Mandala Buana seperti berada di dunia baru, setelah kehidupan lamanya dikubur dalam-dalam. Dia dipertemukan dengan gadis cantik bernama Gita, yang berusia jauh lebih muda dan terlihat sangat lugu.
Seiring berjalannya waktu, Mandala dan Gita akhirnya mengetahui kisah kelam masa lalu masing-masing.
Apakah itu akan berpengaruh pada kedekatan mereka? Terlebih karena Gita dihadapkan pada pilihan lain, yaitu pria tampan dan mapan bernama Wira Zaki Ismawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TIGA PULUH DUA : PENUH KEJUTAN
Gita menatap pria yang baru bergabung di meja makan, kemudian beralih kepada Mandala. Pertanyaannya terjawab sudah. Kedua pria itu memang lebih dari saling mengenal.
Sebisa mungkin, Gita tetap berusaha menguasai diri dengan memperlihatkan sikap tenang. Namun, ada satu hal yang membuatnya tak kuasa mempertahankan sikap tenang tadi.
“Bagaimana pekerjaanmu, Sayang?” tanya Arum lembut, kepada pria yang tak lain adalah Wira.
“Seperti biasa,” jawab Wira, dengan gaya serta nada bicaranya yang tenang. Sekilas, ekor mata pria itu mengarah kepada Gita.
“Dalam beberapa malam terakhir, Mas Wira selalu pulang terlambat bahkan pernah tidak pulang sama sekali. Dia sangat sibuk dengan pekerjaannya,” ucap Arum, yang membuat Gita tiba-tiba tersedak.
“Minumlah dulu,” bisik Mandala. Dia paham betul kenapa Gita seperti itu.
“Wira mendedikasikan diri dalam pilihannya,” ujar Subagyo menanggapi.
“Sudah seharusnya seperti itu, kan?” Wira tersenyum kalem kepada Subagyo.
“Ya. Tentu saja. Bapak menghargai semua keputusanmu,” balas Subagyo penuh wibawa. “Kamu belum menyapa Mandala dan Gita.”
Wira mengalihkan perhatian kepada Mandala dan Gita. Ditatapnya mereka beberapa saat, lalu tersenyum simpul. “Apa kabar, Man? Apakah ini calon istrimu?” tanya Wira basa-basi.
Mandala tidak segera menjawab. Dia menatap Wira dengan sorot tak dapat diartikan, setelah itu beralih pada makanan di piring, lalu menyantapnya dengan tenang.
“Kabarku sangat baik,” jawab Mandala, setelah menelan makanan. Butuh waktu beberapa saat baginya, hanya untuk mengatakan itu.
“Tut! Ambilkan piring untuk Wira,” suruh Subagyo tidak terlalu nyaring, berhubung jarak antara ruang makan dengan dapur sangat dekat.
Tanpa harus diperintah dua kali, Tuti datang sambil membawa piring, lalu meletakkannya di hadapan Wira. “Silakan, Mas,” ucap wanita itu sopan.
“Terima kasih, Bi,” balas Wira.
“Biar kuambilkan.” Arum berusaha mengambil nasi. Namun, melakukan itu jadi sangat sulit bagi seseorang dengan keterbatasan seperti dirinya.
“Terima kasih, Sayang. Biar kuambil sendiri.” Wira tersenyum lembut, lalu mengambil nasi.
“Maafkan aku,” sesal Arum pelan.
Wira menggeleng, sebagai isyarat agar Arum tidak merasa bersalah.
Sungguh merupakan adegan yang teramat menyakitkan bagi Gita. Bukan karena tersulut api cemburu, tetapi rasa berdosalah yang membuat dadanya terasa panas.
“Aku ingin ke kamar kecil,” ucap Gita pelan.
“Biar kuantar.” Mandala langsung berdiri.
“Panggil saja Tuti,” cegah Subagyo.
“Tenang saja, Pak. Aku belum lupa dengan seluk-beluk rumah ini.” Mandala tersenyum kecil, sebelum berlalu bersama Gita.
“Silakan. Kamar mandi di dekat tangga. Pintu warna putih,” ucap Mandala cukup datar.
Namun, Gita tidak segera masuk. Dia justru menatap Mandala dengan mata berkaca-kaca.
“Kenapa menangis?” tanya Mandala datar.
“Apakah Mbak Arum adalah istri Mas Wira?” tanya Gita lirih.
“Setahuku begitu,” jawab Mandala singkat.
“Apa maksudnya dengan ‘setahuku begitu’?” tanya Gita tak mengerti.
“Mereka menikah saat aku tidak tinggal lagi di rumah ini,” jelas Mandala.
Gita terdiam, tak tahu harus berkata apa.
“Ada lagi yang ingin kamu tanyakan? Kita harus kembali ke meja makan.”
“Apakah Mas Maman dan Mas Wira adalah kakak-beradik?”
Mandala menggeleng. “Bukan,” jawabnya.
“Aku tidak mengerti.”
“Akan kujelaskan. Tapi, tidak di sini."
Gita mengembuskan napas pelan, lalu bersandar pada dinding. “Ya, Tuhan. Aku tidak tahu ____”
“Pernahkah kamu bertanya kepada setiap pria yang memakai jasamu, apakah mereka sudah menikah atau belum?”
Gita tidak menjawab. Dia hanya menatap nanar pria di hadapannya.
“Kamu pasti tidak peduli. Mereka datang, menidurimu, membayar, lalu pergi. Seperti itukan?”
Lagi-lagi, Gita tidak menanggapi ucapan Mandala.
“Mungkin kamu menikmati pekerjaan itu. Bermodalkan paras cantik dan tubuh indah, uang bisa didapat dengan mudah. Uang yang seharusnya dinikmati oleh istri dan anak dari pria-pria hidung belang tak tahu diri.”
Gita terisak pelan.
“Hentikan, Gita. Ini bukan tempat yang tepat untuk meratap dan menyesal. Basuh wajahmu.”
Gita tidak mengatakan apa pun. Dia langsung masuk ke kamar mandi dan menutup rapat pintu, membiarkan Mandala menunggu di luar.
“Aku akan kembali ke meja makan,” ucap Mandala cukup nyaring. Tanpa menunggu jawaban dari Gita, dia langsung berlalu dari sana.
Suasana di meja makan terasa begitu canggung dan kaku, ketika Mandala kembali ke sana. Tak ada perbincangan hangat, apalagi canda khas keluarga harmonis. Semua larut dalam pikiran masing-masing.
Begitu juga ketika Gita kembali bergabung. Suasana hening masih belum berubah, hingga acara santap siang berakhir.
“Bisakah menemaniku hari ini?” tanya Arum, ketika mereka berkumpul di ruang keluarga.
“Tentu,” jawab Wira. “Saya tidak akan ke mana-mana lagi.”
“Bagaimana dengan pekerjaanmu, Sayang?” tanya Arum lagi.
“Jangan pikirkan itu. Tidak enak membahas masalah pekerjaan dalam suasana seperti ini.” Wira tersenyum, seraya menyentuh punggung tangan Arum.
“Tapi, tidak ada salahnya sedikit memamerkan prestasimu, Wir,” ujar Subagyo, selalu dengan gaya bicaranya yang penuh wibawa.
Wira tersenyum simpul. “Kenapa Bapak tidak meminta Mandala yang bercerita? Dia sudah lama menghilang dan baru muncul sekarang. Pasti banyak sekali pengalaman hidup yang didapatnya.”
“Tidak ada. Aku menghilang bukan untuk mencari pengalaman hidup. Kita semua tahu itu,” sahut Mandala agak dingin.
“Gita pasti ingin tahu.”
“Itu urusanku dengan Gita,” balas Mandala.
“Mungkin lain kali,” ujar Gita menanggapi.
“Apakah Mandala memberitahumu akan mengajak kemari?” tanya Arum lembut.
Gita menggeleng, diiringi senyum yang agak dipaksakan.
“Kita bernasib sama rupanya,” ujar Arum, disertai tawa pelan.
“Begitukah?”
Arum mengangguk. “Mas Wira juga begitu, ketika pertama kali mengajakku kemari. Aku sangat terkejut dan tentu saja gugup. Dalam pikiranku hanya ada satu. Semoga tidak salah kostum.”
“Bapak pasti langsung terkesan pada Mbak Arum,” ucap Gita, seraya menoleh sekilas kepada Subagyo.
“Ya. Arum meninggalkan kesan baik dan tak terlupakan. Itu yang membuat Bapak tidak berpikir panjang untuk segera menikahkannya dengan Wira.”
Gita tersenyum menanggapi ucapan Subagyo. Sekilas, tatapannya mengarah kepada Wira, yang ternyata tengah memandang dengan sorot penuh arti. Gita langsung mengalihkan perhatian darinya.
“Jadi, di mana kamu tinggal sekarang, Nak?” tanya Subagyo kepada Mandala.
“Sekitar 30 menit dari sini,” jawab Mandala asal.
“Ke arah mana?” tanya Subagyo lagi.
“Tidak akan kuberitahu. Aku takut Bapak tiba-tiba mengunjungiku ke sana.”
Bukannya marah, Subagyo justru tertawa renyah. “Kamu selalu bisa menghibur Bapak,” ujarnya.
Ucapan biasa, yang nyatanya berhasil membuat Wira jadi tak nyaman.
“Teman-temanmu di kesatuan terkadang datang kemari. Mereka menanyakan di mana Mandala saat ini.”
“Aku sudah menutup semua yang berkaitan dengan masa lalu,” ujar Mandala.
“Itu terlalu konyol,” gumam Wira sedikit mencibir.
“Tutup mulutmu, Brengsek!” sergah Mandala. Membuat semua yang ada di ruangan itu terkejut bukan main.