Setelah hubungannya tidak mendapat kejelasan dari sang kekasih. Kapten Prayoda, memutuskan untuk menyerah. Ia berlalu dengan kecewa. Empat tahun menunggu, hanyalah kekosongan yang ia dapatkan.
Lantas, ke dermaga mana akan ia labuhkan cinta yang selama ini sudah berusaha ia simpan dengan setia untuk sang kekasih yang lebih memilih karir.
Dalam pikiran yang kalut, Kapten Yoda tidak sengaja menciprat genangan air di bahu jalan pada seorang gadis yang sedang memarkirkan motornya di sana.
"Sialan," umpatnya. Ketika menoleh, gadis itu mendapati seorang pria dewasa tampan dan gagah bertubuh atletis memakai baret hijau, berdiri resah dan bersalah. Gadis itu melotot tidak senang.
Pertemuan tidak sengaja itu membuat hari-hari Kapten Prayoda tidak biasa, sebab bayang-bayang gadis itu selalu muncul di kepalanya.
Bagaimana kelanjutan kisahnya?
Ikuti juga ya FB Lina Zascia Amandia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deyulia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 Bayangan Yang Semakin Kuat
Langkah Amira meninggalkan Kafe Strawberry terasa berat. Dari luar, senyumnya tetap ia pertahankan, namun di dalam hati ada rasa yang tidak bisa ia abaikan, kecewa. Bukan kecewa karena Iqbal tidak perhatian, tapi karena sikapnya yang jelas belum mampu menerima Amira apa adanya.
Motor maticnya melaju pelan di jalanan sore yang ramai. Angin menerpa wajahnya, namun pikiran Amira justru semakin kacau. Ia mengingat kembali cara Iqbal memandangnya saat ia makan cepat. Bukan tatapan kagum atau penuh sayang, melainkan tatapan risih yang ditutup dengan senyum kaku.
"Kalau untuk hal kecil saja dia tidak bisa menerima aku... bagaimana dengan hal-hal besar?" batin Amira. "Apa dia akan selalu menuntut aku untuk terlihat sempurna, anggun, dan sesuai standar istri Bhayangkari?"
Hatinya teriris. Ia tidak ingin hidup dalam tuntutan. Ia ingin diterima apa adanya, dengan segala keunikannya. Bukankah cinta seharusnya membuat seseorang merasa bebas, bukan terikat oleh gengsi?
Di sisi lain, Iqbal masih duduk di kafe itu meski Amira sudah pamit. Tangannya meremas gelas es teh yang sudah kosong. Ia termenung, teringat jelas bagaimana Amira melahap dua porsi makanan dengan cepat.
"Kenapa aku tidak bisa mentoleransi itu?" pikir Iqbal. Bukankah seharusnya aku mencintai dia apa adanya? Tapi... aku tidak bisa bohong, bayangan tentang status dan pandangan orang lain terus menghantui."
Iqbal menghela napas panjang. Bayang Rindi kembali melintas di pikirannya. Senyum percaya diri, cara bicara yang penuh wibawa, serta sikap anggun yang menurutnya sesuai dengan gambaran seorang istri polisi. Tanpa sadar, ia membandingkan Rindi dengan Amira.
Namun, di balik perbandingan itu, ada perasaan bersalah yang mulai merayap. "Apakah aku salah menilai Amira hanya dari caranya makan? Apakah aku terlalu dangkal?" bisiknya dalam hati merasa bersalah.
Sementara itu, Yoda sedang duduk sedikit santai di ruang kerjanya. Selesai rapat sore, ia membuka ponselnya, berharap ada pesan dari Amira. Tapi layar itu kosong, hanya pesan terakhirnya yang masih belum dibalas.
Ia bersandar di kursi, menatap langit-langit. Bayangan Amira kembali hadir, kali ini lebih kuat dari sebelumnya. Senyum polosnya, cara bicaranya yang jujur, bahkan caranya makan yang lahap pernah ia saksikan sendiri.
Dan anehnya, Yoda justru merasa bahagia setiap kali mengingatnya. "Dia tidak jaim. Dia tulus. Itu yang membuatku semakin jatuh hati."
"Anehnya, meskipun makannya cepat dan banyak, Amira begitu rapi dan tidak belepotan," lanjutnya masih berbisik kecil diimbuhi senyum kecil.
Malam itu, Amira duduk di balkon kamarnya. Lampu jalanan berkelip-kelip di kejauhan. Tangannya memegang gelas teh hangat, matanya kosong menatap langit malam.
Ada perasaan sedih, kecewa, campur bahagia. Kecewa dan sedih jelas ia rasakan atas sikap Iqbal di kafe kemarin. Meskipun dia tidak berniat lebih, tapi sikap Iqbal membuat hati Amira sedih.
"Kak Iqbal ternyata tidak tulus. Awal-awal dia menunjukkan sikap yang serius, bahkan dia pernah bilang menyukai aku, giliran aku benar-benar memperlihatkan cara makanku, dia langsung ilfeel," gumamnya sedih.
Memang diantara dua yang lebih condong dia pilih dari cara bersikap tentulah Yoda. Tapi, jujur Amira masih ragu dengan Yoda yang masih begitu dekat dengan dokter Serelia. Bahkan menurut pengakuan dokter Serelia, mereka kini bekerja dalam satu kesatuan yang sama. Dokter Serelia ditarik ke kesatuan Yonif XXX sebagai dokter bantu di kesatuan itu.
"Mereka tambah dekat. Bibir Kak Yoda bisa saja mengatakan sudah selesai. Tapi, kalau setiap hari bekerja di bangunan yang sama, bukan tidak mungkin rasa cinta itu akan tumbuh subur kembali."
Amira mendengus, kepalanya jadi pusing gara-gara memikirkan kedua pria yang kini sedang merasuki otaknya. Amira buru-buru mengalihkan pikirannya ke hal lain. Untungnya, dia tiba-tiba kembali teringat saat dirinya diajak Lahat ke rumahnya sepulang dari kampus.
Percakapan dengan Lahat dan Aika beberapa hari lalu kembali terngiang. “Jangan memilih karena kasihan. Pilihlah karena hatimu merasa tenang.”
Amira menghela napas panjang. Sebenarnya dia harus sudah menentukan siapa yang dia pilih kalau hanya menilai dari sikap keduanya saat Amira memberi ujian kemarin. Tapi, Amira masih ada pertimbangan lain. Sehingga ia belum ingin buru-buru memutuskan, siapa yang dia pilih.
Baginya, cinta bukan hanya soal siapa yang membuat nyaman, tapi juga soal keseriusan, komitmen, dan bagaimana seseorang mampu menjaga hati.
Ia menulis sebuah catatan kecil di buku hariannya:
“Ujian pertama, Kak Yoda lulus. Sementara Kak Iqbal, belum."
"Tapi hatiku masih ingin menunggu, siapa yang benar-benar pantas.”
Air matanya tiba-tiba menetes tanpa ia sadari. Bukan karena sedih, melainkan karena hatinya benar-benar bingung. Giliran sudah ada dua pria mapan, dewasa dan tampan, sesuai yang pernah Amira angan-angankan, tapi sayangnya Amira masih dilanda bingung.
Keesokan harinya, Yoda nekat datang ke kampus Amira. Ia berdiri di pinggir jalan, menunggu Amira keluar dari kelas. Motor Amira keluar dari gerbang. Yoda buru-buru mencegat Amira.
"Amira,” sapa Yoda dengan suara tenang namun bergetar.
Amira menoleh, agak terkejut. “Kak Yoda? Ngapain di sini?”
"Aku cuma... pengen lihat kamu,” jawab Yoda jujur.
Teman Amira yang berada di belakang Amira tersenyum menggoda lalu pamit lebih dulu, meninggalkan mereka berdua.
Ada jeda hening di antara mereka. Yoda akhirnya bicara lagi, "Aku tahu kamu masih bingung. Tapi Amira, aku ingin kamu tahu ... bahwa aku sungguh-sungguh. Aku akan menunggu keputusanmu, tanpa paksaan. Yang penting kamu bahagia.”
Kata-kata itu menelusup ke dalam hati Amira. Tatapan Yoda tulus, tidak ada tekanan, tidak ada gengsi.
Namun sebelum Amira sempat menjawab, sebuah suara lain memanggil.
“Amira!”
Mereka menoleh. Iqbal berdiri di seberang jalan, melambaikan tangan. Ia mendekat dengan langkah cepat. Namun matanya tidak bisa menyembunyikan kekecewaan saat melihat Amira sudah bersama Yoda.
Hati Amira berdegup kencang. Kini kedua pria itu berdiri di hadapannya. Entah apa yang diinginkan Iqbal sehingga dia tiba-tiba datang ke kampusnya setelah sikapnya di kafe kemarin, yang terlihat ilfeel menyaksikan dirinya makan lahap dan banyak.
Iqbal menatap ke arah Yoda. Bagitupun sebaliknya, sehingga keduanya kini terlibat ketegangan. Yoda menatap dingin, Iqbal membalas dengan tatapan penuh tantangan.
Amira tercekat. Dia seperti sudah memulai perang antara dua pria mapan itu tanpa dia sadari.
Amira buru-buru menengahi, dia memposisikan dirinya di tengah-tengah mereka.
Iqbal menepuk bahu Amira pelan, seolah ingin menunjukkan kedekatan yang lebih. "Amira, ayo kita makan bareng. Aku tahu ada tempat baru yang enak."
Yoda segera menyela, "Amira sudah janjian sama aku.”
Amira terdiam, bingung. Ia tidak ingin menyakiti salah satu, tapi situasi sudah terlanjur tegang.
“Kalian ... tolong jangan seperti ini,” ucap Amira akhirnya, suaranya bergetar. “Aku belum memutuskan siapa pun. Jangan membuatku semakin bingung dengan sikap kalian."
Keduanya terdiam. Yoda menunduk, mencoba menahan emosi. Iqbal menghela napas, wajahnya menegang.
Amira melangkah mundur. "Aku butuh waktu. Jangan paksa aku memilih sekarang. Kalau kalian benar-benar serius, buktikan. Tapi jangan dengan saling bersaing di depan mataku seperti ini, seolah kalian merasa paling baik satu sama lain."
Amira berbalik dan berjalan cepat meninggalkan mereka, setelah bicara seperti itu.
Yoda berdiri terpaku, hatinya perih. Tapi ia tahu satu hal, Amira butuh waktu. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tetap sabar.
Sementara Iqbal menatap punggung Amira yang menjauh dengan rasa frustasi. Di dalam hatinya, ia mulai sadar, rasa risihnya kemarin bisa jadi menjadi penghalang besar. Dan Amira mulai menyadarinya. Namun gengsinya masih terlalu tinggi untuk ia akui.
Hari itu berakhir dengan ketegangan yang belum terpecahkan. Namun di hati Amira, perlahan-lahan, bayangan Yoda semakin kuat.
sabar bang Yoda..cinta emang perlu perjuangan.
hmm..Amira ujianmu marai koe kwareken mangan.aku seng Moco Karo mbayangke melok warek pisan mir.🤭
kk othor akuh kasih kopi biar melek bab selanjutnya 😁.
iqbal gk cocok
rnak yg lebih tua iya kan ehhh mapan buka n tua ding🤣😁😁☺️