NovelToon NovelToon
MAHKOTA SAMUDRA Darah Dan Janji

MAHKOTA SAMUDRA Darah Dan Janji

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Istana/Kuno
Popularitas:469
Nilai: 5
Nama Author: penulis_hariku

“Mahkota Samudra bukan sekadar lambang kejayaan, melainkan kutukan yang menyalakan api cinta, ambisi, dan pengkhianatan. Di tengah pesta kemakmuran Samudra Jaya, Aruna, panglima muda, terjebak dalam cinta mustahil pada Putri Dyah, sementara Raden Raksa—darah selir yang penuh dendam—mengincar takhta dengan segala cara. Dari kedalaman laut hingga balik dinding istana, rahasia kelam siap menenggelamkan segalanya.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penulis_hariku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 30. Janji dibawah purnama

Malam itu Samudra Jaya belum benar-benar tenang. Lentera-lentera di pelataran masih menyala, menggantung di udara yang berat oleh dupa dan sisa angin perang. Dari kejauhan, gemerincing gamelan masih terdengar, namun sayup — seperti gema dari pesta yang mulai kehilangan maknanya. Di paviliun timur, Raden Kusumanegara berdiri di depan jendela terbuka. Angin malam berembus pelan, membawa aroma cempaka dari taman. Di bawah cahaya rembulan, wajahnya tampak teduh tapi matanya menyimpan sesuatu yang dalam — campuran tekad dan rahasia. Ia menyentuh bibirnya sendiri, seolah masih merasakan sisa ciuman singkat yang tadi ia berikan pada Putri Dyah. Senyum samar muncul di wajahnya.

“Bimbang, ya?” gumamnya lirih. “Tak apa... karena dari kebimbangan itulah cinta sejati tumbuh.” Langkah-langkah lembut terdengar dari luar. Seorang pengawal pribadi Mandalapura masuk, membungkuk hormat.

“Raden,” katanya, “utusan dari Mandalapura baru tiba. Mereka membawa surat dari Sri Baginda Ayahanda.” Kusumanegara menatapnya sebentar, lalu mengangguk.

“Letakkan di mejaku.”

Setelah sang pengawal pergi, ia membuka gulungan surat bersegel naga emas itu. Matanya membaca setiap baris dengan seksama.

‘Putraku, keadaan di Mandalapura genting. Parang Giri tidak benar-benar kalah; mereka hanya mundur untuk menyusun siasat baru. Pulanglah segera setelah perjamuan kerajaan, dan bawa kabar baik dari Samudra Jaya. Ingat, perjodohan dengan Putri Dyah bukan sekadar ikatan cinta, tetapi perjanjian darah antara dua kerajaan. Jangan biarkan perasaan mengacaukan tugasmu.’

Kusumanegara menutup surat itu perlahan. Tatapannya dingin sesaat, lalu berubah lembut.

“Perasaan, Ayahanda?” bisiknya. “Terkadang... justru perasaanlah yang membuat seorang pemimpin mampu bertahan.” Ia melangkah ke balkon. Dari sana, tampak pelataran belakang istana yang sunyi, di mana seseorang berdiri menatap bulan — Panglima Aruna. Kusumanegara menatapnya lama.

“Lelaki itu,” ujarnya pelan, “berdiri di antara cinta dan kesetiaan... tempat paling berbahaya bagi hati manusia.”

Sementara itu, di taman dalam istana, Putri Dyah berjalan seorang diri. Selendang putihnya melambai lembut ditiup angin, rambutnya tergerai sebagian, dan langkahnya ringan tapi penuh beban pikiran. Langit malam seolah ikut mendengarkan desah napasnya yang tak menentu.

Ia berhenti di tepi kolam teratai, tempat bayangan bulan memantul di air bening. Tangannya menyentuh permukaan air pelan-pelan, membiarkan riaknya menggoyang pantulan wajahnya.

“Aruna...” bisiknya nyaris tak terdengar. Bayangan Panglima Aruna terlintas di pikirannya — tatapan teduhnya, cara ia menunduk setiap kali sang putri lewat, dan kesunyian yang mereka bagi tanpa pernah saling menyentuh. Hatinya berguncang. Ia menyentuh dadanya sendiri.

“Dewata... mengapa hati ini begitu rapuh?”

Suara langkah kaki membuatnya menoleh cepat. Di balik pepohonan, Panglima Aruna muncul perlahan, tanpa baju perang, hanya mengenakan kain hitam dan sabuk kulit sederhana. Wajahnya tampak lelah, tapi matanya jernih dan dalam.

“Paduka Putri,” ucapnya pelan, memberi hormat. “Maafkan bila hamba lancang berjalan di taman malam ini.” Putri Dyah menatapnya sebentar, kemudian menunduk. “Tidak perlu meminta maaf, Panglima. Taman ini bukan milikku seorang. Hamba justru bersyukur ada yang menemani malam yang terlalu sunyi.”

Keduanya terdiam beberapa lama. Angin berhembus pelan, membawa aroma bunga dan bunyi jangkrik malam. Panglima Aruna menatap wajah sang putri dari samping — lembut, tapi berjarak. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, namun tak satu pun yang pantas diucapkan.

“Paduka...” akhirnya ia bersuara lagi, suaranya serak tertahan, “Raden Kusumanegara adalah lelaki baik. Ia akan melindungi Paduka dengan seluruh darahnya.”

Putri Dyah menatapnya, matanya bergetar. “Apakah itu berarti... kau menghendaki aku melupakanmu, Panglima?”

Aruna terdiam. Lalu, dengan napas panjang, ia menjawab,

“Yang hamba kehendaki hanyalah kebahagiaan Paduka, meski itu berarti hamba harus berdiri di bayangan. Bukankah tugas seorang prajurit adalah melindungi, bukan memiliki?”

Air mata bening jatuh di pipi Putri Dyah. Ia berbalik, menatap Aruna lekat-lekat.

“Lalu bagaimana dengan hatiku, Panglima? Apakah aku harus mengorbankannya juga demi negeri?” Aruna menggenggam gagang pedangnya kuat-kuat.

“Kadang... pengorbanan itulah bentuk cinta tertinggi, Paduka.” Keheningan menggantung lama di antara mereka. Hanya suara gemericik air kolam dan desir angin malam yang menjadi saksi. Akhirnya, Putri Dyah melangkah perlahan mendekat. Ia berhenti tepat di depan Aruna — cukup dekat untuk melihat luka kecil di pelipisnya, cukup dekat untuk merasakan panas napasnya.

“Tapi... bagaimana jika aku tak sanggup melupakanmu?” suaranya nyaris seperti doa yang tersesat di udara. Aruna menutup matanya sesaat, menahan debar yang hampir mengkhianatinya. Lalu ia menjawab lirih,

“Maka biarlah aku yang menjadi ingatanmu, Paduka. Ingatan yang tak pernah menuntut untuk dimiliki.” Putri Dyah menatapnya dengan air mata mengalir pelan. Tanpa sadar, ia meraih tangan Aruna — hanya sekejap, hanya sebatas keberanian yang bisa ia miliki malam itu.

Tangan kasar sang Panglima membalas genggaman itu lembut.

“Aruna…” bisik Putri Dyah.

“Hamba di sini, Paduka,” jawabnya pelan. Untuk sesaat, waktu berhenti. Bulan memantulkan cahaya di wajah mereka berdua — dua jiwa yang terikat oleh cinta yang tak boleh disebutkan. Namun dari kejauhan, bayangan seseorang tampak memperhatikan mereka di balik pepohonan. Wajah itu tenang, namun matanya tajam seperti mata elang.

Raden Kusumanegara.

Ia berdiri di balik gelap, menyaksikan semuanya tanpa suara. Senyum samar muncul di sudut bibirnya.

“Jadi... inilah kenapa hatimu belum utuh, Putri,” gumamnya perlahan. “Menarik sekali.” Angin malam berhembus dingin, membuat daun-daun bergetar di atas kepala mereka.

Di bawah purnama, tiga hati mulai terikat — bukan oleh takdir yang indah, melainkan oleh cinta, pengorbanan, dan ambisi yang kelak akan menyalakan bara baru di Samudra Jaya.

***

Esok paginya Raden Kusumanegara beserta rombongan Mandalapura pamit untuk kembali ke Mandalapura karena rupanya Parang Giri melancarkan serangannya ke Mandalapura. Raja Harjaya yang mendengar hal itu ikut berduka. Raja Harjaya duduk di singgasananya dengan wajah murung. Di hadapannya, Raden Kusumanegara berlutut dengan pakaian perang ringan, didampingi para pengawal Mandalapura yang siap berangkat kembali ke tanah air mereka.

“Paduka Raja,” ucap Kusumanegara dengan nada hormat, “izinkan hamba memohon diri. Parang Giri telah melancarkan serangan ke Mandalapura. Ayahanda telah memanggil seluruh putra mahkota untuk pulang dan memimpin perlawanan.”

Raja Harjaya menghela napas panjang. “Dewata saksi, aku tak menyangka Parang Giri berani secepat ini. Baru saja darah perang di Samudra Jaya kering, kini bara itu menjalar ke Mandalapura.” Ia menatap Kusumanegara dengan iba. “Pergilah, Raden. Jaga negerimu, seperti engkau menjaga kehormatan dua kerajaan. Dan sampaikan salamku pada Sri Baginda Mandalapura. Semoga perjanjian ini tetap menjadi jembatan, bukan beban.”

Raden Kusumanegara menunduk dalam. “Hamba berjanji, Paduka. Apa pun yang terjadi, Mandalapura tidak akan melupakan Samudra Jaya.” Ketika rombongan Mandalapura mulai bersiap di pelataran istana, Raden Kusumanegara meminta izin untuk berjalan sejenak ke taman kolam belakang — alasan yang tidak banyak dipertanyakan oleh siapapun, kecuali mungkin oleh hatinya sendiri.

Di taman itu, Putri Dyah duduk seorang diri di tepi kolam teratai. Embun masih menggantung di daun-daun bunga, dan permukaan air memantulkan langit pagi yang buram. Ia mengenakan kain biru muda dengan selendang putih — sederhana, tapi tetap memancarkan keanggunan seorang putri kerajaan. Namun wajahnya tampak sendu, matanya sayu menatap pantulan dirinya di air. Langkah-langkah lembut mendekat dari belakang.

“Paduka Putri,” suara itu datang pelan tapi jelas, “hamba datang untuk berpamitan.” Putri Dyah menoleh perlahan. Raden Kusumanegara berdiri di sana, wajahnya tampak tenang namun matanya penuh kesungguhan. Ia membawa sehelai kain kecil bersulam benang emas — lambang Mandalapura.

Putri Dyah menoleh perlahan. “Raden...” suaranya lirih, “apakah Raden hendak berangkat?”

“Ya,” jawab Kusumanegara pelan. “Kabar dari negeri membuat hamba tak bisa menunda lagi.” Ia menatap wajah sang putri yang diterpa cahaya pagi. “Tapi sebelum hamba pergi, izinkan hamba mengucapkan terima kasih... karena Samudra Jaya telah menerima kami dengan segala kehormatannya — dan karena Paduka...” ia berhenti sejenak, “telah membuat hari-hari hamba di sini lebih berarti.”

Putri Dyah menunduk. “Raden terlalu berlebih dalam berkata. Hamba hanya menjalankan kewajiban sebagai putri kerajaan.” Kusumanegara tersenyum tipis. “Mungkin. Tapi hati manusia tak selalu bisa dibatasi oleh kewajiban, bukan?” Kata-kata itu membuat Putri Dyah terdiam. Ia ingin menanggapi, tapi lidahnya kelu. Hatinya bergetar — antara hormat, kagum, dan sesuatu yang belum sempat ia pahami. Dalam diamnya, bayangan Panglima Aruna kembali melintas di benaknya, menimbulkan riuh yang tak mampu ia redam.

Raden Kusumanegara melangkah lebih dekat. “Putri Dyah,” ucapnya lagi dengan nada lembut, “jika Dewata mengizinkan, suatu hari kelak, izinkan hamba datang bukan sebagai utusan perang... melainkan sebagai lelaki yang datang membawa ketulusan.” Putri Dyah menatapnya. Ada sesuatu di balik kata-kata itu yang membuat dadanya sesak. “Raden... jangan berjanji pada sesuatu yang belum tentu dapat Raden tepati,” katanya pelan. “Dunia kita ditentukan oleh tahta dan darah. Bukan oleh hati.”

Kusumanegara menggeleng perlahan. “Tapi bukankah hati yang menjaga tahta agar tak kehilangan arah?” Sunyi kembali menyelimuti taman. Di kejauhan terdengar suara pelan dari prajurit yang sedang menyiapkan kuda. Waktu mereka hampir habis. Kusumanegara menatap Putri Dyah lama — tatapan yang dalam dan tak terucap. Lalu dengan langkah perlahan, ia mendekat, menundukkan kepala sedikit, dan berkata lirih, “Izinkan hamba membawa doa Paduka sebagai pelindung di perjalanan.”

Putri Dyah hanya bisa mengangguk. “Dewata menyertai langkahmu, Raden,” katanya dengan suara bergetar. Kusumanegara melangkah lebih dekat, jarak mereka kini hanya sejengkal. “Terima kasih, Putri. Doamu lebih berarti daripada seribu pedang yang terhunus.” Ia lalu mengeluarkan selendang kecil dari dalam lipatan bajunya. “Ini... tenunan dari ibu hamba. Ia berkata, berikanlah kepada seseorang yang membuatmu ingin pulang.”

Putri Dyah terdiam. “Mengapa Raden memberikannya kepada hamba?”

“Karena, Paduka,” jawab Kusumanegara perlahan, “sejak malam itu... aku tahu, alasan untuk pulang sudah aku temukan.” Putri Dyah menatapnya lama. Dalam hatinya, ia tak tahu harus menjawab apa. Ada rasa haru, ada pula rasa bersalah yang membebani dadanya. Ia membuka mulut hendak berkata sesuatu, namun tak sempat — karena Raden Kusumanegara telah menundukkan wajahnya, mendekatkan jarak di antara mereka. Semuanya terjadi cepat. Sebuah sentuhan singkat, lembut, tapi penuh makna — seperti janji yang tak diucapkan.

Putri Dyah membeku, matanya membesar. Ia tak sempat menghindar, bahkan tak sempat berpikir. Yang ia rasakan hanya degupan jantung yang tiba-tiba tak beraturan. Dan pada saat yang sama — dari jalan setapak di seberang taman — seorang lelaki berhenti melangkah.

Panglima Aruna.

Ia baru saja lewat membawa laporan dari pengawal istana, namun pandangannya terpaku pada dua sosok di bawah pohon kamboja itu. Wajahnya memucat, matanya membulat, lalu perlahan memejam. Sejenak ia terdiam di tempatnya, menahan napas, seolah takut suaranya sendiri akan pecah. Tatapannya kosong — bukan karena marah, tapi karena luka yang terlalu dalam untuk diucapkan.

Tanpa suara, ia menunduk. Langkahnya berbalik, menjauh perlahan dari taman. Setiap langkah terasa berat, seolah bumi menahan kakinya agar tidak pergi.

Di kejauhan, Putri Dyah menyentuh bibirnya pelan — wajahnya penuh kebingungan dan rasa bersalah. Sementara Raden Kusumanegara hanya menatapnya dalam diam, lalu berbisik lembut,

“Maafkan hamba, Putri... tapi biarlah kenangan ini menjadi pengingat, bahwa ada hati yang menunggumu di Mandalapura.” Ia menunduk hormat, lalu berbalik meninggalkan taman, langkahnya tegap menuju rombongan yang telah menunggu di pelataran. Dan dari balik dinding batu taman, angin berembus membawa suara samar — helaan napas tertahan dari seorang panglima yang menatap langit biru pudar sambil berbisik getir,

“Selamat jalan, Raden... semoga Dewata melindungimu. Dan semoga aku mampu melindungi hati yang kini bukan milikku lagi.”

****

Sementara itu setelah kepulangan Raden Kusumanegara dan rombongannya ke Mandalapura. Balairung Samudra Jaya kembali serius karena ancaman tidak hanya datang dari parang Giri tapi juga dari kapal-kapal Kawi Mandala. Kapal-kapal itu sudah bergerak sejak tiga hari yang lalu, sejak Samudra Jaya menghadapi Parang Giri di benteng Narasoma.

Raja Harjaya kembali mengatur siasat, tapi pikiran Raden Raksa justru berbeda rupanya gudang persenjataan hilang beberapa minggu yang lalu karena Kawi Mandala yang mengecoh Samudra Jaya. Tapi justru Raden Arya membantah dan terus mencurigai sang adik.

“Apa maksud kakang, apakah kakangmas mencurigaiku?”tanya Raden Raksa. Raden Arya menatap tajam adiknya.

“Dimana kau saat aku dan pasukanku berperang melawan Parang Giri satu minggu yang lalu, kau...justru duduk nyaman di istana sementara aku dan pasukanku harus bermandi darah diperbatasan barat, dan kau hanya mementingkan dayang istanamu itu dari pada kerajaan, Raksa!” ucap Raden Arya emosi suaranya menggelegar di balairung membuat para bangsawan tertunduk.

“Jaga ucapanmu kakang, kapal-kapal Kawi Mandala mendekat ke dermaga selatan mereka mencuri persiapan logistik dan senjata kita, kau pikir aku diam saja. Kau sudah kelewat batas kakang,”

“Batas?” Raden Arya maju satu langkah, suaranya semakin tajam. “Batas itu sudah kau langgar sejak kau lebih sibuk dengan urusan hatimu sendiri ketimbang rakyat di perbatasan!” Nada itu menusuk lebih dalam daripada tuduhan apa pun. Raden Raksa mengepalkan tinjunya, rahangnya menegang. “Kau tak tahu apa-apa tentang alasan di balik pilihanku. Jangan sok tahu.” Raden Arya tertawa pendek—getir dan dingin. “Ah, tentu saja kau akan bersembunyi di balik alasan. Kau pikir semua orang di sini tidak tahu, Raksa? Bahwa setiap keputusanmu selalu dipenuhi pertimbangan pribadi. Kau menolak ikut rapat siasat, menunda latihan pasukan, hanya karena kau takut kehilangan sesuatu yang bahkan tak pernah jelas bentuknya.”

Raden Raksa menatap tajam. “Cukup!” bentaknya. “Kau menuduhku tanpa dasar, hanya karena hatimu sendiri terbakar iri.” Sekali lagi, balairung bergemuruh oleh bisik-bisik para bangsawan. Raja Harjaya menggenggam sandaran singgasananya, matanya muram dan berat.

“Iri?” Raden Arya mengulang kata itu dengan nada rendah tapi menggigit. “Aku iri pada apa, Raksa? Pada seorang adik yang tak tahu diri? Pada lelaki yang mencoreng nama keluarga demi ambisinya sendiri?” Namun di balik nada marahnya, ada sesuatu yang lain dalam tatapan Raden Arya—bukan sekadar amarah, melainkan luka. Luka yang sudah lama ia sembunyikan. Ia menatap lantai sejenak, lalu menatap adiknya lagi. “Kau tahu, Raksa... aku tidak peduli kalau kau ingin berbuat sesukamu. Tapi ketika seseorang yang aku hormati lebih percaya padamu daripada aku—meski jelas kau sering mengingkari perintah ayahanda—itu… menyakitkan.” Raden Raksa terdiam. Untuk sesaat, ia tidak melihat kakaknya sebagai lawan, melainkan sebagai bayangan dari masa kecil mereka—dua anak lelaki yang dulu bersaing untuk diakui, namun kini terpisah oleh tembok kebanggaan. Raja Harjaya akhirnya berdiri, suaranya menggema memenuhi balairung.

“Cukup!!”

Getaran suaranya membuat semua menunduk dalam, termasuk kedua pangeran.

“Aku tidak ingin mendengar tentang iri hati dan rasa tidak puas di hadapan singgasana ini! Kalian adalah darah dagingku, pewaris Samudra Jaya! Bukan anak kecil yang bertengkar karena perasaan!” Keheningan menelan ruangan. Raden Arya menunduk dalam, wajahnya memerah karena malu dan amarah yang belum reda. Raden Raksa pun menatap lantai, namun matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam—perih, sekaligus tekad yang mulai tumbuh.

Raja Harjaya memejamkan mata, menahan letih di dada. “Keluar kalian berdua. Jangan kembali ke balairung ini sebelum kalian tahu arti hormat dan tanggung jawab.” Kedua pangeran itu berlutut, memberi hormat, lalu melangkah keluar tanpa sepatah kata. Di balik pintu besar balairung, langkah mereka terpisah ke arah berlawanan. Raden Arya menuju pelataran timur—membawa amarah yang belum padam. Raden Raksa ke lapangan latihan—membawa luka yang tak bisa diucapkan. Jauh di benteng selatan angin laut membawa kabar kapal-kapal Kawi Mandala telah berlabuh di dermaga selatan. Sementara dua pangeran Samudra Jaya masih berperang—bukan dengan musuh, tapi dengan hati mereka sendiri.

Raden Raksa berdiri di pintu masuk lapangan latihan nafasnya memburu karena emosinya dengan sang kakak, dia berjalan dengan cepat lalu merebut pedang kayu milik prajurit yang tengah berlatih lalu mengayunkan pedangnya pada prajurit yang menjadi lawan dengan keras.

“Latihan macam apa ini?!” suaranya menggema lantang, membuat para prajurit yang tadinya berbaris rapi serentak menunduk. “Bagaimana kalian hendak menjaga Samudra Jaya jika tangan kalian gemetar bahkan sebelum berperang?”

Ia menatap satu per satu wajah prajurit di hadapannya, tajam seperti bilah mata pisau. Tak ada satu pun yang berani membalas tatapan itu. Angin berhembus kencang, membawa aroma keringat dan debu yang bercampur dengan hawa tegang.

“Kau!” seru Raden Raksa, menunjuk seorang prajurit muda di barisan depan. “Kemarilah! Angkat pedangmu, lawan aku!”

Prajurit itu gemetar. Ia tampak menelan ludah, ingin berkata sesuatu, tapi lidahnya kelu. Semua orang tahu, ketika sang pangeran marah, tak seorang pun boleh melawan atau mencoba menenangkannya. Namun di balik ketegasan Raden Raksa, semua juga tahu tak ada yang berani membuatnya merasa diremehkan.

“Tuanku…” suara prajurit itu bergetar lirih, “hamba tidak pantas melawan panjenengan.”

“Diam!” bentak Raden Raksa, matanya menyipit. “Kau pikir aku akan membunuhmu hanya karena pedang kayu ini? Lawan aku, sekarang!” Dengan enggan, sang prajurit mengangkat pedangnya. Tubuhnya bergetar ketika bilah kayu itu beradu keras dengan pedang Raden Raksa. Suara dentuman kayu terdengar bertubi-tubi, cepat dan berat. Setiap ayunan Raden Raksa begitu kuat, seperti hendak memecah udara. Beberapa prajurit lain yang menyaksikan hanya bisa menahan napas. Mereka tahu, yang sedang terjadi bukan latihan—melainkan pelampiasan amarah.

Prajurit muda itu terpukul mundur beberapa langkah. Napasnya tersengal, peluh menetes dari pelipisnya. Namun sebelum sempat ia menarik napas panjang, Raden Raksa kembali maju, menebas keras, membuat pedang kayu sang prajurit terlepas dari genggaman.

“Lemah!” desis Raden Raksa, matanya tajam. “Seperti semua orang di istana yang hanya pandai bicara dan menunduk tanpa arti!” Namun sebelum ia melangkah lagi, sebuah tangan kuat mencekal pergelangan tangannya. Suara berat tapi tenang terdengar di belakangnya.

“Cukup, Gusti Pangeran.”

Raden Raksa menoleh cepat. Di hadapannya kini berdiri Panglima Aruna, dengan sorot mata tenang namun tegas, seperti samudra dalam badai. Jubah perang Aruna masih berdebu, tanda ia baru kembali dari pelatihan pasukan di barat.

“Lepaskan aku, Aruna,” ucap Raksa dingin, menatap tajam panglimanya.

“Dengan segala hormat, tidak, Gusti,” jawab Aruna tegas. “Lapangan latihan bukan tempat untuk melampiaskan kemarahan. Mereka adalah prajurit, bukan sasaran amarah.”

“Amarah?” Raden Raksa menyeringai miris. “Kau pikir aku marah hanya karena pertengkaran di balairung? Tidak, Aruna. Aku marah karena aku berjuang sendirian, sementara kakangmas selalu menganggapku pengkhianat!”

Aruna menatap lekat wajah sang pangeran yang kini memerah karena menahan emosi. “Aku tahu perasaanmu, Gusti. Tapi setiap prajurit di sini menatapmu sebagai panutan. Jika panutannya kehilangan kendali, bagaimana mereka bisa percaya pada kemenangan?”

Ucapan itu membuat Raden Raksa terdiam sesaat. Napasnya masih berat, tapi genggaman di pedangnya mulai mengendur.

“Semua orang di istana selalu menilai dari apa yang mereka lihat,” lanjut Aruna perlahan. “Tapi aku tahu siapa dirimu, Gusti. Kau berani, cepat bertindak, dan tak pernah mundur dari tanggung jawab. Jangan biarkan kemarahanmu membuat mereka lupa siapa sebenarnya Raden Raksa yang kukenal.” Raden Raksa menepis cekalan tangan Aruna dengan kasar, tapi tak melanjutkan perlawanan. Ia menatap pedang kayu di tangannya beberapa lama, lalu melemparkannya ke tanah dengan suara keras.

“Biarkan aku sendiri,” katanya pelan, namun tegas.

Aruna memberi isyarat pada para prajurit agar meninggalkan lapangan. “Kalian, istirahat. Jangan ganggu Gusti Pangeran.”

Para prajurit pun segera menunduk dan mundur perlahan, meninggalkan lapangan yang kini hanya tersisa dua orang sang panglima dan pangeran muda yang masih bergulat dengan pikirannya sendiri. Beberapa saat tak ada suara selain desir angin. Raden Raksa memejamkan mata, mencoba menenangkan dadanya yang masih bergemuruh. Ia merasa seperti terjebak di antara dua medan perang—yang satu di luar tembok istana, dan yang satu di dalam hatinya sendiri.

“Aruna…” suaranya pelan, serak. “Kau percaya aku berkhianat?”

Panglima Aruna menatapnya dengan tenang. “Tidak, Gusti. Tapi aku percaya padamu hanya jika kau tetap memegang kendali atas dirimu. Itu satu-satunya cara membuktikan bahwa tuduhan itu salah.” Raden Raksa menarik napas dalam. Tatapannya yang tadi penuh amarah perlahan mereda, berganti dengan kelelahan dan kekecewaan. Ia mengangguk kecil tanpa berkata apa-apa. Aruna menunduk hormat, lalu melangkah pergi meninggalkan lapangan. Saat sosoknya menjauh, Raden Raksa mendongak menatap langit yang mulai kelabu.

“Selalu aku yang disalahkan,” gumamnya lirih, setengah pada diri sendiri. “Tapi baiklah, Kakang… jika dunia ingin menganggapku pengkhianat, maka biarlah aku buktikan dengan caraku sendiri siapa yang benar-benar menjaga Samudra Jaya.” Angin sore berhembus pelan, membawa aroma laut dari arah selatan. Dari kejauhan, samar terdengar bunyi tabuh peringatan dari menara penjaga—tanda bahwa kapal-kapal asing mulai menampakkan layar di ufuk laut.

Namun di lapangan itu, seorang pangeran muda masih berdiri diam. Di dalam dadanya, amarah dan tekad mulai melebur menjadi satu menjadi api yang kelak akan menentukan nasib Samudra Jaya.

1
Yuuko Ichihara
Tersentuh banget dengan kisah ini.
Indah Devi: terima kasih /Smile/
total 1 replies
kokichi.oma.panta
Wuihh! Simpel tapi menghibur banget ni novel.
Indah Devi: terima kasih /Smile/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!