“Sah!”
Di hadapan pemuka agama dan sekumpulan warga desa, Alan dan Tara terdiam kaku. Tak ada sedikitpun senyum di wajah meraka, hanya kesunyian yang terasa menyesakkan di antara bisik-bisik warga.
Tara menunduk dalam, jemarinya menggenggam ujung selendang putih yang menjuntai panjang dari kepalanya erat-erat. Ia bahkan belum benar-benar memahami apa yang barusaja terjadi, bahwa dalam hitungan menit hidupnya berubah. Dari Tara yang tak sampai satu jam lalu masih berstatus single, kini telah berubah menjadi istri seseorang yang bahkan baru ia ketahui namanya kemarin hari.
Sementara di sampingnya, Alan yang barusaja mengucapkan kalimat penerimaan atas pernikahan itu tampak memejamkan mata. Baginya ini terlalu cepat, terlalu mendadak. Ia tak pernah membayangkan akan terikat dalam pernikahan seperti ini, apalagi dengan gadis yang bahkan belum genap ia kenal dalam sehari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rienss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kau Bisa Berfikir Apapun. Sesukamu
“Kenapa kamu bilang seperti itu tadi? Apa maumu sebenarnya?”
Tara langsung melontarkan pertanyaan begitu ia dan Alan berada di dalam mobil. Ia bahkan tak lagi sungkan untuk tidak memanggil Alan ‘pak’ atau ‘tuan’ seperti biasanya.
Mereka memutuskan untuk pulang. Alan yang sebelumnya terlihat kesakitan, kini sudah tampak lebih tenang, meskipun sesekali masih terlihat mengusap perutnya dengan gerakan dramatis.
“Ya, Apa salahnya?” jawab pria itu santai, melirik sekilas pada Tara yang masih menatapnya dengan kesal. “Kenyataannya memang kita suami istri, kan?”
Tara terdiam sejenak, tak tahu harus merespon kata-kata Alan yang tiba-tiba saja mengungkap status mereka yang selama ini disembunyikan. “Ya tapi...”
“Sudahlah, Tara,” potong Alan cepat. Suaranya terputus karena rasa sakit yang mengganggunya. Satu tangannya kembali memijat perutnya yang kembali nyeri.
Tara yang melihat itu menghela napas. “Apa masih terasa sakit?” tanyanya yang akhirnya justru merasa iba.
“Sedikit,” jawab Alan, meski ekspresinya tidak meyakinkan.
“Makanya jangan sok-sokan makan pedas. Sudah tahu punya masalah lambung.” Gadis itu mengomel dengan nada kesal. “Kalau seperti ini kan jadi repot.”
Alan tidak menjawab. Dada pria itu justru menghangat dengan perhatian Tara, meskipun ya... harus mendengar omelannya.
Tara melirik arloji di tangannya. “Kita ke dokter dulu saja, daripada nanti bertambah parah.”
Alan mengangguk pelan, ia lalu mengurangi laju kecepatan mobilnya sesaat sebelum berbelok di perempatan.
“Obat yang dulu dokter desa itu berikan... apa namanya?” tanya Alan menoleh sebentar pada Tara. ”Nanti biar aku minta pada dokternya?”
Tara terdiam sejenak, mencoba mengingat-ingat. Ia lalu membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah buku kecil. “Sepertinya dulu kucatat di sini,” gumamnya lirih sambil membolak-balik halaman buku dengan hati-hati.
Alan yang memperhatikan merasa terkesan dengan kebiasaan Tara yang teliti, bahkan mencatat nama obat untuknya.
“Ini dia,” ucap Tara yang akhirnya menemukan catatan yang ia cari. Ia lalu menunjukkan catatan itu pada Alan.
Alan mengangguk. “Baiklah, nanti kita tanya ke dokternya.”
Tak berapa lama kemudian, mobil Alan berhenti di halaman sebuah klinik. Pria itu segera membuka sabuk pengamannya. “Ayo turun,” katanya santai.
Tapi Tara tidak bergerak.
Alan yang melihat itu pun segera bertanya, “Ada apa?”
“Mmm... sebaiknya kamu sendiri saja,” jawab Tara yang tak berencana untuk ikut turun. “Aku menunggu di sini.”
Alan menghempas punggungnya ke kursi, merasa agak kesal.
Beberapa saat berlalu dalam diam sebelum ia menarik kembali sabuk pengamannya “Kalau begitu kita pulang saja. Tidak perlu periksa.”
Tara menatap Alan dengan frustasi. “Tolong mengertilah, Pak Alan. Ini demi kebaikanmu juga.”
Alan tak menjawab, ia justru menyalakan mesin mobil. “Kebaikan apa maksudmu?”
Mobil akhirnya mundur perlahan, Alan menatap ke arah spion samping.
Tara mengangkat kedua tangannya. “Oke, berhenti!” ucap gadis itu berusaha menahan emosi. “Aku... akan ikut turun,” putusnya pada akhirnya.
Alan tersenyum getir. “Kau tidak perlu kasihan padaku. Kita pulang sekarang.”
Tara tiak bisa menahan diri. Ia refleks meraih lengan Alan dan mencengkramnya dengan kuat. “Berhenti kubilang!” ucapnya tegas.
Alan menatap cekalan itu, dan Tara yang baru menyadari tindakannya buru-buru menarik kembali tangannya. Ada canggung yang kemudian menyelimuti suasana di antara mereka.
“Jangan keras kepala,” ujar Tara mengalihkan tatapan ke jalan di depannya.
Alan yang memperhatikan sikap gadis itu kembali menarik sudut bibirnya, meskipun hanya sedikit. Tanpa berkata apa-apa lagi, Ia memarkirkan kembali mobilnya di tempat semula.
Tara dengan malas melepas sabuk pengamannya, sesekali masih terdengar gadis itu mendumel kesal kepada Alan. Namun yang diomeli hanya diam dan tetap terlihat begitu tenang.
Tara keluar dari mobil itu lebih dulu, disusul kemudian oleh Alan yang sempat tersenyum samar karena berhasil membuat Tara mengikuti keinginannya.
“Sayang, tunggu!” panggil Alan meraih lengan Tara yang telah berjalan setengah langkah di depannya.
Tara spontan berhenti dan menoleh begitu mendengar panggilan ‘sayang’ dari pria itu. Alanpun otomatis ikut berhenti mendadak.
“Apa kamu bilang tadi? Sayang?”
“Tentu saja,” jawab Alan santai. Ia dengan berani meraih tangan Tara dan menggandengnya. “Setidaknya bersikaplah seperti istri yang baik sekarang. Suamimu sedang sakit. Jadi jangan galak.”
Tara meronta kecil, berusaha melepaskan tangannya, tapi Alan menggenggamnya dengan kuat. “Pak Alan, kamu gila apa?!” Kesalnya sembari mendelik sebal pada Alan.
Tapi Alan tak perduli. Setibanya di pintu masuk klinik pria itu justru kembali mengeluh sakit dean satu tangannya memegangi perut.
“Tidak usah pura-pura,” gumam Tara seolah sadar bahwa itu hanya akal bulus Alan.
“Siapa yang pura-pura sih, Ra. Ini beneran sakit,” sahut pria itu berbisik.
Begitu tiba di depan meja resepsionis, Alan mengeluarkan dompetnya dari saku celana lalu menyodorkannya pada Tara.
“Ini, kamu saja yang daftar,” ujarnya sambil meringis kesakitan.
Tara memutar bola mata meliriknya. “Apa benar-benar sakit?” tanyanya yang masih belum yakin pada Alan.
“Aww...” ringis Alan menekan perutnya kembali. “kamu pikir aku bercanda.”
Tara menghela napas, mencoba percaya saja. Ia lalu mengambil dompet Alan dan mulai membukanya.
Ia sempat terpaku saat melihat foto Alan bersama seorang wanita disana, wanita yang tadi siang datang ke kantor Alan. Keduanya berfoto dengan background menara Eifel, mereka tampak bahagia.
Alan yang menyadari hal itu mengumpat dalam hati, “Sial! Kenapa bisa lupa!”
Ia dengan cepat menyambar dompet itu dari tangan Tara, “Biar aku saja,” ujarnya gugup.
Tara memperhatikan itu, dia hanya diam.
Setelah proses registrasi selesai, Alan mengajak Tara ke ruang tunggu pasien, duduk bersama beberapa pasien lain yang mengantri.
Keduanya saling diam. Sesekali Alan melirik ke arah Tara, mencari sesuatu di wajah gadis itu, mungkin kesal atau amarah karena cemburu.
Tapi Alan tidak menemukan apa-apa. Tara terlihat begitu tenang.
Ia mencoba mengganggu gadis itu, merebahkan kepala di pundaknya dan bahkan menyatukan tangan mereka di pangkuan.
Tara sempat menolak, mengibaskan tangan Alan dan mendorong kepala pria itu menjauh.
Tapi gadis itu akhirnya pasrah ketika beberapa orang di sekitar mereka melirik bahkan sempat berbisik sambil senyum-senyum.
“Dasar pria jelek,” Tara bergumam saking kesalnya tak ada yang bisa ia lakukan
“Jelek begini juga suamimu,” balas Alan lirih, membuat Tara semakin jengkel.
Mereka cukup lama menunggu, hingga saat tiba gilirannya, Alan masuk sambil sedikit menyeret Tara karena lagi-lagi gadis itu mogok tidak mau menemaninya.
Tanpa harus mengetuk pintu terlebih dahulu Alan masuk begitu saja ke ruangan itu. Ia sudah mengenal baik dokter yang ada di dalam sana. Pintu ruang pemeriksaan pun terbuka, Alan memberi isyarat pada Tara untuk masuk terlebih dahulu, dan gadis itupun hanya menurut.
Dokter langsung menatap keduanya. “Alan, kau...“
“Hmm...,” jawab pria itu singkat.
“Gadis ini...?” dokter pria seumuran Alan itu menaikkan sebelah alisnya, menatap kembali kepada Tara.
“Anda pasti tidak akan percaya jika saya mengatakan bahwa saya itu istrinya Tuan ini bukan, dokter?” Jawab Tara mendahului Alan, seolah tahu kecurigaan yang tersirat di mata dokter itu. “Jadi tolong jangan berpikir macam-macam. Saya hanya bawahan Tuan Alan di kantor yang kebetulan melihat beliau sakit perut. Jadi saya hanya menemaninya periksa, takut terjadi apa-apa di jalan,” lanjut Tara panjang lebar menjelaskan.
Dokter itu tersenyum, sementara Alan hanya memperhatikan dan mendengarkan celotehan gadis itu sambil bersedekap tangan di depan dada.
“Baiklah... baiklah, Nona. Saya tahu itu,” ujar sang dokter.
Perhatiannya lalu kembali pada Alan. “Jadi Tuan CEO, Apa keluhanmu kali ini? Benarkah yang dikatakan nona cantik ini kalau kau sakit perut.”
Alan sempat menatap tajam pada dokter itu karena mengatakan Tara cantik, sebelum akhirnya menjawab, “Ya, aku sakit perut.”
“Baiklah, kalau begitu berbaringlah di sana, biar aku periksa.”
Alan menurut, ia berjalan ke arah ranjang pemeriksaan tak jauh dari tempatnya berdiri.
Saat dokter tengah memeriksa Alan, ponsel Tara yang tersimpan di dalam tas berdering. Gadis itu pun segera mengambilnya.
Sebuah panggilan dari Fifi.
Alan yang sedang ditanyai dokter yang memeriksanaya menoleh pada Tara. Spontan pria itupun bertanya, “Siapa yang menelpon?”
Jelas sekali kecurigaan di wajah pria itu pada Tara.
“Teman kost-an saya, Pak,” jawab Tara tenang. “Saya permisi keluar dulu.”
Tanpa menunggu jawaban, Tara keluar dari ruangan itu, meninggalkan Alan yang tak puas dengan jawabannya. Pria itu terus menatap Tara dengan wajah tegang hingga tubuh Tara menghilang di balik pintu yang kembali tertutup.
“Entah kenapa sikapmu membuatku mulai curiga padamu, Al?” celetuk sang dokter. Tangannya masih menekan beberapa titik di perut Alan.
“Kau bisa berpikir apapun. Sesukamu,” sahut Alan kesal.
Dokter itupun tertawa. “Tapi harus aku akui, Al. Gadis itu... sangat menarik.”
Alan kembali menatap dokter itu tajam, seolah dari matanya tersirat pesan, “jangan coba-coba berkomentar seperti itu.”
Saat akhirnya pemeriksaan telah selesai, Alan pun bergegas meninggalkan ruang pemeriksaan tersebut.
Namun ketika dirinya barusaja membuka pintu, tatapannya langsung bertemu dengan tatapan seseorang yang dikenalinya.
Alex.
Sepupu Lira.