Keinginan terakhir sang ayah, membawa Dinda ke dalam sebuah pernikahan dengan seseorang yang hanya beberapa kali ia temui. Bahkan beliau meminta mereka berjanji agar tidak ada perceraian di pernikahan mereka.
Baktinya sebagai anak, membuat Dinda harus belajar menerima laki-laki yang berstatus suaminya dan mengubur perasaannya yang baru saja tumbuh.
“Aku akan memberikanmu waktu yang cukup untuk mulai mencintaiku. Tapi aku tetap akan marah jika kamu menyimpan perasaan untuk laki-laki lain.” ~ Adlan Abimanyu ~
Bagaimana kehidupan mereka berlangsung?
Note: Selamat datang di judul yang ke sekian dari author. Semoga para pembaca menikmati dan jika ada kesamaan alur, nama, dan tempat, semuanya murni kebetulan. Bukan hasil menyontek atau plagiat. Happy reading...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siap atau Tidak
Siap atau tidak
“Oppa, kenapa tes kehamilan?” tanya Dinda saat mereka menunggu alat uji kehamilan yang dicelupkan ke urin.
“Kamu kemungkinan hamil, sayang.”
“Oppa tidak salah?”
“Aku juga tidak yakin. Makanya kita tes kehamilan untuk memastikannya.” Dinda menganggukkan kepalanya.
Mereka memang tidak menggunakan pengaman selama berhubungan, tetapi juga tidak menyangka akan secepat ini.
Dinda masih tidak percaya kalau dirinya hamil. Padahal ia tidak merasakan morning sickness seperti yang biasanya muncul di awal kehamilan.
“Dua garis.” Kata Adlan.
“Dua garis artinya aku hamil beneran, Oppa.”
Keduanya saling pandang. Setelah beberapa detik, barulah Adlan memeluk Dinda. Ada rasa Bahagia dan tidak percaya yang bercampur di hati keduanya.
Tok… Tok… Tok…
Pintu kamar mandi di ketuk dari luar, membuat Adlan melepaskan pelukannya.
Ceklek!
Adlan membuka pintu dan segera menemukan istri kepala desa yang ternyata masih menunggu mereka.
“Bagaimana, Mas Adlan?” tanya istri kepala desa.
“Alhamdulillah dua garis, Bu.”
“Alhamdulillah… Ayo Mbak Dinda! Bu Bidan sudah menunggu.”
Dinda mengangguk dan mengikuti langkah istri kepala desa menuju ruangan yang sebelumnya ia tempati.
Setelah memastikan garis dua di alat uji kehamilan, bidan menyarankan Dinda untuk menemui dokter kandungan untuk melakukan USG. Sementara bidan memberikan vitamin untuk Dinda konsumsi dan memintanya untuk memperbanyak konsumsi buah dan sayur agar kadar gula darah terkendali.
Bidan juga menyarankan Dinda untuk mengonsumsi sari kurma untuk menjaga gula darah dan mencegah anemia.
Dari Puskesdes, mereka kembali ke rumah kepala sekolah. Ternyata jenazah orang tua kepala sekolah telah diantarkan ke pemakaman, sehingga hanya tersisa beberapa orang di rumah kepala sekolah. Termasuk Gibran dan Meri yang sengaja menunggu mereka kembali.
“Bagaimana? Bu Dinda, kenapa?” tanya Gibran.
“Mbak Dinda hamil, Pak Gibran!” seru istri kepala desa, yang segera membuat orang-orang yang mendengarnya memberikan selamat.
Hanya Meri yang merasa kesal dengan kabar Bahagia yang didengarnya. Tak ingin berlama-lama, Meri menarik tangan Gibran dan mengajaknya pulang tanpa berpamitan. Gibran yang merasa tidak nyaman, berpamitan secara sekilas dengan mengatakan istrinya sedang buru-buru karena ada urusan.
Di perjalanan pulang, Meri menggerutu di sepanjang jalan, membuat Gibran hanya diam.
“Kamu tidak mendengarku?” tanya Meri yang merasa diabaikan.
“Dengar.”
“Kalau dengar, kenapa tidak mengatakan apapun?”
“Aku harus mengatakan apa?”
“Apa gitu?”
“Dinda hamil itu kabar Bahagia, kenapa kamu yang kesal?”
“Kamu membelanya?” tanya Meri meninggikan suaranya.
“Inilah alasanku diam.” Batin Gibran.
“Aku bukan membelanya. Tetapi kehamilan itu adalah awal kehidupan baru.”
“Kesal aku berbicara denganmu!” Meri bungkam sampai mereka sampai di rumah orang tua Gibran.
Ibu Gibran yang melihat menantunya masuk ke dalam rumah dengan wajah masam, segera menegur anaknya.
“Aku tidak melakukan apa-apa, Bu. Dia hanya kesal.” Jawab Gibran.
“Istri kesal itu pasti ada alasannya!”
“Dinda hamil.”
“Apa?”
“Dinda hamil, Bu.”
“Dinda, anaknya Pak Lilik?”
“Iya.”
“Kamu harus berusaha!”
“Apa hubungannya?”
“Tentu saja adahubungannya! Sesama perempuan yang sudah menikah, tentu istrimu merasa minder karena Dinda hamil.” Gibran membulatkan matanya.
Bukan itu yang membuat Meri kesal, tetapi ia tidak mengatakan apapun dan hanya mengiyakan sang ibu.
Di kamar, Meri memainkan ponselnya dengan duduk bersandar di tempat tidur. Gibran masuk ke kamar dan mengganti pakaiannya, lalu keluar. Ia kembali dengan segelas air dingin di tangannya.
“Minumlah dulu!” Meri menerimanya dan meneguk air sampai habis.
“Apa sudah lebih baik?”
“Belum!”
“Maumu, bagaimana?” Meri diam tidak menjawab.
Gibran yang tidak tahu harus mengatakan apa, juga diam. Ia takut semakin ia berbicara, istrinya semakin kesal kepadanya.
Sementara itu, Dinda dan Adlan yang sudah sampai di rumah, segera mengabari Mama Adlan tentang kehamilan Dinda.
Mama Adlan menyambutnya dengan Bahagia, bahkan beliau mengatakan akan segera menyusul ke desa untuk menjaga menantunya di trimester pertamanya.
Benar saja. Dua jam kemudian, Mama Adlan sudah sampai dengan barang bawaannya yang menurut keduanya berlebihan.
“Kamu ngidam apa? Katakan saja! Nanti Adlan yang akan menurutinya.”
“Mama yang menawari, kenapa aku yang kena?” protes Adlan.
“Dinda istri siapa?”
“Istriku.”
“Anak yang dikandungnya, anak siapa?”
“Ya, anakku.”
“Maka dari itu, kamu yang menurutinya. Kalau Mama atau orang lain yang menurutinya, memangnya kamu rela?”
“Tidak.”
“Bagus kalau begitu!”
Dinda tersenyum melihat suaminya kalah berdebat dengan mama mertuanya. Ia memegangi perutnya yang masih datar.
Kini ada kehidupan di sana. Meski masih tidak menyangka dirinya akan hamil secepat ini, ia merasa Bahagia. Siap atau tidak, ia harus siap karena janin di perutnya akan semakin berkembang ke depannya.
Tidak mungkin ia akan membiarkannya begitu saja. Ia berjanji akan memberikan yang terbaik untuk janin yang ada dikandungnya.
Hari-hari berlalu, Dinda yang tidak mengalami morning sickness melakukan kegiatannya seperti biasa. Hanya Adlan yang menjadi over protektif, karena sang mama yang menceritakan segala kemungkinan yang bisa terjadi di awal kehamilan.
“Kalian jadi ke dokter hari ini?” tanya Mama Adlan.
“Iya, Ma. Dinda sudah izin.” Jawab Dinda yang sudah menghabiskan makanannya.
“Mama ikut sekalian, ya?”
“Boleh.”
“Mama mau apa?” tanya Adlan yang baru keluar dari kamar mandi.
“Mama juga mau lihat cucu Mama.”
“Iya, Ma.” Dinda menjawab lebih dulu sebelum suaminya mengajak mama mertuanya berdebat.
Setelah mereka siap, Adlan melajukan mobilnya ke rumah sakit.
Dinda yang sudah melakukan pendaftaran online, langsung menuju loket untuk mendapatkan nomor antrean.
“Adinda Pratiwi?” panggil perawat.
Adlan mengangkat tangannya secara reflek dan mengajak Dinda masuk ke dalam ruangan, diikuti sang mama.
Di dalam, Dinda lebih dulu menimbang berat badan dan mengukur tekanan darah, sebelum bertemu dengan dokter.
Dinda yang tidak memiliki keluhan apa pun, membuat dokter langsung melakukan USG. Sambil menggerakkan tansduser di perut Dinda dengan tangan kanan, tangan kiri dokter mengoperasikan tombol yang ada di depannya.
“Ini kantong kehamilannya ya, Pak, Bu. Janin masih belum terlihat karena usia kandungan yang masih awal. Sekitar 2 minggu lagi, Bapak dan Ibu bisa menjadwalkan ulang untuk melihat perkembangan janinnya.”
“Baik, dok.” Jawab Adlan dan sang mama kompak.
Selesai melakukan USG, dokter meresepkan vitamin untuk Dinda dan memberikan nasihat yang hampir sama dengan yang dikatakan bidan sebelumnya. Bedanya, dokter memberikan peringatan untuk tidak melakukan hubungan suami istri.
Adlan menganggukkan kepalanya dengan patuh, sementara sang mama menahan tawanya.
Bagaimanapun, beliau tahu anaknya. Kehamilan Dinda yang terhitung cepat, tentu berpengaruh pada hubungan intim mereka yang terhitung belum puas, kkarena masih pengantin baru.
.
.
.
.
.
Maaf author tidak up kemarin. Selamat membaca...