Aluna, seorang pekerja kantoran, punya satu obsesi: Grand Duke Riven Orkamor, antagonis tampan dari game otome yang seharusnya mati di semua rute. Baginya, menyelamatkan Riven adalah mimpi yang mustahil.
Hingga sebuah truk membuatnya terbangun sebagai Luna Velmiran — putri bangsawan kaya raya yang manja dan licik, salah satu karakter dalam game tersebut.
Kini, Riven bukan lagi karakter 2D. Ia nyata, dingin, dan berjalan lurus menuju takdirnya yang tragis. Berbekal pengetahuan sebagai pemain veteran dan sumber daya tak terbatas milik Luna, Aluna memulai misinya. Ia akan menggoda, merayu, dan melakukan apa pun untuk merebut hati sang Grand Duke dan mengubah akhir ceritanya.
Namun, mencairkan hati seorang antagonis yang waspada tidaklah mudah. Salah langkah bisa berarti akhir bagi mereka berdua. Mampukah seorang fangirl mengubah nasib pria yang ia dambakan, ataukah ia hanya akan menjadi korban tambahan dalam pemberontakannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BlackMail, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32 : Peringkat
Keheningan yang canggung di aula obsidian terasa lebih berat daripada tekanan sihir mana pun. Luna dan Riven hanya berdiri mematung, keduanya sama-sama menghindari tatapan satu sama lain. Pikiran Luna masih berputar, mencoba mencerna setiap kata yang baru saja ia dengar di dalam benaknya.
"Gadis yang menarik… Grand Duchess… memperkenalkan pada ibu… Dia aneh."
Setiap kalimat terasa seperti anak panah yang menancap di hatinya, membawa sensasi yang berbeda-beda. Harapan yang membumbung tinggi, rasa malu yang membakar, dan kebingungan total. Apa sebenarnya maksud Riven?
Hesrak, sang iblis, tampak sangat menikmati pemandangan itu. Ia bersandar di altarnya dengan senyum puas. "Nah, ambillah hadiah kalian, anak-anak. Kalian pantas mendapatkannya. Jarang sekali aku mendapatkan hiburan sebagus ini."
Luna, yang membutuhkan pengalihan apa pun, segera bergerak menuju tumpukan kristal sihir yang berkilauan. Riven pun mengikutinya, menjaga jarak aman di antara mereka.
Mereka dengan cepat memasukkan kristal-kristal itu ke dalam penyimpanan dimensi mereka tanpa banyak bicara. Setiap kali tangan mereka nyaris bersentuhan, Luna akan menariknya kembali seolah tersengat listrik.
Tepat saat Luna memasukkan kristal terakhir, sebuah suara sistem yang megah dan tanpa emosi menggema di seluruh menara, memecah keheningan yang canggung itu.
[WAKTU HABIS. UJIAN TAHAP KEDUA SELESAI.]
[SEMUA PESERTA AKAN DIKEMBALIKAN KE TITIK AWAL.]
Sebelum Luna sempat memproses apa yang terjadi, cahaya putih yang menyilaukan meledak dari lantai di bawah kaki mereka. Sensasi ditarik paksa secara vertikal terasa begitu tidak nyaman, membuat perutnya mual.
Sedetik kemudian, cahaya itu memudar. Suara riuh rendah ratusan siswa, desau angin sore, dan aroma rumput basah seketika menggantikan keheningan aula obsidian. Mereka kembali.
Mereka telah kembali ke halaman depan akademi yang luas, tepat di tempat ujian dimulai. Murid-murid lain muncul di sekitar mereka, beberapa tampak kelelahan, beberapa terluka, yang lain bersorak gembira. Suasana begitu ramai dan kacau.
Namun, bagi Luna, semua kebisingan itu terasa begitu jauh. Tepat di sebelahnya, Riven juga baru saja memantapkan pijakannya. Pria itu menoleh padanya, matanya yang biru safir tampak lebih dalam dari sebelumnya. Ia membuka mulut, hendak mengatakan sesuatu.
Panik.
Itulah satu-satunya hal yang dirasakan Luna. Ia tidak siap. Ia tidak siap untuk percakapan ini. Tidak di sini. Tidak sekarang. Tidak setelah pengakuan tak langsung yang membuat otaknya korsleting.
"A-AKU HARUS MEMERIKSA KEADAAN HARIS!" teriaknya, suaranya lebih melengking dari yang ia maksudkan.
Tanpa menunggu jawaban, tanpa menoleh ke belakang, Luna langsung berbalik dan berlari menembus kerumunan. Ia mendorong beberapa siswa yang menghalangi jalannya, tujuannya hanya satu: posko medis di ujung lapangan.
Wajahnya merah padam, jantungnya berdebar kencang, campuran antara rasa malu dan euforia yang aneh.
Riven hanya berdiri mematung di tengah keramaian, tangannya yang tadinya terulur kini terkepal pelan di sisinya.
Ia menghela napas, sebuah senyum yang nyaris tak terlihat kembali tersungging di bibirnya sejenak sebelum lenyap. Ia merasakan dengungan kerumunan kembali, aroma rumput dan tanah basah memenuhi udara — sebuah kontras yang tajam dari keheningan dan keajaiban di dalam menara. Ia bisa merasakan tatapan para siswa tertuju padanya, namun matanya hanya tertuju pada satu hal: punggung gadis yang berlari menjauh darinya.
"Dia berani menghadapi monster berbahaya dan dapat memimpin dengan baik, tapi sekarang dia lari dari sebuah percakapan," pikirnya, sebuah rasa geli yang aneh muncul di hatinya. "Luna Velmiran, dia gadis yang aneh..."
Ia lalu mengangkat kepalanya, menatap ke langit. Sebuah layar skor raksasa yang transparan muncul di atas akademi, menampilkan hasil akhir ujian untuk dilihat semua orang.
[POSISI 1: TIM DARIUS ORPHAN [TOTAL POIN: 101.390]
[POSISI 2 : TIM ALTHER MIRAGLEN [TOTAL POIN: 100.950]
[POSISI 3 : TIM LUNA VELMIRAN [TOTAL POIN: 71.840]
Seketika, bisik-bisik dan seruan kaget meledak di antara kerumunan siswa.
"Posisi ketiga Tim Luna Velmiran!?"
"Tim yang dipimpin Nona manja itu? Bagaimana mungkin!?"
"Lihat anggotanya! Ada Grand Duke Orkamor di sana! Pasti Grand Duke yang memimpin. Kan?"
"Tapi skor mereka... jauh di bawah dua teratas. Sepertinya ujian kali ini cuma ajang unjuk kekuatan bagi Darius dan Alther."
Di ujung lapangan, Luna menerobos masuk ke dalam posko medis yang berbau antiseptik. Jantungnya masih berdebar seperti genderang perang. Ia melihat Haris, duduk di ranjang dengan tubuh penuh perban, sedang menerima segelas air dari Theo. Keduanya tampak terkejut melihatnya datang dengan napas terengah-engah.
"Tuan Putri, Anda tidak apa-apa?" tanya Haris cemas.
Luna tidak bisa menjawab. Matanya terpaku pada layar skor di luar. Posisi ketiga. Tepat seperti yang seharusnya. Ketegangan yang selama ini mencengkeram pundaknya seketika lenyap, digantikan oleh kelegaan yang luar biasa hingga membuatnya sedikit limbung.
"Syukurlah..." batinnya. "Cerita aslinya tidak berubah. Janjiku pada Riven... aku memang gagal, tapi ini... ini yang terbaik."
Saat itulah, suara Dekan Oldyang yang diperkuat sihir menggema di seluruh lapangan. "Perhatian, para murid baru!" Dia berpidato panjang kali lebar. "...Jadi, mari kita sambut, tiga tim telah menunjukkan kualitas tersebut dengan gemilang!"
Panggilan untuk naik ke podium terasa seperti mimpi buruk. Luna harus kembali ke sana. Kembali ke sisi Riven dalam keadaan yang canggung ini, tapi dia tidak bisa lari dari sini.
"Bodoh, Aluna. Apa yang kamu lakukan!? Bukankah ini yang kamu inginkan sejak awal? Ya, ayo hadapi Riven dengan tegar... tapi... Jantungku apa jantungku sanggup menerimanya? Gimana nih... Gila banget. My Life mau jadiin aku My Wife-nya!! Gila, gila, gila." Pikirannya kacau dan rusak.
Perjalanan menuju podium adalah yang terpanjang dalam hidupnya. Setiap langkah terasa berat. Bisikan para siswa terdengar seperti dengungan lebah di telinganya. Ia bisa merasakan kehadiran Riven yang berjalan diam di sampingnya — sosok yang dingin dan kuat, yang baru saja membisikkan kata 'Grand Duchess' ke dalam jiwanya.
Saat mereka naik ke podium, Luna berdiri sekaku patung. Ia tidak berani menoleh, tidak berani bernapas terlalu keras. Ia bisa merasakan kehangatan samar dari tubuh Riven meski mereka tidak bersentuhan. Ia yakin seluruh akademi bisa melihat wajahnya yang semerah tomat.
"Dan terakhir, tim peringkat ketiga: Tim Luna Velmiran!"
Saat Dekan menyerahkan kotak hadiah, tangan Luna sedikit gemetar. Ia memberanikan diri melirik sekilas ke arah Riven. Dan hatinya serasa berhenti berdetak. Pria itu sudah lebih dulu menatapnya, matanya yang biru safir begitu dalam dan tak terbaca, seolah sedang mencoba memecahkan teka-teki paling rumit di dunia: dirinya.
Luna langsung membuang muka, jantungnya berdebar kencang. "Apa? Kenapa? Ada apa? Dia melihatku! Matanya yang seindah permata melihatku!"
"Dengan ini," lanjut Dekan, "ujian tahap kedua secara resmi selesai! Ujian tahap ketiga akan dijadwalkan untuk esok hari. Sekarang, para murid dipersilakan untuk kembali ke asrama masing-masing!"
Kerumunan bersorak. Labirin Harmonia pun selesai.
Mereka segera turun dari podium. Saat mereka berjalan menjauh, keheningan di antara Luna dan Riven yang mengikuti di belakang rombongan murid lain terasa begitu pekat, penuh dengan semua hal yang tidak terucapkan di aula iblis tadi.
"Grand Duke... Apa Anda serius?"
~Urusan perabotan dan wangi-wangian
Kuserahkan pada s'leramu yang lebih maju
Tapi tata ruang, aku ikut pertimbangkan~🎶
🤣
love you,Je t'aime, Te amo, Saranghae, liebe🫶🏻
sampaikan pesanku untuk Luna Thor "hati hati Lunaa😖"
ijin Thor
aaaaa kenapa sedikit sekali rasanya ini terlalu pendek, sudah kuduga aku harus menabungg nya, tapi karena jari ini terlalu gatal sehinga.. ah sudahlah😖🫠🫠🫠
makasih kakk, love sekebon deh🫶🏻✨
~maaf ngelunjak🫰🏻🫰🏻
semangat kakk, aku tunggu up selanjutnya, nggk sabar apakah ada adegan bucin nya raven ke Lunaa😍💪