Maura seorang asisten pribadi, mendapati dirinya terperangkap dalam hubungan rumit dengan atasannya, Marvel-seorang CEO muda yang ambisius dan obsesif. Ketika Marvel menunjukkan obsesi terhadap dirinya, Maura terperangkap dalam hubungan terlarang yang membuatnya dihadapkan pada dilema besar.
Masalah semakin pelik ketika Marvel, yang berencana bertunangan dengan kekasihnya, tetap enggan melepaskan Maura dari hidupnya. Di tengah tekanan ini, Maura harus berjuang mempertahankan batas antara pekerjaan dan perasaan, sekaligus meyakinkan keluarganya bahwa hubungannya dengan Marvel hanyalah sebatas atasan dan bawahan.
Namun, seberapa lama Maura mampu bertahan di tengah hasrat, penyesalan, dan rahasia yang membayangi hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oveleaa_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
“Sayang, tolong ambilkan gula di rak atas,” ucap Neni sambil mengaduk adonan pie.
Maura cepat-cepat berdiri di sampingnya, menuruti permintaan itu. Wangi kayu manis dan apel memenuhi dapur. Tadi ia bangun pagi-pagi sekali dan tidak sengaja melihat Neni di dapur. Ia berinisiatif membantunya.
“Marvel suka pie buatanku. Sejak kecil dia selalu minta dibuatkan, bahkan sampai dewasa kebiasaannya tidak berubah,” ujar Neni, senyum tipis menghiasi wajah tuanya.
Maura terkesiap beberapa saat. “Pie apel?”
“Ya,” jawab Neni ringan. “Kamu baru tahu?”
Maura tersenyum kikuk. “Iya … saya baru tahu.”
Neni menoleh sejenak, menatap wajah Maura dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. “Sudah berapa lama kamu mengenal Marvel?” tanyanya pelan.
Maura menaruh gula di meja, mengusap tangannya yang penuh tepung. “Kurang lebih enam tahun.” Ia tersenyum tipis, menatapnya sekilas. "Dulu saya melamar di perusahaan sebagai office girl, tapi malah diterima sebagai asisten pribadi."
Neni terdiam. Matanya membulat kecil, lalu senyum samar tersungging di wajahnya. “Karena kamu cantik dan baik, siapa pun akan menyukaimu pada pandangan pertama." Ia menarik napas panjang. "Enam tahun, cukup lama juga rupanya. Aku tahu dia kadang menyebalkan, kamu pasti sudah terbiasa dengan hal itu. Tapi percayalah, sebenarnya dia anak yang baik.”
Maura menunduk, hanya bisa mengangguk menjawab dengan senyum tipis. Di dalam hati ia mengumpat, mempertanyakan kebaikan dari sisi mana yang bisa dilihat sedangkan setiap hari pria itu menyiksanya dengan hal-hal yang tidak masuk akal. Semua serba salah di matanya. Ia hampir gila, tetapi mau tidak mau harus bertahan karena tidak ada pilihan.
“Kalau kamu bertahan sejauh ini, artinya kamu benar-benar kuat. Banyak orang menyerah setelah beberapa bulan saja berurusan dengannya. Tapi kamu … enam tahun, Sayang.”
Mendengar ocehan itu, Maura ingin sekali berteriak di telinganya kalau ia sebenarnya tersiksa. Namun, kekesalannya itu tertelan begitu saja. Mana mungkin ia berteriak pada orang tua ini.
“Sebenarnya, Marvel itu—” Neni mendesah pelan, lalu terkekeh kecil. “Dia kadang terlalu mirip ayahnya. Sama-sama keras kepala, sama-sama brengsek." Ucapan itu meluncur begitu saja dari mulutnya, tanpa disadari.
Maura spontan menoleh, kalau hal itu ia sangat setuju. Akan tetapi, tunggu ....
“Ayahnya?” Kening Maura mengerut. Selama ini ia hanya mengerti namanya karena pernah disebutkan oleh klien dalam beberapa kesempatan. Namun, ia tidak tahu wujudnya. Kalau kata orang-orang, wajahnya mirip sekali dengan Marvel.
Neni mendadak terdiam, seolah baru sadar apa yang baru saja ia katakan. Wajahnya berubah canggung, matanya sedikit menghindari tatapan Maura.
“Maksud Neni, ayahnya Marvel itu bagaimana? Selama ini Marvel tidak pernah membahas keluarganya, bahkan saya baru tahu Neni setelah Marvel mengajakku ke sini,” tanyanya hati-hati, suaranya pelan penuh rasa ingin tahu.
Neni terdiam sesaat, tangannya sibuk menata apel di atas adonan seolah sedang mencari waktu. Senyum samar di wajahnya memudar, berganti dengan guratan getir.
“Dia bukan orang baik,” gumamnya akhirnya. “Keras kepala, suka mengatur, dan main perempuan. Dia bukan ayah yang baik."
Maura terdiam, menahan napas. Ucapannya bergema di kepala, menyentuh sesuatu yang begitu familiar dalam dirinya.
Neni menghela napas panjang. “Kadang aku melihat Marvel— ah, maaf. Aku hanya berharap dia tidak meniru terlalu banyak dari ayahnya.”
Mata Neni beralih ke wajah Maura, ada rasa bersalah sekaligus khawatir terpancar dalam mata itu. “Apa selama ini kamu baik-baik saja? Apa dia menyakitimu? Jujur saja aku khawatir."
Maura mengulas senyum tipis, menyembunyikan rasa yang bergejolak si dadanya. "Dia memang menyebalkan, tapi sangat baik, seperti yang kamu katakan tadi." Jantungnya berpacu cepat. Entah kenapa mulutnya mengkhianati hatinya yang mati-matian ingin mengungkapkan segalanya dengan jujur, tetapi ia tidak tega melihat wajah Neni.
"Syukurlah. Aku selalu khawatir dia akan mendapatkan banyak masalah dengan sikap kerasnya itu."
Maura menunduk, pura-pura sibuk merapikan adonan, menyembunyikan kebohongannya. "Tidak perlu khawatir. Justru sikap kerasnya itu yang membuat Marvel disegani, hingga berhasil memimpin perusahaan, membuatnya menjadi perusahaan besar. Kamu seharusnya bangga."
Senyum hangat terbit di bibir Neni. "Kamu wanita yang baik. Aku berdoa semoga kalian berjodoh."
Uhuk!
Maura terbatuk karena tersedak air liurnya sendiri, terkejut. Mati-matian ia menjauh dari iblis itu, dan sekarang ada yang mendoakannya berjodoh? Baginya itu doa yang buruk.
"Maaf Neni, jangan berdoa seperti itu. Marvel sudah memiliki pasangan, lagipula kami tidak cocok dalam segala hal," ucapnya setelah batuknya reda.
Neni mendengus. "Apa salahnya berdoa."
"Salah karena kamu mendoakan orang yang sudah memiliki—"
"Neni!" Suara teriakan dan langkah kaki terdengar dari ruang tengah, membuat Neni menoleh dengan wajah berbinar.
“Marvel! Pas sekali, pie apel kesukaanmu hampir jadi.” Ia sengaja mengabaikan Maura karena tidak ingin mendengar penolakannya.
Marvel masuk dengan langkah santai. Begitu matanya bertemu dengan Neni, ekspresinya berubah hangat. “Seharusnya tidak perlu repot, aku bisa membelinya,” ucapnya, lalu menunduk mencium tangan Neni.
Bibir Neni mengerucut. "Jadi, anak nakal ini sudah tidak menyukai pie buatanku?" rajuknya.
"Bukan begitu, aku hanya tidak ingin tangan keriput ini kelelahan." Marvel mengusap punggung tangan Neni.
Mereka bercakap ringan, penuh tawa kecil. Marvel bahkan sibuk mengambilkan kursi untuk Neni dan menuangkan air ke dalam gelas. Seluruh perhatian terarah hanya pada Neni, seolah tidak ada orang lain di dapur itu.
Maura berdiri di sisi meja, sendok kayu masih di tangannya. Bukannya sakit hati, diam-diam ia justru merasa lega. Senyum samar menghiasi bibirnya. Baguslah… terus saja bersikap begitu, Marvel. Jangan pedulikan aku.
Ia kembali sibuk dengan adonan pie, pura-pura tidak peduli, meski telinganya menangkap jelas setiap tawa kecil yang keluar dari bibir Neni dan Marvel.
***
Suasana dapur kembali hening setelah suara langkah Neni perlahan menjauh ke kamar. Pie sudah matang dan Neni mengeluh kelelahan lalu Marvel menyuruhnya beristirahat.
Maura menghela napas pelan, menumpuk piring ke wastafel lalu mulai membilasnya. Aroma manis pie apel masih menggantung di udara, membuatnya sedikit tenang. Namun, ketenangan itu buyar begitu saja ketika lengan kuat tiba-tiba melingkar dari belakang, menempel rapat ke pinggangnya. Maura tersentak, hampir menjatuhkan piring yang ia pegang.
“Marvel!”
“Hm,” gumamnya rendah, suaranya berat dan dekat di telinga. “Kalian tadi membicarakan apa saja?”
Padahal tadi pria itu tidak mengacuhkannya, tetapi kenapa sekarang seperti ini. Maura menelan ludah, menegakkan tubuhnya. "Banyak hal."
"Apa saja?" Marvel semakin mengeratkan pelukannya, memaksa Maura untuk berbicara. "Marah terlalu lama membuatku merindukanmu, hari ini kamu sangat cantik." Marvel menyeringai kecil.
“Bukan apa-apa, tidak penting,” jawab Maura singkat, mengabaikan ucapannya yang lain. Ia tahu si brengsek itu sengaja menggodanya.
“Tidak penting?” Marvel memutar tubuh Maura dengan kasar agar menghadapnya. Matanya menusuk tajam. “Kamu benar-benar tidak ingin menceritakannya padaku?"
Maura mengerjap, ingin menghindar. Tapi akhirnya lidahnya terpeleset. “Neni bilang … kau mirip dengan ayahmu. Anehnya dia menganggapmu baik,” cibirnya.
Udara langsung membeku. Sekejap saja senyum tipis Marvel hilang, berganti guratan marah yang dingin. Tawa pendek lolos dari bibirnya. “Mirip dengan ayahku?” ulangnya pelan, hampir seperti gumaman, tatapannya tajam. “Kamu benar-benar tidak kapok, ya?”
Kening Maura mengkerut, ia benar-benar tidak tahu kenapa Marvel menjadi sangat marah. “Marvel, aku tidak tahu apa yang kamu maksu—”
Kalimat itu terputus ketika Marvel mendorong tubuhnya ke meja dapur di sampingnya dengan kasar. Matra meringis merasakan punggungnya membentur tepi meja. Tangannya meraih lengan Marvel, berusaha menahan, tetapi cengkeraman pria itu lebih kuat.
“Kenapa kamu gemar sekali membuatku marah? Kemarin bicara tentang ibuku, sekarang ayahku. Apa berikutnya? Kamu ingin mengorek seluruh masa laluku dan menertawakannya di wajahku? Itu maksudmu?” Suaranya meninggi.
“Aku tidak menertawakanmu!” Maura berusaha bersuara tegas meski tubuhnya bergetar. “Aku hanya—”
Ciuman kasar Marvel memotong kata-katanya. Brutal, tanpa jeda, hanya paksaan yang membuat Maura hampir kehilangan nafas. Bibirnya terasa perih, tubuhnya terguncang, tetapi Marvel tidak peduli.
Ketika akhirnya Marvel melepaskan ciuman itu, napas mereka sama-sama memburu. Marvel menatapnya lekat-lekat, rahangnya mengeras. “Sekali lagi kamu menyebut orang tuaku, saya pastikan hukumanmu jauh lebih menyakitkan dari yang pernah kau bayangkan. Bukankah sudah kutakakan berulang kali, huh? Kamu benr-benar menginginkannya, ya?”
"Marvel, aku tidak bermaksud seperti itu! Kamu bertanya dan memaksaku untuk menjawab. Aku tidak bersalah hingga harus dihukum!"
maaf kak, ini hanya saran dariku, tapi penyusunan kalimat kakak sdh sangat bagus, hanya muter2 ya itu saja
terimakasih kakak 😍