Kiara dan Axel berteman sejak kecil, tinggal bersebelahan dan tak terpisahkan hingga masa SMP. Diam-diam, Kiara menyimpan rasa pada Axel, sampai suatu hari Axel tiba-tiba pindah sekolah ke luar negeri. Tanpa memberitahu Kiara, keduanya tak saling berhubungan sejak itu. Beberapa tahun berlalu, dan Axel kembali. Tapi anak laki-laki yang dulu ceria kini berubah menjadi sosok dingin dan misterius. Bisakah Kiara mengembalikan kehangatan yang pernah mereka miliki, ataukah cinta pertama hanya tinggal kenangan?
*
*
*
Yuk, ikuti kisah mereka berdua. Selain kisah cinta pertama yang manis dan menarik, disini kita juga akan mengikuti cerita Axel yang penuh misteri. Apa yang membuatnya pindah dan kembali secara tiba-tiba. Kenapa ia memutus hubungan dengan Kiara?.
MOHON DUKUNGANNYA TEMAN-TEMAN, JANGAN LUPA LIKE, DAN KOMEN.
Untuk menyemangati Author menulis.
Salam Hangat dari tanah JAWA TENGAH.❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Story Yuu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 Axel Jadi Pengawal
Tak tahan dengan tingkah Kiara, Axel langsung keluar dari kamar itu.
Hari ini menandai awal yang baru: Axel dan Kiara tinggal serumah. Tidak ada yang berani mengakuinya, tapi detak jantung mereka sama-sama kacau hanya karena menyadari satu hal, mulai sekarang, jarak di antara mereka hampir tidak ada.
Axel menuju kamarnya dan langsung menjatuhkan diri di kasurnya. Tinggal seatap dengan seorang gadis? Ini benar-benar gila. batinnya masih tak percaya, kini kamar Kiara berada di sebelah kamarnya.
“Axel! Kiara! Ayo makan dulu!” seru Widia dari lantai bawah.
Axel dan Kiara keluar kamar hampir bersamaan. Keduanya refleks terdiam di depan pintu, saling kaget, lalu sama-sama kikuk. Axel hendak turun ke lantai satu, sementara Kiara justru melangkah ke arah berlawanan. Akibatnya, mereka nyaris saling tabrak, masih terus bertingkah konyol dengan gerakan maju-mundur tak jelas.
Axel akhirnya menghela napas panjang, menatap Kiara dengan wajah setengah jengkel.
“Sebenernya kamu mau kemana?” tanyanya, nadanya terdengar seperti teguran.
Kiara mengangkat alis, wajahnya sedikit memerah karena malu. “Aku… mau ke kamar mandi,” sahutnya, buru-buru menunjuk salah satu pintu di belakang Axel.
Tak banyak kata, Axel langsung memiringkan tubuhnya dan sedikit minggir, memberi jalan kepada gadis itu. Buru-buru Kiara melangkah menuju kamar mandi, sementara Axel berjalan pelan menuruni tangga menuju ruang makan.
“Dimana Ara?” tanya Widia setelah melihat putranya datang sendirian dari lantai atas.
“Ke kamar mandi,” jawab Axel dengan datar.
“Axel, dengarkan mama. Jangan sampai kamu membuat Kiara nggak betah di rumah ini,” ujar Widia tiba-tiba, suaranya terdengar penuh penekanan, seolah Axel adalah ancaman bagi Kiara saat itu.
Axel sontak mendongak, alisnya terangkat menatap heran ibunya. “Memangnya Axel melakukan apa?” balasnya.
“Kamu selalu ketus sama Ara, jangan buat dia sedih,” tegas Widia lagi.
“Siapa sebenarnya anak mama? Kiara, Kiara, Kiara. Terus aja Kiara,” protesnya dengan nada kesal, tapi sadar itu takkan mempengaruhi ibunya yang sudah kecintaan sama Kiara.
Tak lama, Kiara turun dan bergabung dengan mereka di meja makan. Kiara menarik kursi dan duduk tepat di depan Axel, kemudian menyadari mata pria dihadapannya terus meliriknya dengan tajam.
Entah apa salahnya, tapi gadis itu tak terlalu memikirkan, seolah ia sudah terbiasa dengan perubahan sikap Axel yang tak tentu arah. Sebentar baik, kemudian ketus, hangat dan perhatian, lalu kembali dingin kepadanya.
“Ara… kamu ada rencana hari ini?” tanya Widia, suara lembutnya memecah ketegangan hati dua remaja itu.
Kiara menoleh dengan cepat, “Nggak ada tante,” sahutnya sambil menggelengkan kepala.
“Bagus, gimana kalau kita shopping?” ujar Widia, matanya berbinar penuh harap gadis itu akan menyetujui ajakannya.
Kiara membulatkan matanya, alisnya terangkat tipis. “Shopping? Boleh tante,” sahutnya dengan antusias.
“Oke, kita akan healing hari ini,” suara Widia terdengar heboh, tak sabar akan pergi jalan-jalan dengan calon menantunya.
Axel hanya terdiam dan terus fokus mengunyah makanannya, sama sekali tak terganggu dengan keriuhan Kiara dan ibunya.
“Axel, kamu juga ikut ya,” titah Widia menatap putranya, sambil menyendok sesuap nasi dari piringnya.
Axel mengangkat wajahnya, alisnya sedikit bertaut. “Ikut kemana?” tanyanya datar, jelas malas.
“Temani mama dan Kiara shopping,” sahut Widia tanpa menoleh, tangannya terus sibuk menyendok makanan.
Axel mendengus, menaruh sendoknya agak keras ke piring. “Kenapa aku harus ikut?”
“Bukanya kamu butuh sandal?” balas Widia.
Axel menghela napas panjang di meja makan, “Akhirnya mama ingat, aku nggak punya sandal,” gumamnya pelan.
Sejak kembali ke rumah, Axel sama sekali tidak punya sandal. Lemari sepatu di dekat pintu justru penuh sesak oleh koleksi milik Kiara, berjejer rapi dari sandal santai, wedges warna pastel, sampai flat shoes dengan pita kecil. Axel sampai geleng-geleng setiap kali membukanya, seolah lemari itu bukan lagi miliknya.
Entah apa yang dipikirkan Widia, tapi jelas ia membiarkan semua ruang di lemari itu dikuasai Kiara. Bagi Axel, itu sudah kelewatan. Bagaimana mungkin pemilik rumah justru tidak punya sepasang sandal pun untuk keluar halaman, sementara tetangganya malah memiliki koleksi satu lemari penuh di rumahnya. Meski sedikit jengkel, anehnya Axel tidak bisa marah.
****
Akhirnya mereka berangkat untuk berbelanja ke mall. Setibanya di sana, Widia dan Kiara berjalan bergandengan tangan, sementara Axel mengekor di belakang seperti seorang bodyguard yang mengawal.
Dengan wajah malas dan sesekali mendengus kesal, Axel menyeret langkahnya mengikuti dua wanita yang terus antusias berkeliling memilih baju.
Beberapa waktu berlalu, kedua tangan Axel sudah dipenuhi dengan tas belanjaan para wanita itu, tak mau berhenti, keduanya masih terus berkeliling bersinggah di toko-toko baju.
“Ara, coba baju ini. Sepertinya akan cocok di kamu,” ucap Widia sambil menyodorkan sebuah gaun cantik ke Kiara.
Kiara mengangguk, lalu melangkah menuju tempat ganti. Akhirnya Axel menemukan sofa di sana, buru-buru ia menjatuhkan tubuhnya. Tepat di depan tirai ruang ganti, Axel menyenderkan bahunya di sofa, wajahnya terlihat lelah seolah menjerit meminta segera pulang.
Tak lama, Kiara keluar membuka tirai, dengan percaya diri ia melangkah mendekati Axel dan Widia yang tengah duduk di sofa.
Axel sontak membulatkan matanya, menatap lekat Kiara, mulutnya sedikit ternganga, ia terpaku seolah terhipnotis dengan kecantikan gadis itu.
“Wah… cantik sekali, tante suka…” seru Widia, terpesona. “Benarkan Axel?”
Tak merespon, Axel masih tampak membeku menatap Kiara. Widia menoleh cepat lalu memukul pelan bahu putranya.
Axel terkejut, “I-itu… sama sekali nggak cocok,” jawabnya terbata, napasnya sedikit tercekat.
“Kamu ini…” desis Widia, kemudian mendekati Kiara, “Cocok sayang, cantik sekali. Jelas-jelas dia terpesona tadi,” ucap Widia menyindir pemuda yang terlihat gugup di depannya.
Axel menelan ludah, tangannya terus memijat tengkuknya berulang kali. “Cepat selesaikan, Aku sudah lelah,” cetusnya menahan gugup, ia buru-buru keluar dari toko. Tak lupa menenteng tas-tas belanjaan Kiara dan ibunya.
Begitu keluar, udara sore langsung menyambut, sedikit meredakan kepenatan. Tapi Kiara yang berjalan di sampingnya malah menambah beban. Gadis itu melangkah ringan tanpa rasa bersalah, seolah Axel hanya porter pribadi yang memang dibayar untuk mengangkat belanjaannya.
“Awas, hati-hati. Itu tas yang paling kanan isinya mudah pecah, jangan sampai jatuh,” ucap Kiara santai sambil menunjuk.
Axel menoleh cepat, matanya menyipit. “Serius? Kamu pikir aku robot pengangkat barang? Dari tadi nyerocos mulu.”
Kiara pura-pura mengerucutkan bibirnya. “Ya kan biar kamu hati-hati. Lagian, kalau pecah, kamu juga yang rugi. Nanti Mama pasti nyalahinnya ke kamu.”
Axel menghentikan langkahnya sejenak, menatap Kiara dengan tatapan datar. “Kamu… bisa diam?”
Kiara menahan tawa kecil, lalu mempercepat langkah, bersembunyi di sisi Widia yang berjalan di depan mereka. “Tante, aku hanya memintanya berhati-hati tapi Axel melotot tadi,” bisiknya mengadu, suaranya cukup keras untuk membuat Axel makin mendengus.
“Cepat jalannya pak pengawal,” ucap Widia meledek Axel yang kerepotan membawa barang.
Di perjalanan pulang, mobil dipenuhi suasana campur aduk. Widia duduk tenang di kursi depan, sibuk dengan ponselnya, sementara di belakang, Axel menumpuk tas-tas belanjaan di pangkuannya. Kiara duduk santai di samping, sesekali melirik Axel dengan senyum penuh kemenangan.
Axel akhirnya bersuara lirih, tapi jelas ditujukan ke Kiara. “Ingat ya, sandal yang kamu beli tadi… jangan pernah taruh di lemariku lagi.”
Kiara hanya nyengir, menahan diri agar tidak tertawa keras. “Kenapa? Kan lemari kamu kosong, sayang banget kalau nggak dipakai.”
Axel menutup mata, menahan sabar. “Jangan keterlaluan Ara, aku bisa mengusirmu nanti.”
Kiara menoleh, menatapnya dengan wajah berpura-pura kaget. “Mengusir? Tante… Axel bilang mau usir Ara secepatnya,” rengeknya mengadu kepada Widia.
“Ara…” geram Axel, menatap tajam gadis di sebelahnya.
Kiara menoleh santai, tanpa ragu menjulurkan lidah singkat, jelas meledek pemuda di sampingnya.
Mobil berguncang kecil karena tawa Widia di kursi depan yang akhirnya tak bisa ditahan. “Kalian berdua ini… kayak anak kecil aja, ribut terus,” gumamnya sambil geleng-geleng.
...****************...
Bersambung...
Mohon Dukungannya Teman-teman Sekalian...
Jangan Lupa Like, Vote dan Coment! Untuk Menyemangati Penulis.
Salam Hangat Dari Author, 🥰🥰
🤣
ak pasti menunggunya thor
otakku baru bangun nih