Ayudia berpacaran dengan Haris selama enam tahun, tetapi pernikahan mereka hanya bertahan selama dua tahun, sebab Haris ketahuan menjalin hubungan gelap dengan sekertarisnya di kantor.
Seminggu setelah sidang perceraiannya usai, Ayudia baru menyadari bahwa dirinya sedang mengandung janin kecil yang hadirnya tak pernah di sangka- sangka. Tapi sayangnya, Ayudia tidak mau kembali bersama Haris yang sudah menikahi wanita lain.
Ayudia pun berniat nutupi kehamilannya dari sang mantan suami, hingga Ayahnya memutuskan agar Ayudia pulang ke sebuah desa terpencil bernama 'Kota Ayu'.
Dari situlah Ayudia bertemu dengan sosok Linggarjati Putra Sena, lelaki yang lebih muda tiga tahun darinya dan seorang yang mengejarnya mati-matian meskipun tau bahwa Ayudia adalah seorang janda dan sedang mengandung anak mantan suaminya.
Satu yang Ayudia tidak tau, bahwa Linggarjati adalah orang gila yang terobsesi dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nitapijaan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jadi orang yang selalu kamu ingat.
Warning!! Mau curhat sebentar ...
Guyss sebenarnya kemarin aku ada update satu bab ya, bab 25 tapi entah kenapa di riview lama banget 😭😭
Padahal biasanya cuma beberapa menit langsung berhasil kan, nah entah kenapa berjam-jam sampai berganti hari masih susah. Udah aku revisi berkali-kali takutnya ada apa-apa kan, tetap aja nggak berhasil.
Tapi syukurlah sekarang udah bisa, tapi anehnya lagi kok aku nggak bisa buka bab nya yaa??
Pas aku buka malah ada keterangan kalau bab tersebut di hapus dan akan di alihkan ke bab lain 😔
Ada yang bisa jelaskan kenapa? Soalnya aku juga termasuk pendatang baru di sini 😁
Di kalian bisa nggak guyss? Coba kasih tanggapan 🙏🙏
Dan, Happy Reading ❤️❤️
###
Setelah makan-makan selesai, semua orang tak langsung bubar. Ayudia membantu Raisa membereskan sisa perbuatan mereka dan yang lain, tentunya tidak sendiri, ada Linggar juga yang membantu, Bulik Hartini dan suami Raisa.
Ayudia sedikit mengernyit jijik ketika kakinya menginjak lengket nasi yang sepertinya berjatuhan saat makan. Tak ada yang memperhatikan ekspresinya, kecuali Linggar.
Lelaki itu terkekeh geli sebelum menghampiri Ayudia dengan sapu di tangannya. "Biar Mamas Linggar aja yang beresin," tutur Linggar begitu pelan. Saking pelannya sampai Raisa mengernyitkan dahi karena tak bisa mendengar ucapan adiknya.
Padahal dia kepo apa yang mereka bicarakan.
"Nggak papa, cuma beres-beres." Tolak Ayudia. Dia bukan wanita yang tak bisa beres-beres, loh!
Lagian malu lah, sudah menumpang nginap, numpang makan, masa sekedar nyapu halaman atau membereskan sisa makannya saja Ayudia tidak? Plis lah, wanita itu sangat sadar diri dengan statusnya sebagai tamu.
"Suka Singkong nggak?" Tanya Linggar ketika teras rumah Raisa selesai di bersihkan, kebetulan semua orang juga sudah pindah ke ruang tengah rumah yang masih kosong melompong.
"Nggak suka banget, tapi bisa makan. Kenapa?" Tanya Ayudia balik. Dia sedang memeriksa ponselnya, guna mengetahui siapa yang menelepon tadi, tapi ternyata tidak ada riwayat apapun.
"Mau bakar singkong, mau?" Tawar lelaki itu.
Ayudia mengernyit heran. "Makan lagi? Kan baru selesai?" ia kebingungan. Pasalnya, setau Ayudia singkong itu termasuk makanan pokok, kan? rasanya aneh sekali karena dia baru saja makan nasi.
"Ya nggak apa-apa lah, kan bakarnya juga agak lama." Linggar tertawa geli, ngomong-ngomong lelaki itu jadi banyak menebarkan tawanya hari ini.
Meski biasanya lelaki itu sering tertawa konyol, sih.
Ayudia hendak menjawab, tapi panggilan di ponsel mengalihkan perhatian. Setelah di tengok, ternyata Jenggala. 'Tumben?' batin Ayudia heran.
"Halo? Siapa, ya? Nggak kenal!" Dusta Ayudia, niatnya mem-bercandai adiknya di sebrang sana tanpa tau kalau ada lelaki lain yang melototinya dengar horor.
'Si4lan! Dia telepon lagi?' Linggar merutuk dalam hatinya, kemudian segera mencari ponselnya sendiri. Meninggalkan Ayudia di teras rumah kakaknya sendirian.
"Oh gitu, baru dua bulan nggak di tengok udah kaya orang asing! Gimana kalau setahun? Lupa ingatkan kali," Jenggala di sebrang sana mengoceh kesal yang mana membuat Ayudia tertawa cekikikan.
"Ya ... Lagian, tumben banget telepon. Mana malem-malem gini lagi, jangan bilang kamu galau ya, makanya telepon?" Tuduh Ayudia.
Terdengar Jenggala beristighfar di sebrang sana. "Suudzon! Padahal aku di sini selalu mikirin Mbak Dia, Loh."
"Buat apa di pikirin, sih. Emangnya Mbak punya hutang sama kamu? Sampai kamu kepikiran terus." Canda Ayudia. Sukses membuat Jenggala terbahak-bahak.
Reaksi lelaki itu tentunya di sambut dengan wajah keheranan sang adik, Ibu dan ayahnya yang juga menunggu giliran berbicara.
Mereka memang sedang berkumpul di rumah tengah, dan Bu Ratna tiba-tiba menyeletuk kangen Ayudia dan khawatir dengan kondisinya di Kota Ayu. Alhasil, Jenggala memutuskan untuk menelepon kakaknya yang jauh di sana.
"Mas, gantian." Pinta Julian, lelaki yang baru beranjak dewasa itu merebut ponsel di tangan Jenggala, kakak keduanya.
"Halo halo, Mbak Diaa! Kangen gue nggak, mbak?" Serobot Julian. Jangan heran, bahasanya menang agak aneh karena sudah ketularan teman-temannya yang 'sok gaul', kalau kata Jenggala begitu.
"Gua gue, gua gue! Nggak sopan banget jadi adek, Mbak ini kakak kamu loh, bukan sohib apalagi besti!" Terdengar suara Ayudia mengomel di sebrang sana, dan itulah yang Julian tunggu.
Pemuda itu memang rindu berat dengan ocehan kakak perempuannya, padahal dulu paling malas kalau sudah kena sembur, sekarang malah di kangeni.
"Kan biar gaul, mbak. Lagian wajar lah, namanya juga di kota." Bela Julian beralasan.
"Halah, ngeles aja kamu kaya bajai!"
"Loh, Gue kan—"
PLETAK!
"ANJ— " Umpatan Julian terhenti kala Pak Jaya melototinya. "Astaghfirullah," lanjutnya dengan nada lirih.
Bu Ratna hanya menggeleng melihat kelakuan anaknya yang memang agak melenceng jauh. Entah karena pergaulan, atau dasarnya terbawa lingkungan kota.
"Sini, Ibu mau bicara sama mbak Dia." Akhirnya Bu Ratna meminta ponsel Jenggala dari tangan Julian.
"Tapi Juli masih mau ngomong sama—"
Belum sempat Julian menyelesaikan ucapannya, Jenggala sudah melotot dan berkata. "Julian! kasih nggak!"
Dengan kesal, Julian pun pasrah. "Mbak, besok Juli telepon sendiri ya secara pribadi, malem ini di tunda dulu." Ocehnya sebelum memberikan ponsel pada sang ibu.
Kembali ke sebrang sana, Ayudia masih cekikikan kala mendengar keributan kecil itu. Jujur, Ayudia memang sedikit rindu keluarganya. Tak ada kata sunyi kalau mereka bertiga sudah berkumpul, anak-anak ayah dan ibunya memang sangat aktif berbicara. Bahasa kasarnya, cerewet dan banyak omong.
"Jenggala yang telepon?" Sahutan bernada bisikan itu mampir di telinga Ayudia. Ia kontan berbalik ke sumber suara yang ternyata Linggar. Iya, memangnya siapa lagi?
Tanpa menjawab, Ayudia mengangguk.
Linggar menghela nafas lega, lelaki itu sudah mengecek akun WhatsUpp Ayudia yang mendapati nomor bernama 'Jenggala Gala' di baris paling atas. Jadi, Linggar pikir mungkin adiknya yang sedang menelepon Ayudia, dan ternyata benar dugaannya.
'Syukurlah, belum kecolongan juga.' Batin Linggar tersenyum puas. Kemudian dia kembali melanjutkan menyalakan api bekas bakar ikan tadi untuk membakar singkong. Sembari menemani Ayudia yang masih asik mengobrol dengan keluarganya. Linggar pun sesekali ikut terkekeh geli ketika mendengar tawa pelan Ayudia, yang baru Linggar tau: Ayudia akan luluh dan banyak omong kalau bersama keluarganya.
Mungkin juga orang yang dia anggap dekat.
Dan Linggar berharap dia juga menjadi salah satunya. Tidak apa-apa di awali dengan kebencian, kekesalan, yang terpenting satu. Linggar tetap berada dalam pikiran Ayudia.
"Kalau belum bisa jadi orang yang kamu sayang, mungkin jadi orang yang selalu kamu ingat karena kesalmu juga nggak masalah." gumam Linggar, lalu tertawa cekikikan.
"Hah?" Tanpa tau, bahwa ada orang lain yang kini berada di sebelahnya, mengapa Linggar dengan alis hampir menyatu.
"Kamu ngomong sama Mas, Ling?" Tanya Mas Nadi, suami Raisa, kakak ipar Linggar.
Linggar terjengit pelan, "Mas! Ngagetin tau!" Protes Linggar. "Tadi lagi ngomong sendiri, lagi ngelamun." Katanya dengan santai tanpa di tutup-tutupi.
Mas Nadi melirik Ayudia yang sedang duduk di teras rumah menghadap kebun di samping, "Ngelamunin Ayudia? Dia teleponan sama siapa? Mantannya?" Tebak Lelaki dewasa itu, mungkin usianya sekitar tiga puluh enam atau tiga lima.
"Yakali mantannya, sudah tak amuk kalau iya."
"Terus siapa?"
"Keluarganya." Balas Linggar sembari membalik Singkongnya agar tidak gosong separuh.
Mas Nadi angguk-angguk, "Kok tau, kamu nguping?"
"Sembarangan! nggak ya, meski aku kecintaan sama Ayudia, tapi nggak gitu juga kali caranya." protes Linggar. tak terima di tuduh.
"Terus gimana caranya?" Tanya Mas Nadi penasaran.
Tak di sangka, Linggar malah terbahak keras. Lalu menjawab. "Caranya, sadap saja nomor WhatsUpp-nya, atau kalau perlu hapenya juga di sadap."
"Astaghfirullah! Di kira nggak bakal macem-macem, ternyata memang cuma satu macem!" Mas Nadi menggerutu pelan. Dia tak mengira adik iparnya bisa segila itu, padahal tadinya sudah berfikiran positif.
"Hati-hati loh, Ling. Bisa marah anak orang," peringat lelaki itu pada adiknya.
Linggar angguk-angguk, "Aku udah memprediksi akibatnya, Mas. Toh, aku nggak akan pernah bohong, sama siapapun. Aku juga sudah mengakui kalau aku benar-benar mau sama dia, dan aku rasa dia juga mau sama aku,"
"Kenapa kamu berfikir begitu? sebabnya apa?"
"Karena, dia nggak nolak waktu aku ... " Sejenak Linggar menoleh ke arah kakak iparnya, dia bukan bermaksud mengumbar keburukannya, hanya saja dia percaya Mas Nadi bisa menjaga rahasia.
"... Menc1umnya."