Menginjak usia 20 tahun Arabella zivana Edward telah melalui satu malam yang kelam bersama pria asing yang tidak di kenal nya,semua itu terjadi akibat jebakan yang di buat saudara tiri dan ibu tirinya, namun siapa sangka pria asing yang menghabiskan malam dengan nya adalah seorang CEO paling kaya di kota tempat tinggal mereka. Akibat dari kesalahan itu, secara diam-diam Arabella melahirkan tiga orang anak kembar dari CEO tersebut
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanda wistia fitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Ruang konferensi Arabella Technology siang itu dipenuhi wartawan dari berbagai media besar.
Kamera menyorot tajam ke arah panggung, di mana Arabella Edward berdiri di balik podium kaca, mengenakan setelan merah maroon,tegas dan matanya menyala oleh bara.
Di layar besar di belakangnya, terpampang kalimat sederhana:
"Kebenaran yang Dikubur Tak Akan Selamanya Diam."
Suara klik kamera menggema saat ia mulai bicara.
“Selama berminggu-minggu, saya dihujat, disebut anak durhaka, bahkan ibu dari anak-anak haram.”
“Tapi tidak satu pun dari mereka tahu... apa yang sebenarnya saya alami.”
Arabella berhenti sejenak.
Lalu mengangguk pada Leo Moreno, yang berdiri di sisi kanan panggung.
Layar berganti menampilkan video dari dasbor taksi malam itu gambar yang goyah, tapi cukup jelas memperlihatkan seorang wanita berlumuran darah, memeluk tiga bayi kecil dalam pelukannya.
Wanita itu Arabella.
Suara dari video menggema di ruangan tangisan bayi lemah, dan suara supir yang panik.
“Tahan sebentar, Nona! kita akan tiba di rumah sakit sebentar lagi!”
Beberapa wartawan menutup mulut, sebagian tertegun.
“Malam itu,” lanjut Arabella dengan suara pelan, “aku tidak melahirkan di rumah sakit. Aku melahirkan mereka di ruang bawah tanah rumah keluarga Edward.”
“Aku dikurung berbulan-bulan, dipaksa diam, dipisahkan dari dunia luar. Mereka takut dunia tahu aku mengandung ,dan takut aku menuntut hakku.”
Tangannya sedikit bergetar, tapi Arabella tidak berhenti.
“Aku melarikan ketiga anak ku tepat setelah mereka lahir. Aku memeluk ketiganya, berlari di tengah malam yang sunyi dan masuk ke taksi pertama yang lewat.”
“Malam itu aku kehilangan banyak darah. Tapi yang paling kutakutkan… bukan kematianku, melainkan kehilangan mereka.”
Leo mengganti slide berikutnya rekam medis dari rumah sakit kecil di San Francisco
tiga bayi prematur lahir dengan kondisi mal nutrisi berat dan hipotermia.
Nama pasien Arabella Zivana Edward.
“Mereka nyaris mati,” ucap Arabella lirih. “Tapi Tuhan masih mengizinkan mereka hidup. Dan karena itu… aku tidak akan pernah diam lagi.”
Suasana di ruangan benar-benar hening.
Lalu Arabella menatap kamera sorot matanya tajam, bening, dan penuh tekad.
"Aku menuntut Julian Edward bukan karena dendam. Tapi karena dia mencuri yang menjadi hakku.”
Layar berganti menampilkan dokumen saham 17% atas nama Arabella, disertai bukti tanda tangan manipulatif Chaterine
"Saham itu adalah milik mendiang ibuku, Eveline Moreno DeLuca.
Setelah beliau meninggal, saham itu dicuri dengan alasan aku dianggap tidak layak meneruskan nama keluarga.”
Bisikan dan sorakan kecil terdengar di antara wartawan.
Beberapa sudah menulis berita di tempat.
Arabella menunduk sebentar, suaranya kini lebih lembut tapi tegas
“Aku tidak ingin belas kasihan. Aku hanya ingin kebenaran ditempatkan di tempatnya.”
Kilatan kamera membanjiri ruangan.
Nama Arabella Edward kembali mendominasi berita hari itu tapi kali ini bukan sebagai skandal, melainkan simbol keteguhan.
Judul-judul headline bermunculan di berbagai portal
“Arabella Edward Ungkap Fakta Mengejutkan Dikurung dan Melahirkan di Ruang Bawah Tanah.”
“Julian Edward Terancam Skandal Saham 17% Milik Pewaris Sah.”
“Dunia Berbalik Dari Korban Fitnah Menjadi Ikon Kekuatan.”
***
Di Alexander Corporation, Nicholas menatap layar besar ruang kerjanya.
Wajah Arabella terpampang di sana tidak lagi sebagai wanita yang terluka, tapi seorang ibu dan pejuang yang menantang dunia.
Darren bersandar di kursi, bersiul pelan.
“Nick… dia baru aja ngeledakin reputasi Julian tanpa perlu senjata.”
Nicholas hanya tersenyum tipis.
“Dia nggak butuh siapa pun untuk menyelamatkannya.”
“Tapi kali ini, aku pastikan nggak ada yang berani melukainya lagi.”
***
Julian duduk di kursinya yang besar, menatap layar proyektor yang menampilkan siaran ulang konferensi.
Wajah Arabella terpampang jelas, bersama bukti medis, rekaman CCTV taksi, dan data dari rumah sakit.
Suara di ruangan itu sunyi.
Hanya napas berat Julian yang terdengar, penuh tekanan.
“Kita sudah lakukan segalanya untuk mengubur masa lalunya,” ucap Julian dengan suara rendah tapi tajam.
“Dan sekarang, semua kembali menghantam kita.”
Catherine berdiri di sampingnya, wajahnya tegang tapi masih berusaha tenang.
"Kau yang memintaku mengatur media, Julian. Kau bilang kita harus serang duluan sebelum dia bicara.”
Julian menatapnya tajam.
“Ya, aku memintamu menyerang, bukan menciptakan badai!”
Catherine membalas dengan nada meninggi,
“Semua media itu sudah kita bayar, Jul! Siapa sangka dia punya bukti sampai sedetail itu? Video taksi, laporan medis kau pikir aku bisa menandingi semua itu dalam semalam?”
Julian berdiri, menatapnya dengan wajah keras.
“Sekarang seluruh dewan direksi menuntut penjelasan. Investor mundur satu per satu. Kau tahu berapa nilai proyek yang sudah hilang hari ini?”
“Aku tahu!”
Catherine menatap balik, matanya berkaca-kaca tapi suaranya tetap tajam.
“Tapi aku tidak akan biarkan gadis sialan itu menghancurkan segalanya yang kita bangun!”
Julian menghentak meja dengan kepalan tangan.
“Dia bukan gadis sialan, Cath.Biar bagaimanapun dia darah dagingku sendiri.”
Catherine terdiam. Kalimat itu seperti cambuk.
Untuk pertama kalinya, Julian terlihat rapuh dan marah pada dirinya sendiri.
“Aku bisa menerima apa saja, tapi bukan pengkhianatan dari masa lalu yang kualami sendiri.”
Ia menatap jendela, menatap langit mendung di luar.
“Arabella bukan cuma menggugat harta, dia sedang menuntut hidup yang pernah kucuri.”
Hari itu Vania bersama Caroline sedang melakukan treatment kecantikan di sebuah salon ternama,tapi pikirannya tidak tenang.
Suara tawa para pengunjung hanya jadi gema kosong di telinganya.
Caroline menunjukkan layar ponselnya.
“Van, kau lihat ini? Semua media besar sudah balik arah. Sekarang ibu dan ayahmu diserang habis-habisan.”
Vania menghela napas.
“Aku tahu.”
Ia menatap layar lain foto Nicholas sedang keluar dari kantor hukum Leo Moreno,hal itu semakin memperkuat dugaan nya,apalagi setelah pertemuan nya dengan Leo dan Nicholas di sebuah caffe tempo hari,Vania yakin jika Nicholas memang mempunyai rahasia dengan Leo yang tidak di ketahui nya
“Dan sekarang Nicholas pun terseret. Media mulai mengaitkan kehadirannya dengan Arabella,apalagi mereka terlihat beberapa kali ngobrol dan ketemuan dengan sepupu nya Arabella.”
Caroline menatapnya ragu.
"Kau yakin mereka memang tidak punya hubungan?”
Vania menatap keluar jendela.
“Kalau pun mereka punya, aku harus tahu. Karena kalau benar Nicholas membantu Arabella dari awal, berarti semua yang aku bangun termasuk pertunanganku tidak lebih dari permainan.”
****
Langit San Francisco diguyur hujan ringan malam itu.
Dari balik jendela besar apartemennya, Arabella memandangi cahaya kota yang memantul di kaca.
Leo datang dari arah dapur, membawa dua cangkir teh hangat.
Ia meletakkannya di meja, lalu duduk di sebelah Arabella.
“Berita hari ini luar biasa,” katanya pelan. “Kau baru saja menjungkir balikkan kekuasaan keluarga Edward dalam sehari.”
Arabella tersenyum lemah.
“Aku tidak ingin menghancurkan mereka, Leo. Aku hanya ingin hidupku dikembalikan.”
Leo menatapnya, wajahnya teduh.
“Dan kau berhasil.”
“Belum.”Jawab Arabella lirih
“Masih ada satu hal yang belum kuselesaikan kuburan ibuku. Aku ingin dunia tahu siapa yang sebenarnya membuatnya mati.”
Leo menatapnya dalam diam.
Tatapan itu bukan sekadar kagum, tapi juga rasa hormat yang dalam.
Ia tahu perang ini belum berakhir.
“Kau yakin langkah ini tidak terlalu berisiko?” tanya Leo.
Arabella menatap layar laptopnya yang menampilkan berita terbaru Saham Opulent Holdings Turun Tajam, Catherine Disorot.
“Risiko paling besar sudah kulalui lima tahun lalu, Leo,” ujarnya tenang.
“Waktu aku melahirkan sendirian di ruang bawah tanah aku sudah kehilangan segalanya. Sekarang… aku tidak takut apa pun lagi.”
Leo terdiam, menatap sepupunya itu dengan bangga dan penuh hormat.
“Julian dan Catherine tidak akan diam saja.”
“Kau benar Leo” Arabella tersenyum tipis. “Tapi kali ini, aku tidak sendirian ada kau yang selalu membantuku"
bella terima nicholas ya