Katanya, cinta tak pernah datang pada waktu yang tepat.
Aku percaya itu — sejak hari pertama aku menyadari bahwa aku jatuh cinta pada suami kakakku sendiri.
Raka bukan tipe pria yang mudah ditebak. Tatapannya tenang, suaranya dalam, tapi ada sesuatu di sana… sesuatu yang membuatku ingin tahu lebih banyak, meski aku tahu itu berbahaya.
Di rumah yang sama, kami berpura-pura tak saling peduli. Tapi setiap kebetulan kecil terasa seperti takdir yang mempermainkan kami.
Ketika jarak semakin dekat, dan rahasia semakin sulit disembunyikan, aku mulai bertanya-tanya — apakah cinta ini kutukan, atau justru satu-satunya hal yang membuatku hidup?
Karena terkadang, yang paling sulit bukanlah menahan diri…
Tapi menahan perasaan yang seharusnya tidak pernah ada.menahan ahhhh oh yang itu,berdenyut ketika berada didekatnya.rasanya gejolak didada tak terbendung lagi,ingin mencurah segala keinginan dihati.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adrina salsabila Alkhadafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32: Kaca Jendela dan Pelarian Dalam Diam
Raka telah menetap di kamar barunya, yang persis berseberangan dengan kamar Luna. Ia membuka laptop-nya, berpura-pura bekerja, tetapi fokusnya sepenuhnya pada pintu kayu yang memisahkan mereka. Ia tidak terburu-buru. Kesenangan terletak pada kontrol.
Ia tahu Luna ada di dalam. Bau cat air yang samar-samar dan bau lumpur tanah liat yang khas, meskipun tertutup oleh udara pegunungan yang segar, masih bisa ia deteksi. Ia tahu Luna sedang berjuang dengan kanvasnya, berjuang dengan kebebasannya.
Aku akan memberinya waktu hingga sore. Biarkan dia merasakan tekanan. Biarkan dia menyadari bahwa di mana pun ia pergi, aku akan selalu menjadi bayangannya. Dia harus datang kepadaku, bukan aku yang harus mengetuk pintunya. Itu adalah satu-satunya cara untuk memulihkan kontrol.
Raka menghabiskan tiga jam berikutnya dengan mengamati, menunggu, dan menyusun strategi untuk konfrontasi mereka. Ia membayangkan bagaimana wajah Luna akan terlihat saat melihatnya—campuran antara ketakutan, amarah, dan yang paling ia inginkan, kebutuhan yang tidak terbantahkan.
Luna sedang duduk di ambang jendela, mencoba berkonsentrasi pada gunung yang diselimuti kabut pagi. Ia menyadari kegagalannya: ia tidak bisa melukis. Pemandangan Emerald Green itu menuntut ketulusan yang kini tidak ia miliki.
Ia bangkit, meregangkan tubuh. Ia perlu udara segar dan mungkin kopi dari kedai di bawah. Saat ia hendak berbalik, matanya menangkap sesuatu di pantulan kaca jendela di depannya.
Bukan pantulan dirinya, melainkan pantulan dari kamar di seberang—kamar yang baru terisi pagi ini. Ia melihat, samar-samar, melalui tirai tipis kamar seberang, siluet seorang pria yang duduk di meja, dengan laptop terbuka. .
Siluet itu terasa sangat akrab. Cara duduknya yang tegak, kemeja yang rapi meskipun sedang berlibur, dan fokus yang dingin.
Jantung Luna langsung membeku. Bukan karena terkejut, melainkan karena ketakutan yang instan. Ia tidak perlu melihat wajahnya. Ia tahu. Itu Raka.
Raka tidak hanya mencarinya; Raka telah mengepungnya. Ia berada tepat di seberang kamarnya, mengawasinya, membiarkannya merasa aman sebelum ia melancarkan serangan.
Luna mundur perlahan, tanpa suara. Ia mematikan dirinya secara emosional, mengubah dirinya kembali menjadi strategis—persis seperti yang diajarkan Raka. Ia tidak boleh membuat suara. Ia tidak boleh menunjukkan bahwa ia tahu.
Raka sedang menunggu reaksinya.
Luna bergerak dalam keheningan total. Ia tidak mengambil kunci kamar yang ia letakkan di meja; itu bisa membuat suara.
Ia membuka ranselnya. Ia hanya mengambil dompet kecil, ponsel lama yang ia bawa (yang ia matikan saat melarikan diri), dan hoodie-nya. Lukisan-lukisannya? Terlalu besar dan berat. Membawanya akan menimbulkan suara. Ia harus meninggalkannya, umpan terakhirnya.
Luna menyelinap ke kamar mandi. Ia memutar keran air, suara air mengalir dimaksudkan untuk memberi Raka alibi—Luna sedang mandi, dia aman.
Di balik suara gemericik air, Luna membuka jendela kamar mandi—jendela kecil yang menghadap ke atap dapur guest house. Risiko patah tulang jauh lebih kecil daripada risiko kembali ke Unit 903.
Ia memanjat keluar, tubuhnya meluncur di atas atap seng yang dingin. Ia menggunakan pengalamannya di gym dan yoga, bergerak dengan presisi, tidak ada suara, tidak ada getaran. Ia berpegangan pada pipa pembuangan air, meluncur perlahan ke tanah di sisi dapur.
Begitu kakinya menyentuh tanah, ia berlari ke arah gerbang belakang, menjauh dari lobi utama dan kamar Raka.
Sore hari, Raka merasa sudah waktunya. Ia melihat cahaya di bawah pintu Luna, mendengar musik kecil diputar—Luna sedang merilekskan diri. Sempurna.
Raka berjalan ke pintu Luna. Ia mengetuk, suaranya tenang dan penuh otoritas.
"Luna. Aku tahu kamu ada di dalam. Kita perlu bicara. Buka pintunya."
Tidak ada jawaban. Raka tersenyum tipis. Bermain keras.
"Aku akan memberimu sepuluh menit. Setelah itu, aku akan mengatakan pada Ibu Santi bahwa aku adalah suamimu, dan kamu membutuhkan bantuanku karena kamu depresi," Raka mengancam, suaranya cukup keras agar bisa didengar.
Raka bersandar di koridor, menunggu. Lima menit berlalu. Sepuluh menit berlalu. Hanya ada keheningan.
Raka mengerutkan kening. Itu tidak seperti Luna. Luna akan berteriak, menangis, atau mengancam. Keheningan ini terasa salah.
Dengan firasat buruk, Raka berjalan ke lobi dan meminta kunci cadangan kamar Luna, menggunakan alasan bahwa mereka baru bertengkar hebat.
Ibu Santi yang khawatir memberikannya. Raka segera kembali, membuka pintu kamar Luna.
Kamar itu kosong.
Air masih menetes pelan di kamar mandi.
Musik yang tenang masih mengalun.
Lukisan-lukisan abstrak—hitam dan merah—masih bersandar di dinding.
Tapi Luna telah pergi.
Raka berjalan ke jendela. Di sana, ia melihat jejak basah samar-samar di kusen jendela kamar mandi. Wajah Raka berubah pucat.
"Kamu mengelabuhiku," Raka berbisik, amarahnya meluap menjadi pengakuan. Luna telah menggunakan audio dan visual untuk membuatnya percaya dia aman di dalam. "Kamu menggunakan strategiku sendiri untuk melarikan diri."
Raka menatap lukisan-lukisan itu, bukti nyata bahwa ia telah ditipu. Ia adalah ahli strategi, tetapi Luna, muridnya, baru saja mengalahkannya.
"Permainan ini, Luna, akan segera berakhir!"
Raka segera berlari menuruni tangga, tahu bahwa ia harus mengejar jejak Luna sebelum malam tiba dan Luna menghilang ke pegunungan.