Tak ada angin, tak ada hujan tiba-tiba, dari balik kerumunan jemaah masjid yang baru saja menyimak tausiyah dzuhur, muncullah seorang gadis berwajah bening dengan sorot mata sekuat badai.
Di hadapan ratusan pasang mata, ia berdiri tepat di depan sang ustadz muda yang dikenal seantero negeri karena ceramahnya yang menyentuh hati.
"Aku ingin menikah denganmu, Ustadz Yassir," ucap Zamara Nurayn Altun, dokter magang berusia dua puluh satu tahun, anak dari keluarga terpandang berdarah Turki-Indonesia.
Seluruh dunia seakan berhenti sejenak. Para jemaah terdiam. Para santri tertegun. Dan sang ustadz hanya terpaku, tak sanggup berkata-kata. Bagaimana bisa, seorang gadis yang tak pernah ia kenal, datang tiba-tiba dengan keyakinan setegas itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 32
Ruang ICU malam itu sunyi. Hanya bunyi pelan alat medis yang menyertai detak waktu.
"Dokter Hasan, apa kami sudah bisa menemui dokter yang menyelamatkan saudara kami?" tanya Salwa dengan sorot mata penuh harap.
"Kami ingin berterima kasih langsung kepada beliau. Kami tahu, beliau datang dari jauh hanya untuk menyelamatkan nyawa kakak kami," sahut Bayu pelan, nadanya tulus.
"Kalau belum bertemu langsung, rasanya nggak tenang, Dok," timpal Gilang sambil menunduk.
"Izinkan kami bertemu, supaya hati kami lega," imbuh Faris pelan.
Dokter Hasan menarik napas panjang. Tatapannya gugup, karena ada pesan khusus yang harus ia jaga. Zamara memintanya merahasiakan identitas selama proses operasi berlangsung. Tapi kini, semua desakan datang bertubi.
Baru saja ia hendak menjawab, pintu ruang ICU terbuka. Seorang perempuan berhijab keluar, melepas masker medis dari wajahnya. Langkahnya tenang, tapi kehadirannya mengubah segalanya.
Mata-mata yang tadi penuh tanya kini membelalak.
“Kak Zamara?” seru mereka hampir bersamaan.
“Nak Zamara…” lirih Bu Salamah sembari mendekap Miera di pelukannya.
“Jadi kamu yang menolong Yassir?” tanya Pak Mahmud tak percaya.
“Ummi cantik!” ucap Miera spontan. Matanya membulat, tangannya refleks menunjuk. Ia hafal wajah itu. Ayahnya sering memperlihatkan foto sang ibu, meski sudah bertahun-tahun berlalu.
Zamara tercekat. Dadanya sesak melihat anak kecil yang terakhir kali dipeluk saat masih berusia empat puluh hari. Kini, Miera sudah besar. Wajah mungil itu penuh emosi dan kerinduan.
Miera berlari, memeluk kakinya kuat-kuat. Suaranya parau menahan tangis.
“Ummi jangan pergi lagi yah Miera kangen banget sama Ummi,” ucapnya sambil terisak.
Zamara menggigit bibirnya. Air mata langsung membasahi wajah. Tubuhnya gemetar. Pelukan itu, suara itu, wajah itu semuanya terlalu dalam untuk ditepis.
“Miera sayang banget sama Ummi. Miera juga pengen seperti teman-teman punya Ummi cantik yang selalu ada,” tambah Miera sambil meringkuk dalam pelukan ibunya.
Zamara memeluknya erat, tubuhnya gemetar, lututnya terbuka, tapi kata-kata tercekat.
“Ummi nggak bisa tinggal, Nak. Ummi banyak salah sama kamu, sama Ayah…” katanya patah-patah. “Ummi nggak pantas…”
Suara isaknya tak tertahan lagi. Bahunya berguncang. Semua yang ada di sana ikut terdiam, menahan tangis.
“Kamu nggak salah, Zamara. Kami semua di sini masih sayang sama kamu,” ucap Bu Salamah lembut, suaranya seperti pelukan hangat.
“Kami tahu kamu pergi bukan karena kamu mau. Tapi kamu pernah jadi bagian dari kami dan sampai sekarang kamu masih bagian yang kami,” imbuh Pak Mahmud.
“Jangan pergi lagi, Kak. Abang butuh kamu. Miera juga kami semua,” ujar Bayu pelan.
Zamara terisak. Air matanya tak berhenti mengalir. Ia tak mengira bahwa keluarga yang ditinggalkannya masih menyambut dengan tangan terbuka.
“Aku malu… aku terlalu banyak dosa… aku nggak pantas dampingi Mas Yassir,” cicitnya lirih.
Namun semua membujuk, semua memohon. Demi Yassir. Demi Miera. Demi cinta yang tak pernah benar-benar hilang.
Zamara hanya bisa menunduk, lalu berlutut di hadapan kedua mertuanya. Tangannya menggenggam tangan Bu Salamah dan Pak Mahmud.
“Terima kasih karena sudah jaga Miera dan merawatnya, menyayanginya, mendidiknya. Dia tumbuh cantik, kuat, sholehah. Aku berhutang segalanya kepada kalian,” katanya dengan suara penuh penyesalan dan haru.
Beberapa jam setelah itu…
Zamara memutuskan untuk tetap tinggal. Ia tak ingin lagi menjauh dari keluarga yang begitu tulus. Ia mengganti pakaian, mengenakan busana santai tapi tetap elegan, seperti ciri khasnya sebagai wanita keturunan darah campuran.
Malam itu, ia tidak beranjak dari sisi ranjang suaminya. Matanya tak lepas memantau grafik detak jantung. Setiap detik terasa penting. Faris menemaninya. Sementara yang lain termasuk Miera sudah dipulangkan agar bisa beristirahat.
Pagi mulai menyapa.
Zamara tertidur lelap di sisi ranjang ICU, kepalanya bersandar di sisi tempat tidur.
Pelan-pelan, kelopak mata ustadz Yassir terbuka. Pandangannya kabur. Dunia terasa asing, tapi damai. Di ujung sisi, ia melihat sosok perempuan tertidur lelah. Berhijab dengan wajahnya yang teduh.
Dia mengira itu mimpi. Tapi mimpi itu terlalu nyata. Zamara menggenggam tangannya dalam tidur.
Air mata menetes dari sudut mata Yassir. Dengan suara sangat lemah, ia bergumam.
“Zamara…”
Suara itu nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk membuat Zamara terbangun. Ia menoleh. Matanya langsung membesar.
“Mas Yassir…?” serunya pelan.
Pandangan mereka bertemu. Setelah tujuh tahun, setelah banyak luka, setelah jutaan doa.
Pertemuan itu bukan hanya tentang raga yang kembali. Tapi tentang jiwa yang tak pernah pergi jauh.
Air mata pun kembali jatuh. Kali ini bukan hanya dari mereka, tapi dari langit yang ikut menyaksikan.
DI RUANG ICU – PAGI YANG BASAH OLEH AIR MATA
Zamara tak henti-hentinya mengecup punggung tangan suaminya yang pucat. Jemarinya dingin. Beberapa bekas luka masih terlihat samar di lengan dan ujung jarinya.
Hati Zamara seperti dihantam batu besar tiap kali ia memandangi wajah itu—wajah yang selalu ia rindukan dalam diam, wajah yang ia khianati dengan kepergian yang tak pernah dijelaskan dengan utuh.
“Maafin aku, Mas…” lirihnya sambil terus menciumi tangan itu.
Matanya sembab. Bahunya berguncang pelan. Beberapa dokter dan perawat yang lewat sempat berhenti sejenak, saling pandang heran.
Mereka tahu siapa Zamara. Dokter bedah senior yang terkenal tak kenal kompromi, dingin dan tak pernah menangis, apalagi di depan umum. Tapi pagi itu, sosok kuat itu luluh. Seluruh lapis pertahanannya runtuh di sisi ranjang suami yang ia cintai.
“Mas Yassir belum bisa bicara ya, nggak apa-apa. Aku yang akan bicara hari ini,” bisik Zamara pelan, suaranya bergetar.
Ia duduk mendekat. Tangannya masih menggenggam tangan suaminya.
“Thaimur udah besar, Mas. Dia makin mirip kamu. Suka pakai baju koko putih, pinter ceramah juga. Khasmir juga... dia dingin banget, Mas, kadang nyebelin, tapi hatinya lembut. Mereka selalu nanya selalu cari kamu…” ucapnya lirih, nyaris tercekat.
Ia berhenti sejenak. Menarik napas panjang. Suaranya semakin pelan, namun tulus.
“Aku tahu pergi terlalu lama. Tapi nggak pernah sehari pun aku lewati tanpa sebut nama kamu dalam sujud. Maafin aku, Mas. Kalau boleh milih, aku lebih baik nggak hidup dari awal daripada hidup dengan semua penyesalan ini…”
Air mata kembali mengalir di sudut matanya. Kali ini jatuh tepat di punggung tangan Yassir.
Beberapa jam kemudian…
Langkah cepat terdengar dari luar. Pintu ICU terbuka. Bu Salamah, Pak Mahmud, Bayu, Salwa, Faris, dan Gilang datang hampir bersamaan. Wajah mereka penuh harap dan khawatir.
“Masya Allah… dia sadar?” tanya Bu Salamah dengan suara bergetar.
Zamara mengangguk cepat. “Iya, Ummi… barusan buka mata. Tapi belum bisa bicara lancar. Aku juga baru selesai cek luka-lukanya, Alhamdulillah semua stabil,” jelasnya pelan.
Pak Mahmud segera mendekat, menatap wajah menantunya lama-lama. Ia menyeka air matanya yang jatuh tanpa bisa dicegah.
“Yassir… anakku… alhamdulillah,” ucapnya sambil memegang bahu Yassir dengan gemetar.
Bayu menunduk, mengusap wajahnya.
“Kami pikir, kami kehilangan Abang selamanya…”
Salwa ikut menambahkan, “Tapi Allah Maha Baik… Allah kembalikan Abang lewat tangan Kak Zamara sendiri.”
Faris tak berkata apa-apa. Ia hanya menyentuh kaki ranjang, lalu berbisik dalam hati.
Zamara menghela napas. Ia mendekat ke telinga suaminya.
“Mas, semuanya udah datang. Semua sayang sama kamu semua nunggu kamu pulih,” ucapnya pelan.
Kelopak mata Yassir kembali bergerak. Ia berusaha tersenyum meski sangat pelan.
Zamara menangkap isyarat samar dari gerakan bibirnya.
“Mau ketemu anak-anak?” tebaknya lirih.
Yassir berkedip pelan, tangannya sedikit bergerak seperti menyahut.
Zamara langsung berdiri, lalu mengambil ponselnya dari meja kecil di sudut ruangan.
Ia mengetik cepat. Lalu menghubungi dua orang yang paling ia percaya.
“Alf, Rihanna, tolong antar Thaimur dan Khasmir ke rumah sakit sekarang juga. Ustadz Yassir udah sadar dan minta ketemu mereka,” ujarnya dengan suara mantap.
Tak sampai dua menit, pesan balasan masuk.
“Siap, Dok. Kami langsung berangkat,” tulis Alf.
Zamara menghela napas. Pandangannya kembali tertuju pada wajah suaminya yang tenang.
“Sebentar lagi, Mas sebentar lagi kamu akan lihat mereka. Anak-anak kita…”
Suasana ruangan kembali hening. Hanya suara mesin pemantau detak jantung yang terus berdetak, seakan ikut menandai detik-detik berharga itu.
Zamara duduk lagi. Kali ini ia menyandarkan kepalanya di dada suaminya, mendengarkan detak jantung yang dulu ia kira tak akan pernah ia dengar lagi.
“Mas Yassir… kamu nggak tahu seberapa besar aku masih cinta,” bisiknya pelan.
Yassir menggerakkan tangannya, pelan sekali, lalu menyentuh pucuk jilbab Zamara.
Zamara langsung menoleh. Ia tahu, gerakan sekecil itu adalah jawaban paling dalam.
“Aku tunggu kamu sehat, Mas. Biar kita bisa pulang bareng ke rumah kit sama anak-anak,” katanya seraya tersenyum dalam tangis.
Dan langit pagi itu seolah ikut bersaksi. Ada cahaya lembut menembus jendela, menyinari dua jiwa yang akhirnya kembali dalam satu titik.
Keesokan harinya…
Zamara bangkit perlahan. Suara langkah di koridor mulai terdengar. Nafasnya tertahan. Ia tahu, detik ini akan mengubah segalanya.
Pintu terbuka Rihanna memberi isyarat lembut.
“Mereka sudah disini, Dok,” ucapnya pelan.
Zamara mengangguk. Kakinya melangkah pelan menuju pintu, menahan gelombang di dada yang nyaris tumpah.
Tampak Thaimur berdiri tegak, seragam sekolah masih rapi, rambutnya sedikit acak. Di sebelahnya, Zhamir terlihat tenang, wajahnya datar, sorot matanya tajam, kaku, penuh kontrol.
“Ummi…” panggil Thaimur, suaranya sedikit gemetar.
Zamara tersenyum. Tangannya terbuka lebar.
“Masuk, Sayang. Ayah kalian udah nunggu,” ucapnya penuh kehangatan.
Langkah kecil membawa keduanya masuk. Pandangan mereka langsung tertuju ke sosok yang terbaring.
Di sanalah Yassir lelaki yang wajahnya ada di tiap lembar doa Zamara. Mata Yassir sudah terbuka penuh. Napasnya perlahan tapi nyata. Dan sekarang, ia menyaksikan dua putra yang pernah hanya hadir dalam mimpi.