alka, ya." kata Renata, saat Lista duduk di sebelahnya.
"Hmm," jawab Lista.
Fellisya menatapnya tajam. "Jawab yang bener, nggak sopan banget." nada suaranya tinggi.
Lista tak menjawab, ia hanya meliriknya sekilas. Lalu mengambil satu mangkok soto yang masih berasap.
Kallista Alkaezar, atau sering di panggil, Lista. Wajahnya memang mirip dengan Alka, tapi tidak dengan kepribadiannya. Lista lebih dingin, tak banyak omong, tapi orang-orang sering menyalah artikan. Menyebutkan gadis jutek.
Jelas berbeda dengan, Alka. Dia cenderung banyak omong. Kalau kena sindir Fellisya, dia pasti lawan.
"Jadi mulai sekarang kamu sekolah di tempat baru?" suara Fellisya sinis.
"Iya." jawab Alka.
"Cucu kesayangan, Oma. Dari sekolah elit, ke sekolah biasa. Gimana rasanya turun kasta?" ucap Fellisya lagi, nadanya masih sama. Tapi kali ini tanpa menatap.
Alka menarik napas dalam. "Nggak semua orang belajar di tempat mewah buat kelihatan hebat."
Fellisya menyeringai. "Tapi gagal tetap gagal, Alka. Mau sekolah dimana pun."
Alka menaruh sendoknya. "Nona Fellisya yang terhormat. Kalau keluarga cuma bangga karena nama dan uang, saya tidak masalah kalau di bilang gagal." ia berdiri, lalu meninggalkan meja.
"Felli, kamu jangan terus seperti itu ke anak-anak." kata Nadira, yang akhirnya bersuara.
"Lagian kamu kenapa, sih... sehari aja, nggak usah nyinggung anak-anak, nggak bisa, ya?" sahut Renata dengan nada kesal.
Fellisya menatapnya tak suka. "Suka-suka saya dong, anda siapanya, kok ngatur-ngatur."
"Saya memang cuma sekedar Ibu sambungnya. Tapi saya, tak pernah sedikitpun nyinggung perasaan anak-anak." jawab Renata, membalas tatapan Fellisya. "Lagian... kamu yang jelas-jelas sebagai, Ibu kandungnya, tapi tak pernah anggak mereka ada."
Melihat suasana semakin memanas, Lista segera pergi, tanpa berpamitan kepada siapapun.
"Jaga mulutnya, sialan. Perempuan gila." bentak Fellisya.
"STOP!" Varel menggebrak meja. "Kamu yang gila, Fellisya." Varel mengarahkan telunjuknya ke wajah Fellisya.
"Kamu sama gilanya, dia anak kamu juga, kan? Tapi apa, nggak pernah kamu anggap ada juga?" jawab Fellisya, dia bangkit dari duduknya. Lalu pergi meninggalkan mereka.
Tak lama, Nadira juga kini pergi. Menyisakan Varel dan Renata di meja makan.
"Capek, aku. Sampai kapan harus kayak gini." Renata bangkit dari duduknya. Tapi Varel segera menahan.
"Tiga tahun lagi, kontrak aku sama dia selesai." kata Varel.
"Lagian kamu, Mas. Nggak bisa apa terima anak-anak. Mereka anak kamu loh, kalau kamu nggak bisa nunjukin kasih sayang kamu. Setidaknya, kamu jangan biarkan, Fellisya terus nyinggung perasaan anak-anak." Renata pergi tanpa menunggu jawaban dari Varel.
Ruang makan kembali hening. Hanya napas berat dari Varel yang masih duduk sendirian disana. Sudah enam belas tahun, tapi ruang makan itu tak pernah menjadi saksi perbincangan yang hangat.
Setiap harinya hanya ada perdebatan dari Fellisya, Nadira, Renata dan bahkan, sekarang di tambah Alka yang sudah berani melawan.