Lian shen ,seorang pemuda yatim yang mendapat kn sebuah pedang naga kuno
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dwi97, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hutan Seribu Ilusi 4( Ujian di Istana Kaca)
Bab 27 – Hutan Seribu Ilusi (Bagian 4: Ujian di Istana Kaca)
Istana kaca itu berdiri menjulang, memantulkan cahaya dari segala arah. Dinding-dindingnya tampak rapuh, seolah hanya terbuat dari ilusi, namun aura yang memancar darinya begitu menekan, membuat napas Shen dan Lin Feng terasa berat.
Setiap langkah mendekati gerbang besar, lantai kristal di bawah kaki mereka bergetar. Bayangan mereka yang baru saja menyatu kembali tampak menari di permukaan lantai, seolah-olah menertawakan mereka.
Lin Feng menelan ludah. “Shen... perasaanmu bagaimana?”
Shen menatap lurus tanpa mengedip. “Tempat ini... bukan sekadar ujian. Rasanya seperti ada sesuatu yang sedang menilai kita.”
Begitu mereka tiba di hadapan gerbang, pintu raksasa itu terbuka dengan sendirinya, mengeluarkan suara gesekan panjang seperti seribu kaca pecah sekaligus. Dari dalam, cahaya menyilaukan memancar, membuat keduanya harus menutup mata.
Saat cahaya itu mereda, mereka mendapati diri mereka berada di sebuah aula megah. Pilar-pilar kristal menjulang tinggi, memantulkan ribuan bayangan mereka dari segala arah.
Di ujung aula, sebuah takhta berdiri. Di atasnya, sesosok makhluk duduk anggun—tubuhnya transparan seperti kaca, namun matanya berkilau tajam seperti batu safir. Ia mengenakan jubah putih panjang, wajahnya tak berusia, bisa disebut tua maupun muda.
Makhluk itu tersenyum samar. “Selamat datang, para pejalan takdir. Aku adalah Penjaga Hutan Ilusi. Kalian telah melewati cobaan pertama: menghadapi ketakutan dan bayangan diri. Namun... apakah kalian pantas melangkah lebih jauh?”
Shen menunduk sedikit, mencoba menjaga wibawanya. “Kami menerima tantanganmu.”
Makhluk itu berdiri, suaranya bergema di seluruh aula. “Jika begitu, ujian berikutnya adalah Ujian Kebenaran. Tidak ada pedang, tidak ada jurus. Hanya hati kalian yang akan bicara.”
---
Lantai kristal di bawah kaki mereka tiba-tiba retak, lalu pecah menjadi kepingan. Tubuh Shen dan Lin Feng terhisap ke dalam cahaya putih, jatuh ke dunia berbeda.
Shen terbangun di tengah desa sederhana, sama persis dengan tempat ia dibesarkan. Namun anehnya, desa itu penuh kehidupan. Orang-orang menyambutnya dengan senyum hangat, dan di depan matanya berdiri sosok yang paling ia rindukan: ibunya.
Wanita itu berjalan mendekat dengan tatapan penuh kasih. “Shen... kau pulang.”
Shen membeku. Suara itu begitu nyata. Ia ingin berlari memeluknya, namun hatinya tahu: ini pasti ilusi.
Ibunya tersenyum lembut. “Mengapa kau ragu? Tidakkah kau lelah berjuang? Di sini kau bisa hidup damai. Lupakan ambisi, lupakan peperangan.”
Shen menutup mata, dadanya bergetar. Kerinduannya begitu dalam, tetapi ia menggenggam pedangnya erat. “Ibu... aku tahu ini hanya bayangan. Kau bagian dari hatiku, kerinduan yang tidak pernah padam. Tapi aku tidak bisa berhenti di sini. Aku punya jalan yang harus kutempuh.”
Sosok ibunya perlahan memudar, meninggalkan senyum terakhir sebelum lenyap menjadi cahaya.
---
Sementara itu, Lin Feng berada di tempat berbeda. Ia menemukan dirinya berdiri di atas panggung besar, di depan ribuan orang yang bersorak memanggil namanya. Di tangannya ada pedang emas, simbol kehormatan.
Seorang lelaki tua berjubah megah mendekat, mengenakan mahkota. “Lin Feng, kau telah mengalahkan semua lawanmu. Kau layak menjadi raja dunia ini. Lihatlah, semua orang bersujud padamu.”
Lin Feng menatap kerumunan yang berlutut, merasakan kehangatan ego yang membuncah. Bagian dari dirinya berteriak ingin menerima kehormatan itu.
Namun kemudian ia teringat wajah Shen, teringat perjalanan mereka, dan janji pada dirinya sendiri. Dengan suara mantap, ia berkata, “Aku tidak butuh gelar raja. Aku hanya butuh kebenaran dan kebebasan untuk melindungi mereka yang kucintai. Kekuasaan tanpa hati hanyalah belenggu.”
Sekejap, mahkota emas itu retak, panggung megah runtuh, dan kerumunan orang hilang dalam kabut.
---
Shen dan Lin Feng terbangun kembali di aula kristal, tubuh mereka berlutut, napas terengah. Penjaga Ilusi menatap mereka dengan mata tajam, lalu tersenyum puas.
“Bagus. Kalian tidak diperbudak oleh ilusi kenikmatan maupun kerinduan. Kalian mengakui kelemahan hati, namun tidak terseret olehnya. Itu adalah langkah pertama menuju kebijaksanaan.”
Shen bangkit perlahan. “Apakah itu berarti kami lolos?”
Makhluk itu tertawa kecil, suaranya seperti denting kaca. “Lolos? Tidak, anak muda. Itu baru awal. Ujian terakhir menunggu—Ujian Pengorbanan. Dan kali ini, salah satu dari kalian harus memilih...”
Suasana aula mendadak gelap. Dari langit-langit, jatuh rantai-rantai kristal yang melilit tubuh Lin Feng, mengangkatnya ke udara.
Lin Feng terkejut, tubuhnya terikat kuat. “Shen! Apa ini?!”
Penjaga Ilusi menatap Shen dengan dingin. “Jika kau ingin melanjutkan perjalanan, kau harus membuktikan pengorbananmu. Kau punya dua pilihan: biarkan dia binasa agar kau sendiri selamat, atau berikan separuh jiwamu untuk membebaskannya. Tapi ingat, pilihan itu akan melemahkanmu selamanya.”
Shen terdiam, wajahnya pucat.
Lin Feng berteriak. “Shen, jangan dengarkan dia! Kita bisa mencari cara lain!”
Shen menggenggam pedangnya erat, hatinya bergejolak hebat. Ia tahu Penjaga Ilusi tidak berbohong—ujian ini nyata, dan konsekuensinya akan mengikuti mereka seumur hidup.
Dengan suara gemetar, Shen menjawab, “Jika ini ujian pengorbanan... maka aku akan memberikan separuh jiwaku. Karena tanpa Lin Feng, perjalanan ini tidak ada artinya.”
Pedangnya bersinar, cahaya merah mengalir dari tubuhnya menuju rantai kristal.
Lin Feng berteriak histeris, “Tidak! Shen, jangan lakukan itu!”
Namun terlambat. Cahaya itu menyatu ke dalam rantai, menghancurkan belenggu yang mengikatnya. Lin Feng terjatuh ke tanah, bebas, sementara tubuh Shen berlutut lemah, wajahnya pucat, auranya menyusut separuh.
Penjaga Ilusi menatap mereka dengan mata berkilau. “Kau telah memilih dengan hatimu, bukan dengan pedangmu. Mulai saat ini, separuh kekuatanmu hilang. Namun pengorbananmu akan menjadi kunci untuk membuka jalan ke depan.”
Aula kristal bergetar hebat. Dinding-dinding kaca pecah, lantai runtuh, dan mereka berdua kembali terhisap ke dalam pusaran cahaya.
Suara Penjaga Ilusi bergema terakhir kali:
“Lanjutkan perjalananmu, wahai pengembara. Namun ingatlah, setiap pengorbanan akan menuntut harga yang lebih besar...”
---
Saat cahaya memudar, Shen dan Lin Feng tersungkur di tanah. Mereka kini berada di luar hutan, di tepi jurang yang luas. Di seberang jurang, sebuah kota terapung terlihat, bersinar seperti bintang di malam gelap.
Lin Feng menatap Shen dengan mata merah. “Kenapa kau melakukan itu? Kau bodoh!”
Shen tersenyum lemah, suaranya serak. “Karena aku percaya... perjalanan ini bukan milikku sendiri. Kau adalah separuh langkahku, Lin Feng.”
Lin Feng mengepalkan tinju, matanya penuh tekad. “Kalau begitu, mulai sekarang aku yang akan melindungimu. Sampai akhir.”
Mereka berdua berdiri, memandang kota terapung di kejauhan. Mereka tahu, perjalanan baru saja dimulai.