Calon suami Rania direbut oleh adik kandungnya sendiri. Apa Rania akan diam saja dan merelakan calon suaminya? Tentu saja tidak! Rania membalaskan dendamnya dengan cara yang lebih sakit, meski harus merelakan dirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sweetiemiliky, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 : Apa yang terjadi?
Rania mau ikut dengan Mina pada akhirnya, setelah perdebatan panjang dan beberapa syarat yang mampu dipenuhi oleh Mina. Salah satunya adalah Bumi dan Ambar tidak akan tinggal dirumah lagi, mereka harus pindah ke rumah mereka sendiri setelah ini.
Tanpa berpikir panjang Mina menyetujui keinginan Rania. Yang terpenting saat ini adalah Rania mau ikut pergi bersamanya, itu saja. Tidak akan ia biarkan putri sulungnya menderita bersama orang lain.
Mina langsung membawa Rania ke rumah sakit yang sama dengan Ambar. Sampai dirumah sakit, Mina segera membawa Rania ke ruang pemeriksaan, dan ditangani disana. Mina menunggu beberapa saat sampai dokter keluar dari ruang pemeriksaan, menemui dirinya.
Beruntung tidak ada hal serius pada bayi didalam perut Rania. Jadi, hanya luka luar saja yang diobati.
"Kamu tunggu disini, ya? Ibu akan memanggil ayah sebentar. Lebih baik kamu istirahat dirumah, biar ibu yang menjaga Ambar disini."
Rania duduk dikursi yang tidak jauh dari tempat Anton dan Bumi duduk. Setelah memastikan Rania duduk nyaman, Mina berjalan meninggalkan Rania, untuk memanggil Anton.
"Ayah," Panggilnya setelah berhenti didekat Anton. Sang empu merespon cepat dengan menoleh, dan memanggil.
"Ibu?"
Dahinya mengerut tipis saat melihat Mina mulai menangis dihadapannya. Ada apa? Batinnya. Anton lekas beranjak, menyentuh kedua bahu Mina dengan tatapan khawatir.
"Ibu kenapa? Katanya tadi menemui Rania? Apa ibu terkena musibah saat dijalan?"
Mengusap air mata menggunakan punggung tangan. "Ibu memang sudah menemui Rania, yah. Bahkan dia ada disini sekarang."
"Dimana?" Anton segera menoleh ke kanan-kiri mencari keberadaan Rania, begitupun Bumi. Tapi dia tidak menemukan sosok putri sulungnya sampai suara Mina kembali terdengar.
"Dikursi sebelah sana, diujung," Jeda sejenak. "Tolong ayah bawa pulang saja Rania, ya? Pulang ke rumah kita. Dia harus istirahat. Biar ibu dan Bumi yang menjaga Ambar disini, untuk pakaian ganti Ambar, nanti ayah pesan ojek online saja."
Sebenarnya Anton masih bingung dengan apa yang sedang terjadi, tiba-tiba Mina berubah. Bukankah tadi Mina sangat berapi-api saat mengatakan bahwa ia ingin menuntut tanggung jawab dari Rania?
"Cepat ayah!"
"Iya-iya," Meraih ponsel dan kunci mobil diatas kursi besi dengan gerakan cepat. Setelah mengenggam dua barang tersebut, Anton segera membawa langkah menjauh, meninggalkan Mina yang kini duduk menggantikan Anton disamping Bumi.
Bumi menatap ibu mertuanya dari samping. Bulu alisnya sedikit menukik saat Mina terlihat frustasi dengan mata terpejam. Karena penasaran, Bumi membuka obrolan lebih dulu bertujuan untuk bertanya.
"Apa ibu memikirkan Ambar? Kata dokter dia baik-baik saja dan sebentar lagi akan dipindahkan ke ruang rawat. Sedangkan putri kami masih harus di NICU sampai kondisinya baik-baik saja."
Mendengar kata 'putri' dari mulut Bumi, reflek membuka mata dan membalas tatapan Bumi. Apa Mina tidak fokus tadi? Kenapa baru mendengar kalau anak Ambar adalah perempuan?
"Putri? Jadi anakmu perempuan?"
Mengangguk santai. "Iya. Aku juga tidak tahu kenapa tiba-tiba lahir perempuan, padahal prediksi dokter itu laki-laki."
"Prediksi dokter bisa saja salah."
"Ya, mungkin. Tapi aku tidak keberatan. Dari awal juga aku tidak terlalu peduli pada jenis kelamin, mau itu perempuan ataupun laki-laki, semua sama saja. Yang terpenting sehat dan lengkap."
"Apa Ambar sudah tahu kalau anaknya ternyata perempuan? Dia 'kan, ingin anak laki-laki."
"Belum. Aku belum bertemu dengan Ambar, dia belum dipindahkan ke ruang rawat."
Mina mengangguk-angguk tanda mengerti. Helaan napas panjang terdengar dari kubu Mina, dia sedikit pusing ingin memulai pembicaraan ini darimana.
Sayangnya, gelagat aneh dari Mina tertangkap oleh Bumi. Dia memang pria yang sangat peka.
"Apa ada lagi yang ingin ibu bicarakan? Bicara saja, aku akan mendengarkan."
Sekali lagi, helaan napas terdengar sebelum Mina mengeluarkan suara. "Sepertinya ibu salah karena dulu setuju-setuju saja menikahkan Rania dengan Ryan."
Dahinya mengerut tipis. "Kenapa?"
"Ternyata selama ini Rania mendapatkan kekerasan dari suaminya. Ibu baru tahu tadi, itupun karena tidak sengaja melihat saat ibu datang ke rumah Ryan diam-diam. Entah sudah berapa kali Rania mendapatkan pukulan dari suaminya sendiri seperti tadi."
Saat menceritakan hal ini, Mina tidak bisa menahan laju air matanya sendiri. Ia mulai terisak disamping Bumi yang masih diam tak bergeming usai kalimat Mina mengudara dengan lancar.
"Apa maksud ibu?"
"Kamu pasti paham, Bumi. Tapi sekarang ibu sudah lega, Rania mau kembali ke rumah dan akan tinggal bersama ibu dan ayah lagi. Ada satu syarat yang harus ibu penuhi, dan kamu harus menolong ibu."
"Apa?"
"Rania mau tinggal bersama ibu dan ayah lagi, asal tidak ada kamu dan Ambar dirumah. Dia tidak bisa. Jadi, apa ibu boleh minta tolong kepada Bumi agar membawa Ambar ke rumah kalian saja? Ambar sudah lama tinggal bersama kami semenjak hamil, ibu harap Ambar mau mengalah kali ini."
Persyaratan itu membuat Bumi diam tak bergeming. Apa ini alasan Rania memaksa menikah dengan Ryan? Karena dia tidak mau tinggal satu rumah dengannya dan Ambar?
Jadi, Rania mengorbankan dirinya sendiri dua kali hanya untuk membuatnya sakit? Kalau iya, Bumi merasa bersalah atas semua kekerasan yang sudah Rania dapatkan dari Ryan. Ini semua salah Bumi.
Andai dulu Bumi sedikit tegas pada Ambar agar bertahan dirumah mereka saja, pasti Rania tidak akan memaksa Ryan untuk segera menikah.
Ya, ini semua salahnya.
Tak segera mendapatkan respon, maniknya bergulir melirik Bumi. "Bumi," Sambil menepuk lengan agar pria itu segera tersadar dari lamunan.
"Ah, iya?"
"Bagaimana? Apa kamu bisa?"
"Tentu. Aku akan membawa Ambar pindah ke rumah lama kami setelah dia diperbolehkan pulang."
"Lalu siapa yang akan mengurus Ambar disana? Dia 'kan, baru saja operasi."
"Ibu tenang saja, rumah orang tuaku tepat disamping rumah yang akan kami tinggali. Nanti ada Bundaku yang akan membantu Ambar."
Mina menghela napas lega. Kalau begitu, dia bisa merawat dan menjaga Rania dengan lebih tenang sekarang. Sepertinya kali ini memang Mina diharuskan untuk merawat Rania saja. Giliran Ambar yang mengalah agar semua baik-baik saja.
Merasa ada pergerakan disamping kiri, Mina spontan menoleh dan mendongak mengikuti pergerakan Bumi yang ternyata sudah berdiri.
"Sepertinya aku akan pulang saja mengambil baju ganti. Tidak usah pakai jasa ojek online."
"Loh? Kenapa?"
Diam sebentar dan berpikir. "Baju-bajunya belum dikemas dalam tas. Jadi, lebih baik aku pulang saja sekalian nanti mampir di restoran cepat saji."
"Tapi disini sudah ada kantin, Bumi. Tidak usah repot-repot."
"Tidak repot kok, Bu. Aku tidak akan lama."
Sebelum Mina menyahut, Bumi sudah lebih dulu berlari menjauh. Mina juga tidak melarang pada akhirnya. Kalau pakaian belum dikemasi, memang lebih baik Bumi mengambil langsung dirumah saja, daripada orang lain yang menyiapkan.
iri dengki trus km gedein....
trus"in aja km pupuk iri dengkimu trhdp rania.... yg sdh sll mngalah & brkorban demi km manusia yg g brguna.... km yg bkaln hncur ambar... oleh sikapmu yg tamak & g ngotak...
bkal nyesel km klo smpe trjadi hal buruk trhdp rania dan ankmu....
untuk bu mina.... gmn... puas km mlihat pnderitaan ank yg tak penah km kasihi.... krna ksih sayangmu sdh km habiskn untuk ank mas'mu yg sialan itu...
hidupmu itu tak tau diri... dri dlu sll jdi kang rebut yg bukan milikmu.... benalu... tukang fitnah...
yakinlah ambar.... hidupmu tak akn prnah brjumpa dgn yg namanya bahagia dan ketenangan....
smoga sja ryan kedepannya bisa berubah & sll brfikir dgn akal sehat.... tak mudah tesulut emosi... krna sbntr lgi akn mnjadi ayah..
krna dunia ibumu hnya untuk ank kesayangannya yg durjana....
yakinlah.... kelak ank ksayangannya tak akn mau mngulurkn tangannya untuk merawat org tuanya....
hobi merampas yg bukan milikmu....
tunggulah azab atas smua kbusukanmu ambar...
tak kn prnah bahagia hidupmu yg sll dlm kcurangan...
👍👍