KONTEN INI AREA DEWASA‼️
Lima tahun cinta Shannara dan Sergio hancur karena penolakan lamaran dan kesalah pahaman fatal. Bertahun-tahun kemudian, takdir mempertemukan mereka kembali di atas kapal pesiar. Sebuah insiden tak terduga memaksa mereka berhubungan kembali. Masalahnya, Sergio kini sudah beristri, namun hatinya masih mencintai Shannara. Pertemuan di tengah laut lepas ini menguji batas janji pernikahan, cinta lama, dan dilema antara masa lalu dan kenyataan pahit.
Kisah tentang kesempatan kedua, cinta terlarang, dan perjuangan melawan takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RYN♉, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
GTTS chapter 34
Lampu taman di halaman belakang Kediaman Pradipta memancarkan cahaya keemasan lembut yang menembus dedaunan palem dan pantulan air kolam renang yang beriak tenang. Udara malam membawa aroma samar klorin, berpadu dengan wangi tembakau yang baru terbakar. Langkah berat Edwin Pradipta terdengar di atas
batu paving. Di ujung taman, putranya, Sergio, berdiri sendirian sambil menyalakan rokok, siluet tubuhnya tegak, dingin, seperti patung dalam cahaya lampu taman.
"Boleh satu?" pinta Edwin, pandangannya lurus ke depan, menikmati ketenangan malam.
Sergio menoleh sekilas, lalu mengeluarkan sebungkus Dunhill Fine Cut, menyodorkannya dengan korek api yang menyala di ujung jarinya. Api kecil itu memantul di mata Edwin, memperlihatkan garis usia yang keras tapi bijak.
Mereka berdiri berdampingan, postur tubuh tinggi mereka memancarkan aura kekuasaan yang sama.
"Tender terakhir itu … luar biasa, Gie," ujar Edwin setelah beberapa tarikan. "Negosiasi di KTT energi, itu langkah cerdas. Kau membalikkan keadaan dalam satu jam. Ayah hampir tak percaya kalau kau bisa setenang itu di tengah tekanan." Nada bicaranya tenang, tapi sarat kebanggaan yang jarang ia tunjukkan.
Sergio tersenyum tipis. "Ayah yang mengajariku bagaimana membaca manusia. Aku hanya menerapkan pelajaran tentang killer instinct yang Ayah tanamkan."
"Kau lebih cepat dari Ayah di usia segitu," Edwin menepuk bahu putranya. "Kau tahu cara mendapatkan yang kau mau tanpa mengotori tanganmu. Pertahankan itu."
Mereka mengobrol panjang soal bisnis tentang ekspansi ke sektor energi hijau, tentang pasar Asia Tenggara, tentang strategi merger. Dalam percakapan itu, seolah dunia luar tidak ada. Tidak ada ruang makan, tidak ada istri di dalam rumah yang menunggu. Hanya dua pria dengan pikiran yang tajam, seolah sedang bermain catur di atas peta ekonomi global.
Namun begitu bara rokok padam, udara berubah.
Edwin membuang napas berat, lalu menoleh pelan ke arah putranya. "Baiklah. Urusan kerja selesai." Ia berhenti sejenak. "Sekarang urusan pribadi."
Sergio menegakkan tubuhnya.
"Bagaimana pernikahanmu dengan Karina?" tanya Edwin datar, tapi matanya tajam. "Mamamu selalu menceritakannya, tapi aku ingin mendengar langsung darimu."
Sergio terdiam beberapa detik sebelum menjawab tanpa emosi, "Seperti yang Ayah lihat. Kami masih suami-istri sah. Belum ada gugatan cerai. Artinya, tidak ada masalah besar." Jawabannya kaku, seperti laporan rapat.
Edwin tertawa kecil, getir. "Jawaban legal. Aku lupa, kau memang terbiasa bicara dengan investor." Ia menatap dalam ke wajah putranya. "Tapi aku bukan investor, Sergio. Aku Ayahmu. Sudah hampir tiga tahun, dan dari semua yang kulihat … kau belum juga bisa mencintai istrimu, bukan?"
Sergio tidak menjawab. Tatapannya jatuh pada pantulan cahaya di air kolam. Dingin. Kosong.
"Atau," Edwin mencondongkan tubuh sedikit, suaranya pelan namun menusuk, "kau masih terjebak pada masa lalu itu. Perempuan yang menghancurkanmu delapan tahun lalu."
Sergio menegang. Seketika udara di antara mereka mengeras.
"Ayah lihat semuanya waktu itu," lanjut Edwin, nada suaranya berubah sendu. "Kau memergokinya berselingkuh. Tapi yang membuatku sakit, bukan karena dia mengkhianatimu … tapi karena kau masih memohon padanya. Kau menyalahkan dirimu, memohon agar dia bertahan. Padahal dia sudah memilih pergi."
Sergio mengepalkan tangan, rahangnya mengeras.
"Ayah tak pernah sefrustasi itu. Putra tunggal Pradipta, pewaris yang seharusnya paling tegak, hancur oleh seorang perempuan. Kau lari ke jurang gelap. mabuk-mabukan, main perempuan, skandal demi skandal. Kau sampai harus ke psikater karena insomnia parah, dan bahkan, di titik terendah, kau sempat overdosis obat anti-depresi."
Edwin menghela napas panjang, menatap putranya dengan tatapan yang menyiratkan delapan tahun rasa sakit. "Dan sampai sekarang pun, kau masih sering minum obat tidur yang diresepkan padamu. Delapan tahun, Gie! Delapan tahun setelah putus dari dia! Ayah bahkan sempat ingin membalas dendam, memastikan perempuan itu merasakan penderitaan yang sama. Tapi Ibumu menahan. Ibumu yang perlahan menarikmu. Dia membawamu rutin ke psikolog, terapi, dengan semua usahanya. Semua yang kau capai hari ini, itu berkat Ibumu."
Keheningan turun seperti kabut. Hanya suara jangkrik di kejauhan yang terdengar.
Edwin menatap putranya lama. "Ayah bangga kau sudah bangkit, dan kau sudah membuktikan diri di dunia bisnis. Kau tidak seharusnya dihancurkan oleh seorang perempuan."
Di dalam dada Sergio, sesuatu bergetar. Sebuah dorongan untuk berteriak bahwa ayahnya salah bahwa perempuan itu tidak pernah berselingkuh. Bahwa ada yang disembunyikan selama ini. Tapi sebelum ia sempat berkata apa pun, ponselnya berdering.
Davin Calling...
📞 "Ya, Vin?"
📞"Tuan Sergio, ada seseorang bernama Dilan ingin bertemu sekarang juga. Katanya ini mendesak. Dia ... teman Nona Shannara."
Nama itu menghantam dada Sergio seperti palu godam.
📞 "Baik. Atur pertemuannya di The Summit. Ruangan privat. Aku datang dalam tiga puluh menit."
Ia mematikan panggilan dan menoleh ke ayahnya. "Aku harus pergi, Yah. Ada urusan."
Edwin hanya mengangguk, menepuk bahunya pelan. "Pergilah. Tapi ingat, beberapa hal di masa lalu sebaiknya tidak digali lagi."
Sergio tidak menjawab. Ia hanya berjalan pergi, meninggalkan asap tembakau yang perlahan hilang di udara malam.
...----------------...
The Summit Lounge — 11:45 Malam
Cahaya redup dan aroma cerutu Kuba memenuhi ruangan privat yang kedap suara. Di tengahnya, meja marmer putih berkilau, dan di seberangnya berdiri seorang pria dengan jaket jeans dan kaus putih polos, pria itu bernama Dilan. Kontras yang mencolok dengan jas Armani milik Sergio.
"Kenapa harus di tempat seperti ini?" Dilan membuka percakapan dengan nada jijik.
Sergio menuang Macallan ke gelas kristal, gerakannya elegan dan dingin. "Karena aku tidak terbiasa bicara di tempat murah." Ia menatap Dilan datar. "Kau minum?"
"Aku tidak minum alkohol."
"Sayang sekali." Sergio menyesap pelan, lalu duduk. "Jadi, apa yang begitu mendesak?"
Dilan menarik napas panjang, lalu mengeluarkan amplop cokelat tebal dan meletakkannya di atas meja. "Ini. Tiga puluh juta rupiah. Untuk biaya pengacara dan rumah sakit ibu Shannara."
Suaranya tegas. Jelas.
Sergio menatap amplop itu. "Apa maksudmu?"
"Anggap saja pelunasan," balas Dilan tanpa gentar. "Kalau kurang, aku akan transfer sisanya. Cukup jelas?"
Sergio mendengus pelan. "Apakah Shannara tahu kau melakukan ini?"
"Tidak perlu. Yang penting, kau menjauh darinya." Dilan menatap lurus ke matanya. "Hidupnya sudah cukup berat. Kehadiranmu hanya membawa luka lama. Jadi tolong ... hilang dari hidupnya."
Sergio tertawa kecil, dingin. "Kau pikir aku pengganggu? Kau lupa, dulu dia milikku."
"Dia bukan barang untuk dimiliki!" bentak Dilan.
Tapi Sergio tak gentar. Ia menatap tajam. "Kau mencintainya, bukan? Sudah lama."
Dilan terdiam.
"Bahkan lebih dulu dariku, kan?" lanjut Sergio. "Kau terlalu naif, Dilan. Sampai aku berhasil merebutnya. Bahkan saat Shannara memperkenalkan aku sebagai pacarnya, kau bersikap seolah baik-baik saja. Kau terlalu pintar menyembunyikan perasaanmu. Kau hidup ... pakai topeng."
Sergio meletakkan gelasnya, tatapannya tajam. "Aku sudah menghilang bertahun-tahun. Tapi kau ... kau masih belum berhasil masuk ke kehidupannya. Belum mampu meluluhkan hatinya. Atau jangan-jangan, kau tidak pernah berani blak-blakan mengakui perasaanmu?" Ia menyeringai, percaya diri yang arogan.
Dilan mengepalkan tangan, amarahnya membara.
Sergio mencondongkan tubuh, suaranya rendah dan tajam seperti belati. "Gunakan kesempatanmu, Dilan. Karena sebentar lagi, Shannara akan kembali padaku."
Dan itu cukup untuk meledakkan emosi Dilan. Ia mencengkeram kerah Sergio dan mengangkatnya sedikit.
"Sudah kubilang JANGAN GANGGU SHANNARA! KAU SUDAH BERISTRI! SADAR POSISIMU! KAPARAT!" Nafasnya berat, mata merah. "Kau pikir aku akan biarkan itu terjadi?!" Dilan menggertakkan giginya. "Kali ini aku tidak akan mengalah!"
Dilan mencondongkan tubuh, suaranya berbisik penuh ancaman. "Kau tidak tahu apa yang dilaluinya karena ulah keluargamu. Shannara akan dalam bahaya kalau kau terus mengusik kehidupannya!"
Sergio terkejut. "Apa maksudmu? Bahaya apa? Jelaskan!"
Tapi Dilan sudah mundur, merapikan jaketnya. "Kau tidak pantas tahu. Menjauhlah dari dia sebelum semuanya terlambat."
Ia berbalik dan pergi, meninggalkan Sergio dengan amplop uang di meja, yang kini terasa seperti simbol penghinaan paling tajam.
...----------------...
00:25 Dini Hari — Di Jalanan Jakarta
Hujan baru saja berhenti. Jalan basah berkilau dibawah lampu kota. Sergio menyandarkan tubuhnya di kursi belakang mobil, pikiran kalut. Tapi pandangannya tertarik pada sesuatu di sisi kanan jalan, di depan minimarket 24 jam.
Tiga wanita duduk di meja plastik luar minimarket. Dua masih terjaga, satu tertidur dengan kepala di atas meja, rambutnya acak-acakan, basah. Sekilas, Sergio hampir tak percaya dengan yang ia lihat. Tapi ketika lampu jalan menyorot wajah itu, itu Shannara.
"Davin," katanya pelan tapi tajam. "Putar balik. Cepat."
Sopirnya segera memutar mobil. Saat mereka berhenti, Sergio memperhatikan dua temannya yang mencoba membangunkan Shannara.
"Davin, turun. Bilang kau keluarganya. Jangan biarkan mereka membawanya pergi," perintahnya cepat.
Davin segera turun. "Maaf, Mbak. Saya Davin. Saya keluarganya," kata Davin dengan nada tenang namun mendesak. "Biar saya yang urus Shannara. Dia sedang ada masalah keluarga, dan saya sudah janjian untuk menjemputnya."
Dua temannya saling pandang, tampak curiga dan ragu. Salah satunya menunduk mengguncang bahu Shannara.
"Nara, bangun! Davinnya sudah datang! Kamu kenal dia nggak? Mau pulang bareng kita, atau sama dia yang ngaku keluargamu?"
Shannara menggeliat lemah, matanya separuh terbuka. Suaranya nyaris tak terdengar. "...Davin..." Itu cukup membuat dua temannya mengangguk pasrah.
"Dia bilang Davin," kata temannya. "Mungkin memang keluarganya. Ya sudah, ayo kita pergi. Kita sudah kepagian di sini."
"Ya sudah, kalau begitu, kami pergi dulu. Tolong pastikan dia sampai rumah." kata temen satunya lagi
Mereka cepat-cepat masuk ke taksi daring, meninggalkan Shannara sendirian dan tak berdaya di meja minimarket. Setelah mobil taksi daring mereka menjauh, Sergio membuka pintu mobilnya dan melangkah keluar dari mobil. Langkahnya mantap tapi sorot matanya rumit. Antara marah, iba, dan sesuatu yang jauh lebih dalam. Ia berhenti tepat di depan meja plastik itu.
Cahaya neon minimarket memantulkan wajah Shannara yang lelah, basah oleh embun malam, bibirnya pucat.
Sergio berdiri di sana, diam beberapa detik, sebelum akhirnya berbisik pelan.
"Apa yang sudah terjadi padamu, Nara..."
Gambaran Visual Karakter Novel :
Sergio Emmanuel Pradipta
Shannara Althea
Karina Putri Kusuma
Nathan Gabriel Santoso
ada aja kelakuan bapak ini gmesss🤭