Bagi BIMA, kehidupan sebagai anak SMA adalah kesempatan kedua yang ia dambakan. Setelah tewas dalam sebuah perang surgawi yang brutal, menjadi manusia biasa dengan masalah biasa adalah sebuah kemewahan. Ia hanya ingin satu hal: kedamaian. Lulus sekolah, punya teman, dan melupakan gema pertumpahan darah yang pernah mewarnai keabadiannya.
Tetapi, SMA Pelita Harapan, sekolah elit tempatnya bernaung, bukanlah tempat yang normal. Di balik kemewahan dan prestasinya yang gemilang, sekolah ini berdiri di atas tanah dengan energi gaib yang bocor, memberikan kekuatan super kepada segelintir siswa terpilih.
ADHITAMA dan gengnya, sang penguasa sekolah, menggunakan kekuatan ini untuk memerintah dengan tangan besi, menciptakan hierarki penindasan di antara para siswa. Selama ini, Bima selalu berhasil menghindar dan tidak menarik perhatian.
Hingga suatu hari, sebuah insiden di kantin memaksanya untuk turun tangan. Dalam sekejap, ia tak sengaja menunjukkan secuil kekuatan dewa miliknya—kekuatan yang kuno, absolut, dan jauh berbeda dari kekuatan mentah milik Adhitama. Tindakannya tidak membuatnya disegani, melainkan menyalakan alarm di telinga sosok yang jauh lebih berbahaya: sang dalang misterius yang selama ini mengamati dan mengendalikan para siswa berkekuatan.
Kini, Bima terseret kembali ke dalam dunia konflik yang mati-matian ingin ia lupakan. Di hadapkan pada pilihan sulit: haruskah ia kembali membangkitkan dewa perang dalam dirinya untuk melindungi teman-teman barunya, atau tetap bersembunyi dan membiarkan kekuatan gelap menguasai satu-satunya tempat yang ia sebut rumah?
Karena kedamaian, ternyata, adalah kemewahan yang harus ia perjuangkan sekali lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 62maulana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
JARUM DAN PALU
Tangga menuju ruang bawah tanah itu sempit, curam, dan sepi, seolah-olah aku sedang menuruni tenggorokan seekor binatang raksasa yang sedang tidur. Setiap langkahku di atas beton dingin yang dilapisi karpet tipis itu terukur, napasku tertahan di dada. Tidak ada kamera di sini—Sari sudah mengonfirmasi itu—tetapi keheningan ini memiliki beratnya sendiri.
Di telingaku, suara napas Sari terdengar seperti jangkar yang menjagaku tetap terhubung dengan realitas di atas. "Adhitama di posisi," bisiknya. "Dia masuk ke ruang kerja. Tidak ada tanda-tanda patroli di lantai dua sejauh ini. Waktu berjalan: 11:45."
Aku terus turun. Kegelapan di sekelilingku terasa pekat, hanya dipecah oleh cahaya redup dari lampu darurat di dinding.
Sementara itu, di lantai dua, aku bisa membayangkan Adhitama.
POV: Adhitama
Adhitama membenci karpet tebal ini. Karpet Persia mahal yang melapisi koridor lantai dua ini meredam suara langkah kakinya, ya, tapi rasanya salah. Rasanya seperti berjalan di atas lumpur. Dia adalah seorang petarung, bukan pencuri. Naluri alaminya berteriak padanya untuk berlari, mendobrak setiap pintu, dan melumpuhkan siapa saja yang menghalangi.
Tapi dia menahannya. Dia mengingat pelajaran di bengkel. Bisikan, bukan teriakan.
Dia sampai di pintu ketiga di sebelah kiri. Ruang kerja Dr. Aris. Pintu itu terbuat dari kayu jati solid dengan ukiran rumit. Terkunci, tentu saja.
Adhitama meletakkan tangannya di gagang pintu. Dia tidak memutarnya dengan paksa. Dia mengirimkan getaran kinetik mikro melalui telapak tangannya, sebuah gelombang kejut kecil yang terfokus hanya pada lidah kunci di dalam.
Klik.
Kunci itu menyerah. Adhitama menyeringai tipis. Terlalu mudah.
Dia menyelinap masuk dan menutup pintu di belakangnya. Ruangan itu berbau tembakau mahal dan kertas tua. Dinding-dindingnya dilapisi rak buku dari lantai ke langit-langit. Di tengah ruangan, sebuah meja mahoni besar mendominasi. Dan di belakang meja itu, tersembunyi di balik sebuah lukisan abstrak yang jelek (klise sekali), ada targetnya.
Adhitama menurunkan lukisan itu. Di sana, tertanam di dinding, adalah brankas mekanis yang disebutkan Pak Tirtayasa.
Itu bukan brankas digital dengan tombol-tombol menyala. Itu adalah monster baja tua dengan dial putar yang rumit. Tidak ada elektronik untuk diretas Sari. Tidak ada engsel luar untuk dihancurkan.
"Aku melihat brankasnya," bisik Adhitama ke earpiece-nya. "Jelek. Kuno. Besi murni."
"Jangan hancurkan isinya, Adhitama," suara Sari memperingatkan. "Data di hard drive itu sensitif terhadap guncangan ekstrem. Jika kau memukulnya seperti kau memukul pintu di simulasi, kau akan mengubah data itu menjadi sampah magnetik."
"Aku tahu, aku tahu," gerutu Adhitama.
Dia berlutut di depan brankas. Dia menarik napas panjang, mencoba memperlambat detak jantungnya yang memburu karena adrenalin. Dia meletakkan telinga kirinya menempel ke pintu baja yang dingin itu. Tangan kanannya memegang dial putar.
Ini adalah bagian tersulit.
Dia mulai memutar dial itu perlahan. Kiri... kiri...
Dia memejamkan mata. Dia tidak mendengarkan dengan telinganya. Dia mendengarkan dengan kekuatannya. Dia mengirimkan getaran sonar yang sangat lemah melalui ujung jarinya, menembus baja tebal itu, merasakan tumbler di dalamnya. Dia memvisualisasikan roda gigi kuningan kecil yang bergesekan.
Setiap tumbler memiliki "gerbang". Saat gerbang itu sejajar, akan ada sedikit perubahan pada tegangan mekanis. Perubahan yang mikroskopis.
Bagi manusia biasa, itu tidak terasa. Bagi Adhitama, yang bisa merasakan dampak kinetik dari sebutir debu yang jatuh, itu terasa seperti gempa bumi.
Klik.
Satu tumbler jatuh ke tempatnya.
Adhitama berhenti bernapas. Keringat dingin menetes di pelipisnya. Ini jauh lebih melelahkan daripada mengangkat beban dua ton. Ini membutuhkan pengendalian diri yang menyiksa. Setiap serat ototnya ingin meremas dial itu sampai hancur, ingin merobek pintu itu dari engselnya.
"Satu..." bisiknya.
Dia memutar ke kanan. Pelan... pelan...
Tangannya gemetar. Sialan. Kenapa ini susah sekali?
"Adhitama," suara Bima terdengar di telinganya, tenang dan stabil. "Kau bukan palu. Kau adalah kuncinya. Ingat?"
Kata-kata itu membantu. Adhitama menghembuskan napas. Dia membiarkan otot-ototnya rileks. Dia membiarkan kekuatannya mengalir lembut, seperti air, bukan seperti batu.
Klik.
Tumbler kedua.
"Dua..."
Satu lagi. Dia memutar ke kiri lagi. Dia bisa merasakannya. Sedikit lagi.
Klik.
Dial itu berhenti berputar. Gagang brankas berbunyi thunk yang memuaskan.
Adhitama membuka matanya, senyum lebar merekah di wajahnya. Dia menarik gagang itu. Pintu baja berat itu mengayun terbuka tanpa suara sedikit pun.
Di dalamnya, tergeletak sendirian di atas rak beludru, adalah sebuah hard drive eksternal berwarna hitam.
Adhitama mengambilnya dengan hati-hati, seolah itu adalah bayi yang baru lahir. Dia memasukkannya ke dalam saku kargo-nya yang berisleting.
"Paket diamankan," bisiknya. "Dan coba tebak? Aku bahkan tidak membuat goresan."
"Kerja bagus, Big Guy," suara Sari terdengar lega. "Sekarang keluar dari sana. Bima, status?"
POV: Bima
Aku sampai di dasar tangga. Di depanku, sebuah koridor pendek berakhir pada satu pintu tunggal.
Pintu itu persis seperti di gambar. Baja tungsten masif, tanpa gagang, tanpa celah. Hanya sebuah panel biometrik dan keypad di sampingnya. Ini adalah pintu yang dirancang untuk menahan kiamat kecil. Di baliknya, Dr. Aris dan putranya terkurung.
Dan jika Pak Tirtayasa benar, pintu ini juga dipasangi jebakan. Jika aku mencoba mendobraknya, atau jika Sari mencoba meretasnya dan gagal, mekanisme pertahanan akan aktif. Mungkin bukan bom plasma seperti di simulasi, tapi mungkin gas saraf. Atau sistem penguncian vakum yang akan menyedot udara dari dalam ruangan, membunuh sandera dalam hitungan menit.
Cakra tidak mengambil risiko.
Aku berdiri di depan pintu itu. Waktu tersisa: 09:30.
"Adhitama sudah dapat datanya," lapor Sari. "Kau satu-satunya yang menahan kita, Bima."
"Aku sedang mengerjakannya," bisikku.
Aku meletakkan kedua telapak tanganku rata di permukaan pintu yang dingin.
Aku menutup mataku.
Dunia fisik memudar. Kegelapan di balik kelopak mataku digantikan oleh jaring-jaring struktur molekuler yang bercahaya. Aku melihat atom-atom tungsten yang tersusun padat, saling mengunci dalam tarian kuantum yang tak tertembus. Aku melihat mekanisme penguncian di dalam dinding—batang-batang baja yang tertanam jauh ke dalam beton, sensor tekanan, sirkuit pemicu jebakan.
Itu rumit. Indah, dalam cara yang mematikan.
Aku menarik napas. Jangan hapus.
Dewa Perang di dalam diriku berbisik, menawarkan solusi mudah: Hancurkan saja. Jadikan debu. Biarkan mereka melihat kekuatanmu.
Aku mendorong suara itu menjauh. Aku bukan penghancur malam ini. Aku adalah ahli bedah.
Aku memfokuskan kekuatanku menjadi aliran tipis, setipis benang laba-laba. Aku mengarahkannya menembus lapisan baja, melewati sensor jebakan, langsung menuju mekanisme deadbolt internal.
Aku tidak menyentuh sensornya. Aku tidak menyentuh sirkuitnya.
Aku membungkus kekuatanku di sekitar batang pengunci baja itu.
Larutkan, perintahku.
Tapi hanya di sana. Hanya pada logam yang menahan pintu itu tertutup.
Di dalam dinding, tanpa suara, batang baja padat itu mulai kehilangan kohesinya. Ia tidak meledak. Ia tidak patah. Ia hanya... berubah menjadi pasir logam halus, meluncur turun di dalam rongga dinding.
Aku merasakan resistensi pintu itu menghilang. Sensor jebakan masih aktif, 'berpikir' bahwa pintu masih terkunci karena sirkuitnya tidak terputus. Aku telah menipu sistemnya dengan menghilangkan komponen fisiknya tanpa menyentuh komponen digitalnya.
Aku membuka mataku. Keringat membasahi punggungku.
Aku mendorong pintu baja berat itu dengan lembut.
Pintu itu meluncur terbuka tanpa suara.
"Aku masuk," bisikku.
Udara di dalam ruangan itu terasa berbeda. Apek, dan bermuatan listrik statis.
Itu bukan ruangan yang buruk. Itu adalah apartemen mewah bawah tanah. Ada sofa kulit, televisi besar, dapur kecil, dan rak-rak buku. Tapi tidak ada jendela.
Di sudut ruangan, seorang pria paruh baya berkacamata—Dr. Aris—melompat berdiri dari sofa. Wajahnya pucat, matanya lebar karena ketakutan. Dia memegang pisau makan perak di tangannya yang gemetar, senjata yang menyedihkan melawan siapa pun yang bisa menembus pintu itu.
Di belakangnya, duduk di lantai sambil memeluk lutut, adalah seorang anak laki-laki kurus. Rio. Usianya mungkin delapan tahun.
Tapi yang membuatku berhenti bukanlah pisau Dr. Aris. Itu adalah mainan-mainan di sekitar Rio.
Mobil-mobilan, balok lego, boneka aksi... semuanya melayang di udara. Mereka berputar perlahan mengelilingi anak itu seperti satelit, orbit yang malas namun mengancam. Mata anak itu tertuju padaku, dan matanya... matanya menyala dengan cahaya biru redup.
"Siapa kau?!" teriak Dr. Aris, mengacungkan pisau makannya. "Di mana penjaga? Apa yang kau lakukan pada mereka?!"
Aku mengangkat tanganku perlahan, telapak tangan terbuka. "Dr. Aris. Turunkan pisaunya. Aku bukan Cakra."
"Bohong!" teriaknya histeris. "Kalian selalu bermain trik! Tes loyalitas lagi? Aku sudah melakukan semua yang kalian minta! Jangan sakiti Rio!"
Mainan-mainan di udara mulai bergetar. Kecepatan putarannya meningkat. Rio merasakan ketakutan ayahnya, dan kekuatannya bereaksi. Sebuah mobil-mobilan logam melesat ke arahku seperti peluru.
Aku tidak menghindar. Aku menangkapnya. Tapi aku tidak menggunakan kekuatanku untuk menghancurkannya. Aku hanya menangkapnya dengan tangan biasaku. Sakit, tapi tidak mematikan.
"Pak Tirtayasa mengirimku," kataku tenang, menatap lurus ke mata Dr. Aris.
Nama itu memiliki efek magis. Dr. Aris membeku. Pisau di tangannya turun sedikit.
"Tirta...?" bisiknya. "Dia... dia menerima pesanku?"
"Dia menerimanya," kataku. "Dan aku di sini untuk membawamu keluar. Tapi kita harus pergi sekarang. Temanku sudah mengamankan datanya. Sekarang giliranmu."
Dr. Aris menjatuhkan pisaunya. Kakinya lemas, dan dia jatuh terduduk di sofa. "Aku tidak percaya... aku pikir... aku pikir kami akan mati di sini."
Aku berjalan mendekat, tapi mainan-mainan itu masih berputar liar. Rio masih menatapku dengan curiga. Dia adalah bom waktu kecil.
Aku berlutut, menyamakan tinggiku dengan Rio. Aku mengabaikan mainan yang berdesing di dekat telingaku.
"Hai, Rio," kataku lembut. "Namaku Bima."
Rio tidak menjawab. Dia hanya mengeratkan pelukannya pada lututnya.
"Kau punya kekuatan yang keren," kataku, menunjuk ke mobil-mobilan yang melayang. "Seperti... magnet."
Anak itu berkedip. "Bukan magnet," cicitnya pelan. "Pikiranku."
"Pikiranmu kuat sekali," kataku. "Aku juga punya kekuatan. Teman-temanku juga. Di tempat kami... kau tidak perlu takut menggunakannya. Tapi sekarang, aku butuh bantuanmu."
"Bantuan?" tanyanya polos.
"Ya. Aku butuh kau untuk menjadi sangat, sangat berani. Kita akan bermain petak umpet. Kita harus keluar dari rumah ini tanpa ketahuan oleh orang-orang jahat di luar. Bisakah kau membantuku? Bisakah kau menjaga mainan-mainan ini tetap diam supaya tidak berisik?"
Rio menatap ayahnya. Dr. Aris mengangguk, air mata mengalir di pipinya. "Lakukan apa katanya, Rio. Dia teman."
Rio menatapku lagi, lalu mengangguk. Perlahan, mainan-mainan itu turun ke lantai. Cahaya biru di matanya meredup.
"Anak pintar," kataku.
"Bima," suara Sari mendesak di telingaku. "Waktu berjalan. 06:00. Patroli luar akan segera berganti shift. Jika kita tidak keluar sekarang, kita akan bertemu dengan dua regu sekaligus di taman."
"Kita bergerak," kataku pada Dr. Aris. "Bapak bisa jalan?"
"Ya, ya," katanya, buru-buru berdiri dan menggandeng tangan Rio.
"Ikuti aku. Jangan bersuara. Jangan lepaskan tangan Rio."
Kami keluar dari ruang aman, menaiki tangga. Aku memimpin, indraku waspada penuh. Kami sampai di perpustakaan.
"Adhitama, posisi?"
"Di dapur," bisik Adhitama. "Menunggu kalian. Jalan dari perpustakaan ke dapur bersih. Penjaga bodoh itu masih di kamar mandi, kurasa alarm microwave Sari membuatnya sakit perut atau semacamnya."
Kami menyelinap keluar dari perpustakaan, bergerak cepat menyusuri koridor gelap menuju dapur. Dr. Aris bergerak dengan kaku, terengah-engah karena panik, tapi Rio anehnya tenang. Mungkin bagi anak seumurnya, ini benar-benar terasa seperti petualangan.
Kami sampai di dapur. Adhitama sudah menunggu di dekat pintu belakang, bayangan besar yang menenangkan.
Saat dia melihat Dr. Aris dan Rio, dia mengangguk. Dia menepuk saku kargonya. "Barang aman."
"VIP aman," balasku. "Ayo keluar."
Adhitama membuka pintu dapur perlahan. Udara malam yang lembap menyambut kami.
"Tunggu," suara Sari tiba-tiba tajam. "Berhenti!"
Kami membeku di ambang pintu.
"Ada apa?" bisikku.
"Patroli... mereka tidak berganti shift," kata Sari, suaranya naik satu oktaf. "Mereka... berkumpul. Di depan gerbang selatan. Tempat kita masuk."
"Apa mereka tahu kita di sini?" tanya Adhitama.
"Tidak... tidak ada alarm. Tapi... ada mobil yang baru datang. Sedan hitam. Pelat nomor... oh, tidak."
Jantungku berhenti berdetak.
"Apa, Sari? Siapa?"
"Pelat korps diplomatik... tapi palsu. Itu mobil Cakra. Mobil eksekutif. Seseorang datang berkunjung. Larut malam."
"Siapa?"
"Aku memindai wajah yang keluar dari mobil... Bima, Adhitama... itu bukan eksekutif. Itu mereka."
Mereka.
Aku tidak perlu bertanya lagi.
Kadek dan Rania. Pembersih.
Mereka tidak datang karena alarm. Mereka datang untuk... inspeksi rutin? Atau mungkin untuk mengambil Dr. Aris? Tidak peduli alasannya. Mereka ada di sini. Di dunia nyata. Di sisi lain tembok itu.
Dan mereka berdiri tepat di antara kami dan titik ekstraksi.
"Mereka berjalan masuk ke halaman," lapor Sari, suaranya bergetar. "Mereka akan melewati taman dalam tiga puluh detik. Jika kalian keluar sekarang, kalian akan bertabrakan langsung dengan mereka."
Kami terjebak. Di dapur sebuah vila mewah, dengan seorang ilmuwan panik dan anaknya, sementara dua monster terkuat Cakra sedang berjalan menuju pintu depan.
Dr. Aris melihat ekspresi wajahku. "Ada apa? Siapa yang datang?"
Aku menatap Adhitama. Wajahnya pucat, tapi rahangnya mengeras. Dia mengingat simulasi. Dia mengingat bagaimana Kadek melumpuhkannya dengan satu tatapan.
"Rencana B?" tanya Adhitama pelan.
"Tidak ada Rencana B untuk ini," kataku. "Kita tidak bisa melawan mereka. Tidak dengan paket ini."
Aku menatap sekeliling dapur. Pintu belakang menuju taman. Pintu depan menuju ruang tamu.
"Sari," kataku, memaksa suaraku tetap tenang. "Apakah ada jalan lain keluar dari properti ini? Jalan yang tidak melewati taman selatan?"
"Sisi utara... tebing," kata Sari. "Vila ini dibangun di tepi lembah sungai. Ada dinding penahan tanah setinggi sepuluh meter. Di bawahnya sungai berbatu."
"Adhitama," kataku. "Tali."
Adhitama mengerti. "Kau gila. Bawa anak kecil menuruni tebing?"
"Pilihannya adalah tebing atau Kadek," kataku.
"Tebing terdengar menyenangkan," sahut Adhitama cepat.
"Ayo," perintahku. "Ke arah utara. Lewat ruang makan."
Kami berbalik, menjauh dari pintu dapur, bergerak lebih dalam ke rumah untuk mencapai sisi lain.
Tepat saat kami melintasi ruang makan yang gelap, lampu gantung kristal di atas kami tiba-tiba menyala terang benderang.
Kami semua membeku, terpapar cahaya seperti tikus.
"Sialan," umpat Adhitama. "Siapa yang menyalakan lampu?!"
"Bukan aku!" teriak Sari di telinga kami. "Sistemnya... sistemnya diambil alih! Seseorang mengusirku dari jaringan! Ada telepat yang memaksa masuk ke sistem keamanan secara manual!"
Rania. Dia tidak perlu meretas. Dia bisa 'mendengar' pikiran penjaga di ruang kontrol dan memaksanya menekan tombol.
Sebuah suara yang diperkuat terdengar dari pengeras suara rumah, suara wanita yang halus, sopan, dan menakutkan.
"Selamat malam, tamu tak diundang. Kami tahu kalian ada di ruang makan. Tolong jangan bergerak, atau kami akan terpaksa bersikap tidak sopan."
Suara Rania.
Dr. Aris memekik ketakutan, memeluk Rio.
Dari arah ruang tamu depan, pintu ganda terbuka. Dua sosok berjalan masuk dengan santai. Pria berjas rapi yang tersenyum ramah, dan wanita berwajah tajam di sampingnya.
Kadek dan Rania.
Versi nyata mereka terlihat lebih manusiawi, yang entah kenapa membuat mereka jauh lebih mengerikan daripada versi simulasi.
Kadek melihat kami—aku, Adhitama, Dr. Aris, dan Rio—berkumpul di dekat meja makan panjang. Dia tersenyum, seolah bertemu teman lama.
"Nah, nah," katanya. "Lihat apa yang kita temukan di sini. Tikus-tikus kecil mencoba mencuri keju."
Dia menatap Adhitama, lalu matanya menyipit. "Tunggu. Kau... anak besar itu. Dan kau..." dia menatapku. "Si penghapus."
Senyumnya melebar, menjadi sesuatu yang buas.
"Tampaknya rumor tentang 'Tim Hantu' di Stasiun Gambir itu benar. Dan kalian cukup bodoh untuk datang ke kandang singa."
Dia melangkah maju, mengangkat tangannya. Aku merasakan tekanan gravitasi yang familiar mulai menumpuk di udara, membuat piring-piring di atas meja bergetar.
"Adhitama," bisikku. "Ingat Level 2. Jangan lawan dia."
"Lalu apa?!" desis Adhitama, keringat membasahi wajahnya.
"Kita lakukan apa yang Pak Tirtayasa katakan," kataku, mataku mencari jalan keluar. "Kita lari."
"Tapi bagaimana?!"
Aku menatap meja makan mahoni besar dan berat di depan kami. Lalu aku menatap jendela kaca besar di belakang kami yang menghadap ke tebing utara.
"Adhitama," kataku. "Meja ini."
Dia menatap meja itu, lalu menatapku. Dia mengerti.
"Dr. Aris, Rio, berlindung di balik kami!" teriakku.
"Sayang sekali," kata Kadek. "TEKANAN!"
BOOM!
Gravitasi di ruangan itu meningkat sepuluh kali lipat. Kaki meja mahoni itu patah seketika. Dr. Aris jatuh terjerembap. Aku dan Adhitama dipaksa berlutut, tulang-tulang kami berderit.
Tapi kami sudah siap.
"SEKARANG!" teriakku.
Aku tidak melawan gravitasi. Aku menggunakannya. Aku meletakkan tanganku di lantai marmer di bawah meja yang sudah patah itu. Rapuhkan.
Lantai di bawah kami hancur karena berat kami sendiri yang ditambah gravitasi Kadek.
Kami jatuh ke ruang bawah tanah—bukan ruang aman, tapi gudang anggur di bawah ruang makan.
Kadek meraung marah di atas.
Kami mendarat di atas tumpukan botol anggur yang pecah. Bau alkohol menyengat.
"Jendela!" teriakku, menunjuk jendela ventilasi kecil di dinding gudang yang mengarah ke lereng bukit.
"Itu terlalu kecil!" teriak Dr. Aris panik.
"Adhitama!"
Adhitama, dengan hidung berdarah karena tekanan gravitasi tadi, berlari ke dinding itu.
"Buka jalan!" raungnya.
Dia menghantam dinding di sekitar jendela itu. Bukan satu pukulan. Serangkaian pukulan cepat yang meretakkan bata. Dinding itu jebol, memperlihatkan malam yang gelap dan jurang di bawahnya.
"Keluar! Keluar!"
Aku mendorong Dr. Aris dan Rio keluar melalui lubang itu. Mereka terguling di tanah berlumpur di lereng tebing. Adhitama menyusul.
Aku yang terakhir. Tepat saat aku akan melompat keluar, langit-langit gudang anggur di atasku mulai runtuh. Kadek sedang menghancurkan lantai ruang makan untuk mengejar kami.
Aku melompat keluar ke dalam kegelapan, meluncur di tanah basah, tepat saat gudang anggur di belakangku meledak dihantam puing-puing.
Kami berada di luar. Di lereng tebing yang curam dan gelap. Sungai berbatu menderu di bawah. Dan di atas kami, dua pasang mata menyala menatap dari lubang di dinding vila.
Perburuan telah dimulai.