NovelToon NovelToon
Perlindungan Anak Mafia

Perlindungan Anak Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Roman-Angst Mafia / Persaingan Mafia
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Himawari Daon

Jameson, anak Mafia yang hidup di Kanada. Dia terpaksa menculik Luna, seorang barista di Indonesia demi melindunginya dari bahaya.

Ternyata, Luna adalah Istri Jameson yang hilang ingatan selama 5 tahun dan perjalanan dimulai untuk mengembalikan ingatan Luna.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Himawari Daon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 3 : Permainan Menebak Isi Brankas

Welcome…

...Happy Reading...

.... ...

.... ...

.... ...

“Aku percayakan semua padamu!” ucap Jameson dari balik kaca mobil.

Seven mengangguk kemudian dia mengarahkan semuanya menuju tempat yang berbeda. Pasalnya, Seven sudah tahu sejak awal pengepungan pesawat Jameson di lapangan. Karena itu, dia bertindak lebih dulu sebelum pengepungan itu terjadi.

“Dia akan membawa kita kemana, Tuan?” tanya Ten sambil mengamati lelaki yang mengendarai sepeda motor di depannya.

“Kita lengah, Ten. Untungnya Seven sudah memindahkan pesawat ke tempat lain sebelum mereka datang.”

“Tuan, akan membawanya ke Kanada?” tanya Ten ingin tahu.

“Selama ini dia sudah membantuku untuk melindungi Luna, aku akan menanyakannya nanti,” jelas Jameson sambil memandang Luna yang dia sandarkan di bahunya.

“Tapi, sepertinya mereka berdua ada hubungan spesial Tuan,” gumam Ten curiga.

Jameson mengepalkan tangannya, “Diamlah! Atau aku akan merobek mulutmu!” ancamnya.

Ten langsung diam setelah mendapat ancaman dari Tuannya. Tidak ada yang tahu seberapa dalam hubungan Luna dan Seven kecuali mereka berdua. Jameson semakin geram jika memikirkan hal itu.

Waktu telah menunjukkan pukul 02.00 WIB, rombongan Kubu Black Mamba telah berhasil sampai di tanah kosong tepatnya di tengah hutan.

Pesawat sudah siap di sana, Jameson menggendong Luna keluar menuju burung besi tersebut.

“Seven, kau bisa ikut kita ke Kanada. Dan di sana, aku pasti butuh bantuanmu untuk menjaganya.” Jameson melirik ke arah Luna.

“Baik, Tuan. Aku juga ada hutang penjelasan kepada Luna.” Seven menerima tawaran Jameson.

Jameson terlihat kesal saat mendengar lelaki itu menyebut nama miliknya dengan santai, “Ingat, kau di sana harus memanggilnya Nyonya Luna!”

“B-baik, Tuan,” jawab Seven gugup.

Keberangkatan pesawat long range jet milik Jameson tepat pukul 02.30 dini hari. Semua pengawal ikut serta dalam penerbangan.

Jameson dan Luna duduk di bangku pesawat privasi, di mana ada ruang tersendiri untuk mereka.

Jameson menutup matanya sambil bersedekap dada di depan kursi Luna. Sebenarnya, dia tidak benar-benar tertidur. Jameson sangat menunggu wanita itu tersadar dari obat biusnya.

Tidak berapa lama, kelopak lentik itu terbuka. Luna memegang kepalanya, dia merasa dunia masih saja berputar. Setelah sepenuhnya sadar, dia terkejut mengapa tangannya diikat.

Dia menoleh ke samping dan menyadari bahwa dia kini berada dalam pesawat.

Luna menatap penuh amarah ke arah Pria di depannya, “Apa yang kau lakukan, brengsek?!” teriaknya kemudian dia berusaha melepaskan ikatan di tangannya, namun ikatan itu malah semakin kuat.

“Jangan terlalu banyak gerak atau ikatan itu akan semakin kuat!” kata Jameson tanpa membuka mata.

Meskipun diingatkan tak membuat Luna berkutik. Dia masih tetap berusaha untuk melepaskan ikatan itu. Hingga suaranya tak terdengar lagi karena menahan sakit di tangannya.

Jameson menghembuskan napas berat dan membuka matanya, dia berpikir wanita di hadapannya memang keras kepala.

Terpaksa Pria itu melepaskan tali yang mengikat tangan Luna.

Plakk

Tamparan keras berhasil mendarat di pipi Jameson setelah ikatan itu terlepas dari tangan Luna. Jameson memegang pipinya yang memerah sembari membelalakkan matanya.

“Kau mau membawaku kemana, huh?!” tanya Luna marah.

“Aku sedang membawamu pulang,” jawab Jameson lembut.

“Pulang? Rumahku di Panti Asuhan Mimpi.”

“Aku tahu Luna, tapi jauh sebelum itu kamu tinggal di Kanada bersamaku,” jelas Jameson mencoba meraih tangan wanita itu namun dia menepisnya.

“Aku tidak ingat kalau memiliki keluarga brengsek sepertimu!” tunjuknya dengan wajah geram.

Jameson melirik pergelangan tangan Luna yang lebam karena bekas ikatan tali. Dia merasa bersalah akan tetapi Jameson tidak berani menyentuh Luna yang belum menaruh percaya padanya.

Jameson memutuskan untuk menelepon Ten, “Bawa brankas itu kemari!” perintahnya dari telepon.

Tidak lama, Ten datang membawa brankas besi di atas troli pengantar makanan. Luna melirik benda itu, dia merasa aneh dengan brankas besi tersebut.

“Luna, apa kamu mengingat brankas ini?” tanya Jameson penuh harap.

Luna kini bersedekap dada dengan menampilkan wajah tak peduli, “Tidak ada yang perlu kuingat dengan benda ini!”

Jameson ragu, “Benarkah? Kamu benar-benar tidak mengingatnya?” tanyanya sekali lagi.

“Benar, aku tidak tahu. Mengapa aku harus mengingatnya?!”

“Brankas besi ini milikmu,” jawab Jameson berat.

Luna menatap matanya dan mencari celah kebohongan di sana. Namun, dia hanya melihat tatapan tulus.

“Aku tidak pernah memiliki brankas seperti itu!” elak Luna tak peduli.

“Aku mohon, bisakah kamu mencoba mengingatnya?!” Jameson memohon.

“Aku sudah bilang, aku tidak tahu brankas ini! Mengapa kamu memaksa aku untuk mengingatnya!” teriaknya geram.

“Kalau begitu, kita bisa bermain tebak-tebakkan. Jika kamu bisa menebak isi dalam brankas ini, aku akan melepaskanmu. Tapi, jika kamu tidak bisa menebaknya, kamu harus tetap ikut aku ke Kanada.” Jameson menatapnya sambil menarik sudut bibirnya.

Kedengarannya menarik, pikir Luna. Dia memang bertujuan untuk tidak ikut dengan pria di hadapannya. Tapi, apakah semua itu adil?

Luna berdehem, dia melirik Jameson dan brankas itu bergantian. “Aku hanya perlu menebak isinya kan?” tanyanya memastikan.

“Ya, kamu hanya perlu menebak isi dalam brankas ini,” jawab Jameson tersenyum puas, karena sejak awal dia tahu kalau wanita keturunan Spanyol itu tidak akan bisa menebak dengan benar.

Luna mengambil posisi ternyamannya, sambil memandangi brankas besi. Dia menatap tajam Jameson, “Kau harus menepati janjimu! Atau aku tidak akan segan melompat dari pesawat!” ancamnya.

Jameson sedikit takut mendengarnya, akan tetapi dia menyetujui apa yang Luna katakan.

“Baiklah, kita mulai sekarang!”

Lima belas menit terlewat, Luna masih tampak berpikir sambil menatap ke arah benda itu. Dia terlihat geram lalu melirik ke arah Jameson.

“Surat Warisan?” tebaknya masih ragu.

Jameson menampilkan ekspresi datar, “Kamu yakin?”

Luna mencari jawaban dari sorot mata pria di depannya, dan ia merasa tebakannya salah.

“Harta Karun Kafe De Luna?” tebaknya lagi.

Jameson tertawa, “Kalau isinya harta karun Kafe De Luna, mengapa aku harus memaksamu untuk menebak isinya?”

Luna terlihat kecewa, “Beri aku kata kunci!”

“Kamu ingin bermain curang?”

“Bagaimana aku bisa menebaknya? Aku saja baru melihat benda ini!” protes Luna kesal.

“Di dalam brankas ini ada sesuatu yang penting dalam hidupku,” jawab Jameson menatap pupil biru itu.

“Batu nisan!” tebak Luna dengan cepat dan yakin.

Jameson mendengar jawaban Luna sedikit emosi namun dia menahannya, “Mengapa kamu bisa seyakin itu?”

“Batu nisan juga benda penting dalam hidupmu kan? Benda itu akan sangat berguna saat kematianmu.” Luna tersenyum puas.

Jameson menghela nafas panjang untuk meredam emosinya.

Luna tahu tebakannya salah lagi, “Surat wasiat,” tebaknya lagi tak menyerah.

“Guci Abu?”

“Karangan bunga? Keranda? Dupa?”

“Kamu sedang menyumpahiku ya?” geram Jameson memegang dahinya pening.

“Bukannya itu semua hal yang penting dalam hidupmu?!”

“Aku tahu semua orang akan mati tapi–”

“Love,” Luna memotong ucapan Jameson.

Jameson tersentuh mendengarnya, dia mencoba menatap lekat wanita di hadapannya.

“Cinta juga penting kan dalam hidupmu?” tanya Luna memastikan. “Atau tidak ada cinta dalam hidupmu?” imbuhnya terdengar mengejek.

Jameson berpikir sejenak, “Kamu benar, Cinta sangatlah penting dalam hidupku.”

Luna senang mendengarnya, “Berarti aku benarkan? Isi dalam brankas ini mungkin foto orang yang kamu cintai.”

“Mungkin kamu benar,” Jameson terhanyut.

“Sekarang lepaskan aku! Pulangkan aku lagi ke Panti Asuhan Mimpi! Kau sudah berjanji!”

Jameson tersadar, “Aku tidak bilang kalau jawabanmu benar,” katanya membuat Luna kesal.

“Dasar brengsek! Aku akan melompat saja dari sini!” ancamnya kemudian dia berdiri dan berjalan pincang menjauhi Jameson.

Jameson menutup matanya santai, dia sengaja membiarkan wanita itu bergerak. Dia tahu, Luna tidak akan bisa membuka pintu pesawatnya.

Jameson masih mendengar Luna mengomel, suaranya semakin jauh. Dia pikir wanita itu berjalan ke gerbong dapur dan di sana banyak sekali pengawalnya yang menjaga.

Lambat laun, Jameson sudah tak mendengar suaranya. Dia juga merasa lelah dan mengantuk. Saat dirinya sudah hampir tertelan oleh mimpi, telinganya seakan mendengar sesuatu yang aneh.

Dorrrr

Suara tembakan membangunkannya dari mimpi. Dia membelalakkan matanya terkejut bercampur takut. Dengan cepat Jameson berlari ke arah gerbong dapur.

Saat dia membuka tirai pembatas antar gerbong, matanya membulat sempurna. Rasa takut menelannya.

To be continued

Suara tembakan? Luna kah yang kena tembakan? Aduhhh, gawat. Jangan sampai deh ya 😅

1
Emmanuel
Bahasanya keren abis.
Himawari Daon: Hehe, terima kasih kakak 🥰 Ini juga baru belajar. Ditunggu bab selanjutnya ya 🤗
total 1 replies
Yoi Lindra
Author, tolong jangan biarkan saya menunggu terlalu lama, update sekarang juga!
Himawari Daon: hehe, siap ditunggu ya gaes😊
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!