NovelToon NovelToon
Aku Tak Percaya Cinta, Ayah

Aku Tak Percaya Cinta, Ayah

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Selingkuh / Obsesi / Keluarga / Angst
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author:

"Aku nggak tahu, dari mana semuanya menjadi retak dan berantakan seperti ini. Yang kuingat, hanya ada satu titik ketika hidupku berubah drastis. Ibuku pergi meninggalkan rumah bersama dengan lelaki lain. Meski ayahku tegar dan tabah, pada akhirnya dia menyerah dan menikahi perempuan lain. Brian, adalah satu-satunya tempat dan rumah terakhir yang aku harapkan. Tetapi, dia pun juga menorehkan luka yang tak bisa kumaafkan."

Aku tak lagi percaya pada cinta, Ayah.
Tak lagi."

~ Serena Azura Auliana~

:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+

Serena telah kehilangan kepercayaannya pada cinta. Semua orang yang pernah ia cintai, yang begitu ia percayai dan anggap berarti dalam hidupnya, ternyata dengan mudah menghianati cinta itu.

Hatinya hancur berkeping-keping. Bukan sekadar patah--tapi benar-benar remuk, hingga tak tersisa apa pun selain reruntuhan yang menyakitkan. Tak ada lagi yang tertinggal, kecuali kekecewaan yang dalam, dan trauma yang perlahan menggerogoti jiwa.

Masa Lalu Serena

Setiap manusia menyimpan luka dalam dirinya—ada yang terlihat jelas di permukaan, namun lebih banyak yang tersembunyi rapat di balik senyum dan tawa yang dipaksakan. Ada yang terluka karena kehilangan orang yang mereka cintai, ada pula yang hancur karena dikhianati oleh mereka yang paling dipercaya. 

Luka-luka itu tak selalu sembuh; sebagian harus ditanggung seumur hidup, menjadi beban yang diam-diam mengikis dari dalam. Dan seperti gelombang badai yang tak pernah benar-benar reda, rasa sakit itu datang silih berganti—memaksa mereka untuk bangkit, meski tubuh dan jiwa telah ringkih dihantam kenyataan.

Hidup. Bagi sebagian orang, bukan tentang mencari kebahagiaan, melainkan tentang bertahan. Mereka yang kuat akan terus melangkah meski tertatih, memeluk duka sambil berpura-pura baik-baik saja. 

Sementara yang tak lagi sanggup memikul beban, mereka perlahan menyerah ... dan mengakhiri penderitaan dengan menjemput kematian lebih cepat. 

Bukan karena mereka menginginkan kematian itu sendiri—justru merekalah orang-orang yang paling ingin hidup, yang paling mendambakan hari esok yang lebih baik, yang paling ingin merasakan hangatnya kebahagiaan seperti manusia lain. Namun luka yang mereka tanggung terlalu dalam, terlalu menyesakkan, terlalu menyakitkan, dan mereka sudah lelah bertarung sendirian dalam kegelapan yang tak pernah usai. 

Rasa sakit yang mereka alami tak lagi sekadar perih—ia telah menjelma menjadi rumah bagi keputusasaan. Dan tak semua orang diberkahi kemampuan untuk memahami rasa sakit dan luka orang lain.

Memang pahit, tapi beginilah kenyataannya: empati sering kali dikerdilkan maknanya, direduksi menjadi sekadar ajang perbandingan penderitaan—seolah siapa yang paling menderitalah yang paling pantas mendapat belas kasih.

Tak seorang pun berhak menakar rasa sakit orang lain, apalagi memberinya persentase. Luka bukanlah sesuatu yang bisa dibandingkan, karena keduanya sama-sama memikul perih.

Hanya saja, luka yang mereka terima, lahir dari alasan yang berbeda.

Serena kehilangan sosok paling berarti dalam hidupnya—seseorang yang selama ini ia anggap sebagai tempat pulang, pelabuhan terakhir dari segala lelah dan luka. Sosok yang dipujanya sebagai lambang kelembutan, kehangatan, dan cinta yang konon abadi sepanjang masa.

Namun bukan maut yang memisahkan mereka, melainkan sebuah pengkhianatan yang tak pernah sekalipun terlintas dalam benaknya—bahkan sehalus biji zarrah pun tidak.

Bayangkan saja bagaimana rasa sakitnya—ketika seseorang yang begitu engkau percaya sepenuh hati, yang selama ini memelukmu dengan kasih tak bersyarat, justru tega meninggalkanmu demi pria lain?

Bagi Serena, luka itu bukan sekadar kehilangan. Itu adalah runtuhnya seluruh pondasi hidup yang selama ini ia genggam erat. Kepercayaannya hancur, dan bersama itu—rasa aman yang selama ini menaunginya turut lenyap. Yang tersisa hanya kehampaan, pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban, dan cinta seorang anak yang menggantung di udara, tak tahu harus dialamatkan ke mana.

Sementara itu, hidup Romi pun runtuh seolah dihantam badai hebat hanya dalam satu malam. Dua sosok yang paling ia percaya—yang paling dekat dengan hatinya—ternyata diam-diam menjalin hubungan di balik punggungnya. Tanpa isyarat, tanpa firasat. Saat ia lengah, keduanya menghilang begitu saja, meninggalkannya dalam kehancuran yang tak terperi.

Wanita yang ia cintai sepenuh hati memilih pergi ... bersama pria yang selama ini ia anggap sebagai saudara sendiri.

Kepercayaan yang dibangun bertahun-tahun hancur dalam sekejap, meninggalkan pertanyaan tanpa jawaban: Di mana letak salahnya? Kapan semuanya mulai retak? Tapi Romi tahu, menyalahkan takdir tak akan mengembalikan apa pun yang sudah berserakan.

Hidup menuntut mereka untuk terus bangkit dan berjalan. Meski luka masih membekas dan masa lalu terus membayangi, Serena dan Romi belajar untuk saling menopang, saling menjaga, dan juga saling menyembuhkan, meskipun butuh waktu untuk itu. 

Mereka tidak pernah memilih luka yang mereka tanggung, tapi mereka memilih untuk tidak tenggelam di dalamnya.

Perjalanan itu tidak mudah. Butuh waktu, air mata, dan keikhlasan yang terus diuji. Namun mereka sadar, hanya ada dua pilihan: menerima dengan hati yang lapang, atau menyerah dalam pelukan keputusasaan.

Waktu pun berlalu tanpa terasa. Hari-hari mereka dipenuhi kebersamaan yang sederhana, namun berkesan hangatnya. Serena dan Romi mulai terbiasa akan kehadiran satu sama lain—menemukan semacam kenyamanan baru yang perlahan tumbuh di antara keduanya. Sebuah kehangatan yang sebelumnya terasa asing, kini menjadi bagian dari hari-hari mereka.

Sampai akhirnya hari itu pun tiba. Hari ketika Romi datang menemuinya dengan raut wajah gelisah—jauh berbeda dari biasanya.Serena tidak tahu apa yang membuat ayahnya sampai sekhawatir ini, tapi nalurinya segera menangkap bahwa ini bukan perkara sepele. Apa pun itu, itu pasti sesuatu yang sangat penting hingga ayahnya tampak berjuang mengumpulkan keberanian hanya untuk mengucapkannya.

"Ayah ingin meminta restu darimu, Nak. Ayah ingin menikah lagi. Dia wanita yang kuat, penyabar, dan in syaa Allah, dia bisa menjadi ibu yang baik untukmu, serta istri yang baik untuk ayah."

Kata-kata itu menggema di kepala Serena.

Serena tidak langsung menjawab. Ia hanya diam, seolah dunia di sekelilingnya berhenti berputar. Apa yang baru saja ia dengar berhasil mengacaukan isi kepalanya. Tak pernah sekalipun ia membayangkan akan berada di posisi ini—mendengar ayahnya meminta restu untuk menikah lagi. Ia belum siap. Sama sekali belum.

Kenangan masa lalu menyeruak dalam kepala gadis itu. Memaksanya kembali teringat dengan episode yang paling menyakitkan dalam hidupnya. Saat di mana ibunya menghilang, tanpa meninggalkan pesan sama sekali.

Rasanya, kejadian menyakitkan itu baru saja terjadi kemarin. Serena belum merasakan hatinya benar-benar pulih atau membaik. Tetapi, ayahnya datang dengan membawa kabar akan menikahi wanita lain. 

Ini benar-benar mengejutkan. 

Bukankah ini terlalu cepat? Atau, hanya dia seorang saja di sini yang masih terus terjebak dalam masa lalu? 

Namun di sela gundah yang menghimpit itu, Serena menyadari satu hal: ia tidak bisa selamanya terus berada di sisi sang ayah. Akan ada waktu ketika ia akhirnya harus melangkah pergi dari rumah ini, membangun hidupnya sendiri, menjalani takdirnya bersama seseorang yang kelak menjadi pasangan hidupnya.

Ketika saat itu tiba, bagaimana dengan ayahnya? Siapa yang akan menemaninya, menikmati masa senjanya, mendengarkan cerita-ceritanya yang tak akan pernah selesai, 

Membayangkannya saja membuat dada Serena sesak. Ia tidak bisa bersikap egois; hanya memikirkan diri sendiri.

Setelah menguatkan hati, Serena akhirnya membuka suara, "Kalau Ayah memang yakin pada wanita itu, dan Ayah bahagia menikah dengannya, Serena merestui pernikahan Ayah. Serena harap, Ayah bisa selalu bahagia."

Tak ada pelukan, tak ada air mata—hanya senyuman tipis yang melengkung di bibir pucat Serena. Di balik restu yang akhirnya ia ucapkan, tersembunyi segunung rasa dan harapan. 

Restu itu bukan sekadar kata, melainkan bentuk keikhlasan yang perlahan ia bangun dari serpihan luka.

Dari  semua rasa yang berkecamuk, hanya satu harapan yang tulus terpatri dalam hatinya: agar sang ayah benar-benar menemukan kebahagiaannya, meski itu berarti harus menggandeng tangan wanita lain.

***

Pernikahan antara Romi dan Sarah dilangsungkan secara sederhana, jauh dari gemerlap pesta atau kemewahan. Sarah tak pernah menuntut banyak—baginya, pernikahan yang sah secara hukum dan agama sudah lebih dari cukup. 

Serena sangat bersyukur, saat mengetahui bahwa bunda sambungnya adalah orang yang baik—jauh dari gambaran seorang ibu tiri yang kejam dalam film kolosal atau cerita dongeng masa kecil.

Wanita itu adalah sosok yang lembut, penyayang, dan penuh perhatian. Setiap harinya, ia selalu berusaha merangkul Serena dengan kasih yang tulus. Namun, perhatian itu justru menjadi beban tersendiri bagi Serena. Semakin Sarah menunjukkan kebaikan, semakin besar rasa bersalah dan sesak di dada Serena—seolah ia mengkhianati kenangan akan ibunya sendiri.

Akhirnya, tepat satu minggu setelah pernikahan itu berlangsung, Serena datang menghampiri ayah dan bunda sambungnya. 

Dengan air mata yang jatuh tanpa bisa dibendung, Serena bersimpuh di hadapan mereka. Ia tak lagi sanggup menyimpan gundah di dalam hati. Ada sesuatu yang harus ia sampaikan—meski menyakitkan.

"Ayah, Bunda," suaranya lirih, hampir tak terdengar. Serak, seperti habis terbakar oleh ratusan tangis yang tak sempat ia keluarkan.

Romi dan Sarah saling berpandangan dengan cemas. Bagaimana tidak? Wajah Serena begitu jelas menunjukkan luka—terlalu rapuh, seperti bisa runtuh kapan saja. 

"Ada apa, Nak? Sini duduk," ucap Romi lembut. Ia menepuk sofa di sebelahnya, memberi isyarat agar putrinya mendekat.

Serena menurut, tapi tidak sepenuhnya. Ia tidak duduk di sofa seperti yang diharapkan oleh sang ayah, melainkan bersimpuh di lantai, menekuk lutut di hadapan kedua orang tuanya. Setelah itu, ia menggenggam tangan kedua orang tuanya dengan erat, erat sekali.

"Ayah, Bunda ... izinkan aku pergi dari rumah ini."

Romi dan Sarah sama-sama terkejut.

Sarah bahkan sampai bertanya dengan suara yang bergetar. "Kenapa kamu mau pergi, Sayang? Apa kamu marah sama Bunda? Jika Bunda sudah membuatmu marah, Bunda minta maaf, Sayang."

Serena menggeleng pelan, matanya masih berkaca-kaca.

"Aku nggak marah atau benci sama Ayah dan Bunda. Sama sekali nggak. Aku justru bersyukur karena kalian bisa bersama. Aku harap, Ayah dan Bunda bisa saling menjaga dan menyayangi, satu sama lain sampai seterusnya. Aku sungguh sangat bahagia untuk Ayah dan Bunda."

"Lalu, kenapa kamu harus pergi, Nak?" tanya Romi, masih belum puas dengan alasan yang diutarakan oleh putrinya itu.

"Bunda. Bunda itu sosok ibu yang sangat baik. Terlalu baik, sampai membuat Re merasa bersalah. Jujur, Re belum bisa menggantikan sosok Ibu di hati ini dengan kehadiran Bunda. Semakin lama Re di sini, rasanya justru Re semakin gak kuat lagi. Re takut, kalau terus begini, Re malah akan menyakiti Bunda dan Ayah, tanpa Re sadari. Jadi, Re mohon ... izinkan Re pergi. Re butuh waktu dan ruang untuk menerima semuanya."

Romi menunduk. Hatinya seperti diiris-iris. Perasaan bersalah menghantamnya bertubi-tubi. Ia merasa bersalah karena telah mengambil keputusan yang terburu-buru, menikahi Sarah tanpa benar-benar memikirkan perasaan anaknya. Tapi di sisi lain, Romi juga tahu dirinya sudah berkomitmen untuk membangun kehidupan baru bersama Sarah.

"Kalau itu yang kamu butuhkan, Ayah nggak akan menahanmu, Nak."

Suara Romi bergetar. Matanya berkaca-kaca saat menatap Serena, putri kecilnya yang kini harus tumbuh dengan semua luka dan trauma di dalam hati.

"Tapi satu pesan ayah. Rumah ini akan selalu jadi tempat kamu pulang. Jadi pulanglah, kapan pun kamu siap."

Mendengar perkataan ayahnya itu, Serena tidak bisa lagi menahan air matanya. Ia tumpah begitu saja bersama hatinya yang merasa lega karena telah mendapatkan izin untuk mencari ketenangan batin di luar sana. 

Serena menyadari betapa sering ia mengecewakan dan membuat ayahnya sedih karena keputusan-keputusannya. Namun, sang ayah selalu menerimanya kembali—lagi dan lagi—dan mencintainya tanpa syarat.

***

Itulah sekelumit kisah keluarga ini—keluarga yang perlahan bersatu kembali, setelah sama-sama dikhianati oleh orang yang dulu paling mereka percayai.

Malam itu, setelah mendengar penjelasan Romi tentang alasan di balik kepergian Serena, Rafa diserang oleh rasa bersalah yang tak bisa ia hindari. Baru sekarang ia menyadari, bahwa saudara sambungya itu tidak pernah berniat meninggalkan siapa pun karena benci—dia hanya ingin menyembuhkan diri dan mencari ketenangan batin, dengan caranya sendiri.

Selama ini, Rafa hanya tahu bahwa Serena ditinggalkan oleh ibunya. Tapi dia tak pernah benar-benar tahu detailnya. Tak ada yang pernah menceritakannya secara langsung, dan dia pun tak pernah bertanya.

Sekarang semuanya terasa berbeda. Rafa mulai memahami betapa dalam luka yang harus ditanggung seorang anak ketika ditinggalkan oleh sosok yang selama ini ia panggil "ibu."

Berbeda dengannya, yang sejak awal memang tak pernah merasakan kehangatan dari seorang ayah—yang hidupnya sudah dipenuhi kekerasan sejak kecil—Serena justru tumbuh dengan harapan, dengan cinta, lalu kehilangan semuanya dalam sekejap. Rafa tak pernah punya kenangan manis tentang ayahnya, sedangkan Serena harus menanggung kehilangan cinta itu saat ia masih sangat membutuhkannya.

Dan untuk pertama kalinya, Rafa merasa sangat egois. Ia merasa telah menjadi sosok paling kejam yang pernah hadir dalam hidup Serena—menyakiti seseorang yang sebenarnya tengah berjuang menyembuhkan luka yang tak pernah ia tahu.

"Aku ingin menemui Mbak Re ... dan meminta maaf padanya. Aku tidak terlambat untuk mendapatkan maaf itu, kan, Ayah?" ucap Rafa pelan, hampir berbisik.

Romi menatap putra sambungnya sambil tersenyum, lalu menepuk bahunya dengan lembut.

"Tidak, Nak. Tidak pernah ada kata terlambat untuk meminta maaf," jawabnya. "Tapi, lebih baik besok pagi saja. Hari sudah malam. Mungkin Mbak Re sudah tidur. Kamu juga sebaiknya istirahat dulu."

Rafa mengangguk perlahan. Ada bagian dari dirinya yang masih gelisah, tapi untuk pertama kalinya, ia merasa lebih ringan. Seolah sebagian beban yang menyesakkan dadanya mulai perlahan luruh. 

"Kalau begitu, Ayah duluan ya ke kamar," ujar Romi sambil berdiri.

"Iya, Ayah. Selamat tidur," balas Rafa.

Romi melangkah keluar dari kamar putranya, menutup pintu perlahan hingga rapat. Tanpa ia sadari, seulas senyum tipis merekah di wajahnya. Ada haru yang menyelusup diam-diam, berpadu dengan rasa lega yang hangat. Di relung hatinya, harapan kecil mulai tumbuh—tentang sebuah rumah sederhana yang dipenuhi cinta, dibangun dengan ketulusan dan kehangatan yang tak pernah putus.

"Semoga esok, hanya akan ada hari yang cerah," pikir Romi.

1
HjRosdiana Arsyam
Luar biasa
Ismi Muthmainnah: Terima kasih sudah mampir dan memberikan komentar. Saya merasa terharu🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!