Sequel "Dipaksa Menikahi Tuan Duda"
Cerita anak-anak Rini dan Dean.
"Papa..."
Seorang bocah kecil tiba-tiba datang memeluk kaki Damar. Ia tidak mengenal siapa bocah itu.
"Dimana orangtuamu, Boy?"
"Aku Ares, papa. Kenapa Papa Damar tidak mengenaliku?"
Damar semakin kaget, bagaimana bisa bocah ini tahu namanya?
"Ares..."
Dari jauh suara seorang wanita membuat bocah itu berbinar.
"Mama..." Teriak Ares.
Lain halnya dengan Damar, mata pria itu melebar. Wanita itu...
Wanita masa lalunya.
Sosok yang selalu berisik.
Tidak bisa diam.
Selalu penuh kekonyolan.
Namun dalam sekejab menghilang tanpa kabar. Meninggalkan tanya dan hati yang sulit melupakan.
Kini sosok itu ada di depannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ly_Nand, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Orang Tua Bayi Kembar
Waktu demi waktu berlalu, bulan demi bulan pun berganti, Stasia mulai jauh lebih santai saat menghadapi Damar. Semua itu tentu berkat kerjasama Damar dan Ares. Bahkan, setiap akhir pekan mereka selalu punya quality time bertiga, entah dengan jalan-jalan atau sekadar berkumpul di rumah keluarga Ardhana.
Siang itu, suara Damar kembali terdengar di seberang telepon.
“Sayang, makan siang bareng yuk… sekali ini saja.”
Stasia spontan memutar bola mata. Astaga, pria ini. “Jangan macam-macam,” ucapnya setengah berbisik, karena ia masih berada di kantor.
“Kamu selalu makan di kantin. Bahkan kamu tega melarangku ikut makan di sana. Padahal kamu tahu aku lebih suka makan sama kamu. Ayolah, Sayang… sekali ini aja.”
“Dam, jangan buat heboh kantor.”
“Kalau begitu makan di ruanganku. Tidak akan ada yang tahu. Ayolah, Sayang… rasanya aku tidak berselera makan kalau tidak ada kamu.”
Stasia menghela napas panjang. “Aku lihat situasinya nanti.”
“Baiklah. Sepuluh menit lagi jam makan siang. Aku tidak akan makan kalau kamu tidak datang ke sini.”
“Jangan mengancamku.”
“Aku tidak mengancammu, Sayang. Aku cuma memberi tahu.”
“Ya, terserah.”
Dengan wajah kesal, Stasia menutup sambungan telepon dan melepas headset dari telinganya. Ia mendengus, masih terngiang kata-kata Damar yang penuh manja sekaligus menyebalkan itu.
Belum sempat menenangkan diri, suara Max terdengar dari samping.
“Si, makan siang bareng yuk? Katanya ada menu baru di kantin.”
Stasia sempat terdiam, bingung harus menjawab apa. “M… sepertinya tidak bisa. Aku ada janji keluar sebentar dengan temanku.”
Wajah Max langsung berubah kecewa. “Hm… sayang sekali.”
Suasana ruangan kerja mulai sepi. Beberapa karyawan sudah keluar untuk beristirahat atau makan siang. Stasia, dengan hati-hati, melangkah menuju lift yang kosong. Ia menekan tombol menuju lantai tempat ruangan Damar berada.
Begitu sampai, koridor terasa lengang. Kursi tempat biasanya asisten Damar duduk pun kosong. Stasia sempat ragu untuk mengetuk pintu. Apa Damar sedang keluar bersama asistennya? pikirnya. Namun, sebelum sempat berbalik, suara dari dalam ruangan terdengar samar.
“ Aku sudah masak banyak untuk kamu. Ini enak, lho. Aku yakin kamu pasti suka.”
Stasia membeku. Suara wanita. Asing.
“Sudah kukatakan, keluarlah. Urusan pekerjaan bisa kamu diskusikan dengan tim yang sudah kusiapkan,” suara Damar terdengar jelas, kesal.
“Aku sudah selesai meeting dengan mereka. Urusan pekerjaanku selesai. Sekarang aku ingin makan siang sama kamu, Damar. Bahkan aku sudah siapkan masakan spesial untukmu.”
“Hentikan tindakan sia-sia ini. Sudah berulang kali kubilang, di antara kita hanya sebata profesional kerja. Aku tidak suka ketidakprofesionalan seperti ini.”
“Tapi, Damar… aku cuma ingin kita dekat. Aku yakin suatu saat kamu bisa terima aku.”
“Keluar. Kalau tidak, aku panggil security sekarang juga.” Suara Damar semakin meninggi dan dingin.
“Kenapa kamu selalu begini? Aku mohon, beri aku kesempatan untuk dekat denganmu.”
“Cepat pergi atau aku benar-benar panggil security.”
Hening sejenak, lalu suara wanita itu terdengar lirih. “Oke, aku pergi. Tapi ingat, aku tidak akan menyerah untuk mendapatkan kamu.”
Ceklek. Pintu terbuka.
Stasia yang berdiri di luar terperanjat. Matanya langsung menangkap sosok wanita itu. Sekilas tatapan mereka beradu—tatapan dingin dari wanita itu yang membuat kilasan memori masa lalu menghantam Stasia. Nafasnya tercekat, kakinya serasa melemah.
Wanita itu berlalu begitu saja. Stasia tetap terpaku, wajahnya menegang, air mata menggantung di pelupuk mata.
Saat itu juga, pintu kembali terbuka lebih lebar. Damar berdiri di sana, terkejut mendapati Stasia. Namun keterkejutannya makin besar ketika ia melihat kondisi Stasia yang limbung.
“Sayang…” panggilnya khawatir.
Tubuh Stasia melemas. Damar segera meraih tubuhnya. Air mata jatuh begitu saja dari wajah Stasia, tanpa suara.
Dengan sigap, Damar mengangkat tubuh Stasia dan membawanya ke sofa. Ia menuangkan segelas air, lalu menyodorkannya pelan. “Minum dulu, Sayang.”
Tangan Stasia dingin saat ia bantu menggenggam gelas itu. Selesai minum, Damar menatapnya penuh cemas.
“Sayang… ada apa?” suaranya lembut, nyaris bergetar.
Stasia mengangkat wajahnya. Tatapan matanya basah, penuh luka, seolah meminta pertolongan.
“Kamu percaya padaku?” tanya Damar, menangkup pipi Stasia yang masih basah.
Tak ada jawaban. Bibir Stasia bergetar, tapi kata-kata tak kunjung keluar.
“Sayang… bagi bebanmu ke aku. Ingat, aku ada untukmu. Tolong, jangan simpan sendiri. Aku nggak sanggup lihat kamu seperti ini.”
Air mata Stasia akhirnya pecah deras. Tubuhnya bergetar hebat dalam pelukan Damar, sementara pria itu hanya bisa merengkuhnya erat, berusaha menyalurkan ketenangan melalui dekapannya.
***
Sementara itu, di sebuah rumah sakit, Wulan sedang ditemani Mama Rini mengantar Dilan imunisasi.
Baby Dilan tampak tenang bermain dalam gendongan Oma Rini. Sementara Wulan sibuk membalas pesan dari temannya di ponsel. Tiba-tiba suara seseorang menyapanya.
“Lan, kamu di sini?” sapa suara pria.
“Lho, Andre!” Wulan menoleh kaget, lalu tersenyum. “Sama siapa?”
“Itu.” Andreas menunjuk babysitter yang tengah menggendong baby Rey tak jauh dari tempat mereka duduk dan kemudian memberi senyum kepada mama Rini.
“Wah… anak ganteng mama di sini!” Wulan sumringah begitu melihat baby Rey. Ia mendekat, menyapa dengan riang, lalu mengambil Rey dari babysitter.
“Sayang… kangen mama, nggak?” tanyanya lembut sambil mencium pipi chubby bayi itu.
Wulan memang sudah sangat dekat dengan Rey. Beberapa kali mereka bertemu, dan Wulan masih menjadi ibu ASI untuk Rey. Mendapatkan pelukan Wulan, baby Rey tampak senang, berceloteh riang seolah menyahut.
“Wah, anak mama pasti kangen banget sama mama. Mama juga kangen, Sayang…” bisik Wulan penuh kasih.
Andreas terdiam menatap mereka, hatinya hangat. Ia bisa merasakan ketulusan Wulan. Namun suara rengekan kecil membuatnya menoleh. Baby Dilan yang berada di pelukan Oma Rini merengek sambil melirik ke arah ibunya yang sedang bersama Rey.
“Eh, hai Dilan… mau ke mama, ya?” tanya Andreas lembut. Tentu bayi enam bulan itu belum mengerti, hanya bisa meraih tangannya dan merengek.
“Boleh saya gendong, Tante?” Andreas menoleh sopan pada Mama Rini.
“Tentu,” jawab Mama Rini sambil tersenyum, menyerahkan Dilan kepadanya.
“Anak tampan…” Andreas mengayun pelan Dilan di lengannya. “Maaf, ya… mama sebentar gendong Rey dulu. Kamu sama om dulu, ya.”
Ajaib, rengekan Dilan mereda, meski matanya masih menatap ibunya dengan ekspresi seperti protes kecil.
Wulan memperhatikan kejadian itu sambil tetap menggendong Rey. “Kenapa dengan Dilan?” tanyanya penasaran.
“Sepertinya dia cemburu karena kamu gendong Rey,” jawab Andreas sambil menepuk lembut punggung Dilan.
“Benar itu, Sayang?” Wulan mendekat, menyentuh jemari Dilan dengan manja. “Jangan cemburu, ya… ini kan Rey, saudara kamu juga. Kalian sama-sama anak mama.”
Oma Rini terkekeh geli, membuat keduanya menoleh heran.
“Ada apa, Ma?” tanya Wulan.
“Bukan apa-apa… kalian ini sudah seperti orang tua dengan anak kembar,” ucap Mama Rini sambil tersenyum hangat. “Mama jadi ingat waktu urus kamu dan Damar dulu. Kalian juga persis begini. Untung papamu selalu sigap membantu mama waktu itu.”
Wulan tertawa kecil. “Wulan nggak bisa bayangin ribetnya Mama urus kami berdua sekaligus.”
“Tidak usah dibayangin ribetnya. Lebih baik dinikmati momen indahnya,” ujar Mama Rini bijak. “Kamu rasain saja sekarang. Di depanmu sudah ada Dilan dan Rey. Nanti pas imunisasi, biar kalian saja yang antar mereka ke dalam. Pasti seru.”
Andreas dan Wulan saling pandang sejenak, sama-sama tersenyum kecil.
"Maaf, pak. Saya izin ke toilet dulu apa boleh?" Suara babysitter Rey menginterupsi.
"Pergilah" ucap Andreas.
Tak lama kemudian, nama Dilan dipanggil oleh perawat.
“Silakan masuk, Bu.”
Wulan yang masih menggedong Baby Rey sempat bingung sejenak namun kemudian Mama Rini berkata, “Masuk saja bersama Andreas. Bawa sekalian Baby Rey. Kesempatan menikmati sensasi merawat bayi kembar.”
Wulan ingin protes, tapi ia tak ingin berdebat dan menjadi tontonan bagi beberapa orang yang juga sedang menunggu disana “Kamu tidak kebaratan, Ndre?”
Andreas tersenyum lembut sebagai jawaban iya pada Wulan.
Dengan menggendong Rey, Wulan berjalan di samping Andreas yang menggendong Dilan masuk ke ruang imunisasi.
Perawat menyambut ramah. “Wah, kembar ya? Ganteng semua.”
Wulan tersenyum kikuk. “Eh… bukan, Bu.”
Andreas hanya terkekeh, menimpali, “Tapi rasanya mirip punya kembar.”
Wulan melirik sekilas dengan senyumnya.
"Untuk bayi kedua atas nama siapa, bu?"
"Atas nama Reynald, Dok." Jawab Andreas
Giliran Dilan lebih dulu. Begitu dibaringkan di tempat pemeriksaan, ia sempat tenang, tapi saat jarum mendekat langsung menangis keras.
“Sayang… sebentar… ini buat sehatmu,” Wulan buru-buru menggenggam tangan kecilnya.
Tangisan Dilan ternyata membuat Rey yang ada di gendongan Wulan ikut rewel. Bayi itu menggeliat, wajahnya memerah, bibirnya mengeluarkan rengekan kecil.
“Wah, domino effect nih,” celetuk perawat sambil tersenyum.
Andreas cepat menggendong kembali Dilan yang masih menangis, sementara Wulan berusaha menenangkan Rey. “Ssshh… tidak apa-apa, Sayang. Ada mama disini bersama Rey.”
Begitu Dilan agak reda, giliran Rey. Tapi karena sudah sempat rewel, Rey lebih sensitif begitu disentuh jarum suntik. Tangisnya langsung pecah keras, bahkan lebih kencang dari Dilan barusan.
“Wah, gantian konser,” kata Andreas sambil berusaha bercanda, meski repot menenangkan Dilan di pelukannya.
Wulan ikut panik, mengangkat Rey begitu selesai. Dua bayi sama-sama menangis, membuat ruangan kecil itu riuh.
“Beginilah kalau punya anak kembar,” kata perawat terkekeh sambil merapikan alat suntik.
Wulan menghela napas sambil mengelus kedua putranya bergantian. “Ya Tuhan… kalau begini tiap hari bisa kalang kabut.”
Andreas menimpali dengan senyum lembut, “Tapi seru kan? Rasanya kayak kita benar-benar satu tim.”
Wulan mendongak sebentar, menatapnya. Ada rasa hangat di dadanya, meski mulutnya hanya bisa berucap pelan, “Iya… seru tapi melelahkan. Gak kebayang mama dulu melalui masa ini bertahun-tahun.”
Mereka keluar dari ruangan dengan masing-masing menggendong bayi yang masih sesenggukan kecil. Mama Rini menyambut dengan tawa geli.
“Lihat? Persis orang tua kembar. Mama jadi nostalgia lagi.”
Wulan tersenyum lelah tapi hangat, sementara Andreas menatapnya dengan pandangan yang sulit dibaca.