Pembalasan Rania
"Apakah ada yang ingin kamu beli sebelum pulang? Singgah untuk makan malam misalnya?"
"Boleh, deh! Kebetulan aku juga sedang lapar."
"Ingin makan apa?"
"Terserah."
Bumi menghela napas panjang ketika mendapatkan jawaban dari calon istrinya. Kenapa, sih, perempuan itu susah ditebak? Tidak bisa to the point saja kalau menginginkan sesuatu. Jika ditawari, pasti menolak. Nih, Bumi coba kalau tidak percaya.
"Nasi padang?"
Rania yang sedang fokus pada ponsel mengerut. "Ini sudah malam, aku tidak bisa makan berat. Nanti berat badanku bertambah dan gaun pengantin yang sudah dipesan bisa saja tidak muat saat aku pakai dihari H."
"Berlebihan, Rania. Makan berat satu kali tidak akan membuat tubuhmu langsung mengembang seperti adonan roti."
"Bahkan aku tidak pernah mengomentari bentuk tubuhmu, 'kan?" Lanjutnya.
Menurut Bumi, Rania terlalu perfeksionis dalam segala hal, terutama pada dirinya sendiri. Sampai terkadang Rania tidak sadar kalau apa yang dia lakukan bisa saja menyiksa dirinya sendiri. Contohnya seperti saat ini.
Bumi membasahi belah bibirnya. "Jadi, mau makan apa? Atau langsung pulang saja?"
"Tapi aku lapar, aku ingin makan," Rania mengerucutkan bibir dan memandang luar jendela mobil. Ada banyak pedagang yang sedang melayani pembeli, rata-rata setiap gerobak pasti ada antrian pembeli. Mungkin karena hari ini adalah hari Minggu, banyak anak muda yang keluar dan mencari udara segar. "Bagaimana kalau salad sayur?"
"Dari tadi pagi kamu belum makan makanan berat, kamu akan pingsan besok ditempat kerja," Sebelum Rania menyahut, Bumi sudah lebih dulu menyela. "Jika kamu tidak mau makan karena gaun itu, lebih baik kita batalkan saja. Memakai gaun sewa sepertinya tidak seburuk itu."
"Hei!"
"Maka turuti omonganku. Ingin makan, atau gaun impianmu itu aku batalkan."
Pemaksaan! Rania hanya bisa menggerutu dalam hati. Mana berani, nanti Bumi akan mengancam lebih buruk saat Rania melawan lebih jauh. Maka, setelah mempertimbangkan sedikit, Rania pun berkata.
"Ya sudah! Aku ingin nasi Padang! Tapi jangan salahkan aku kalau uangmu berkurang karena aku akan makan banyak nantinya!"
Bumi tersenyum miring. "Bukan masalah besar untukku."
Dan benar saja perkataan Rania saat dimobil tadi. Rania memakan semua hidangan yang sudah disediakan, bahkan nasi putih sudah tambah dua kali. Bumi sampai terkejut melihat Rania mampu menghabiskan banyak makanan, dia saja dari awal mengambil belum tambah lagi.
Bumi tersenyum sambil memperhatikan Rania. "Makan apapun yang ingin kamu makan, jangan sampai kamu sakit karena menahan diri untuk tidak menikmati banyak makanan. Aku tidak akan berkomentar jika tubuhmu terlihat berisi. Bukankah itu malah terlihat sexy?"
Rania menghela napas mendengar kalimat terakhir Bumi. Ia kembali menyuap makanan, dan jujur saja, ini terasa sangat nikmat. Apa mungkin karena satu bulan ini Rania menjalani diet? Bisa jadi.
"Aku hanya ingin memiliki tubuh langsing saat kita menikah nanti agar terlihat cantik saat foto pernikahan, itu akan abadi dan dilihat oleh anak dan cucu nantinya."
Soal pernikahan, mereka ber-dua sudah menyiapkan dari jauh hari, dan sekarang tinggal menunggu sekitar satu Minggu lagi acaranya digelar. Bumi dan Rania sengaja memilih tanggal cantik untuk pernikahan mereka.
Menjalin hubungan sejak masa sekolah menengah pertama tidak begitu mudah jalan yang mereka lalui. Sempat ada penolakan dari orang tua Bumi saat awal-awal diperkenalkan, orang tua Rania pun sempat menolak karena ingin putri sulungnya fokus bekerja dan membiayai kuliah adiknya sampai tamat. Namun karena perjuangan ke-dua-nya, Rania dan Bumi mendapatkan restu, bahkan satu langkah lagi menuju pelaminan.
"Ngomong-ngomong, apa setelah menikah aku harus keluar dari pekerjaan?" Menambah piring ayam pop untuk ke-dua kalinya. Ya, biarkan Rania mengisi perut sampai puas sekarang.
"Itu terserah kamu saja, aku tidak memaksa dan memberikan aturan ketat. Aku tidak mau kamu merasa kehilangan jati diri setelah menikah denganku."
Rania bekerja sebagai florist disalah satu toko bunga yang ada dikota ini. Gajinya lumayan karena setiap hari toko selalu ramai, tak jarang Rania mendapatkan bonus lebih dari bos-nya. Sedangkan Bumi, ia bekerja sebagai agen properti disebuah perusahaan.
Rania meraih botol air mineral kemudian meneguknya beberapa kali. Sambil meletakkan botol air mineral, Rania pun berkata. "Sepertinya tidak apa-apa kalau berhenti bekerja. Lagipula aku sudah cukup lelah bekerja, aku ingin merasakan bagaimana rasanya dinafkahi."
Begitu kalimat berakhir, tawa lembut mengudara dari ke-dua belah pihak. Padahal tidak ada yang lucu dari kalimat Rania. Dia memang sudah bekerja keras selama ini, rela tidak kuliah demi adiknya. Kata ayah dan ibu, mereka tidak bisa menguliahkan dua-duanya sekaligus, berakhir Rania yang harus mengalah.
Sudah bekerja pun Rania masih saja tidak bisa menikmati hasil jerih payahnya sendiri. Ayah dan ibu Rania memaksanya untuk membagi uang untuk Ambar.
"Sudah?" Bumi bertanya sembari mengelap mulut menggunakan tisu. Ia pun bertanya setelah memastikan bahwa Rania sudah menyelesaikan acara makan.
Kepalanya mengangguk-angguk. "Sudah."
Bumi segera membayar. Dan benar saja seperti dugaan, uang yang harus ia keluarkan tidak sedikit, menyentuh angka satu juta. Tapi nominal itu tidak membuat Bumi merasa menyesal, ia bersikap santai dan membayarnya, baru setelah itu mereka pulang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments