Malam itu menghancurkan segalanya bagi Talita —keluarga, masa depan, dan harga dirinya. Tragedi kelam itu menumbuhkan bara dendam yang ia simpan rapat-rapat, menunggu waktu untuk membalas lelaki keji yang telah merenggut segalanya.
Namun takdir mempermainkannya. Sebuah kecelakaan hampir merenggut nyawanya dan putranya— Bintang, jika saja Langit tak datang menyelamatkan mereka.
Pertolongan itu membawa Talita pada sebuah pertemuan tak terduga dengan Angkasa, lelaki dari masa lalunya yang menjadi sumber luka terdalamnya.Talita pun menyiapkan jaring balas dendam, namun langkahnya selalu terhenti oleh campur tangan takdir… dan oleh Bintang. Namun siapa sangka, hati Talita telah tertambat pada Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Intro_12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Meja yang Penuh Intrik
Pagi berikutnya, dapur mansion sibuk luar biasa. Wangi roti hangat bercampur dengan aroma salmon panggang dan sup sayur. Talita berdiri di pintu dapur, matanya membesar. “Makanan mewah begini… sementara di kontrakan dulu hanya nasi tempe tahu, sayur 4 ribuan satu bungkus untuk satu hari.”
Namun pikiran jahatnya muncul. “Kalau aku menaburkan sianida… dia pasti mati di meja makan.” Ia membayangkan Angkasa terkapar, dirinya pura-pura menangis di sampingnya. Tapi cepat ia menggeleng. “Tidak. Itu terlalu berbahaya. Dia orang penting, pasti penyidikan ketat, dan ketahuan pelakunya.”
Matanya lalu jatuh ke botol kecil obat sakit perut. Senyum tipis muncul. “Setidaknya, biar kau mencret di kantor.”
Dengan hati-hati dan sedikit tertawa yang tak bisa ia tahan, Talita menaburkan bubuk itu ke salah satu hidangan Angkasa. Saat pelayan menoleh, Talita langsung sadar dan segera menjawab. “Aku hanya senang, karena sekarang Bintang bisa makan gizi lengkap. Tidak seperti dulu, hanya nasi sederhana.”
Pelayan hanya tersenyum, tak curiga.
^^^^
Di meja makan besar berlapis taplak putih, chandelier kristal berkilau di atas kepala. Aneka menu mewah tersusun rapi sup krim asparagus, steak daging premium, salmon berlumur saos tiram, roti panggang, salad segar berwarna-warni, hingga buah potong yang tertata cantik. Angkasa duduk di kursi utama dengan wajah masam, seperti raja yang dipaksa turun tahta. Talita duduk di samping Bintang, menyendokkan nasi kecil ke piring anak itu, meski Bintang sebenarnya bisa makan sendiri.
“Harus satu meja?” Angkasa mendengus, garpu di tangannya menekan pelan steak. “Benar-benar menyebalkan.”
Talita tersenyum tipis, matanya berkilat nakal. “Kalau tidak suka, makan saja sendiri di kandang ayam punya pak RT. Cocok sekali dengan sifatmu.”
Seorang pelayan nyaris tersedak, buru-buru menegakkan tubuh sambil pura-pura serius.
Angkasa menoleh cepat, tatapannya menusuk. “Oh ya? Aku lebih baik di kandang ayam dari pada serumah dengan janda tak jelas asal-usul. Kau bahkan tidak tahu siapa bapak anakmu, kan?”
Talita terdiam sejenak, lalu mengedip sambil tersenyum tipis. “Namanya Tomas. Dia tampan, gagah, dan baik hati. Persis seperti Bintang.”
Angkasa menyeringai, langsung menyahut. “Tomas? Jangan-jangan maksudmu Thomas Alva Edison? Wah, pantas saja Bintang bisa bercahaya. Dia kan anak penemu lampu.”
Pelayan paling muda langsung menutup mulut dengan serbet agar tawanya tidak terdengar.
Talita mendesis, matanya menyipit. “Mulutmu lebih busuk dari selokan rumah!”
Angkasa tidak mau kalah. “Dan kau lebih cerewet daripada pedagang sayur keliling yang lewat tiap pagi!”
Pelayan lain sudah menunduk dalam, bahunya berguncang. Sementara itu, Bintang yang duduk di kursi kecilnya, tetap tenang. Tangannya cekatan menyuap nasi, sesekali menyeruput sup dengan rapi. Seolah-olah percakapan panas di sekitarnya hanyalah suara iklan televisi yang bisa diabaikan.
Talita menyambar gelas air putih, lalu menatap Angkasa. “Aku heran, kenapa orang sekaku kamu bisa punya banyak fans perempuan. Apa mereka tidak sadar otakmu beku seperti freezer?”
Angkasa mengangkat alis, mulutnya menyungging senyum tipis sinis. “Dari pada perempuan sok cantik yang kerjaannya cuma bikin gosip, lebih baik aku jadi freezer. Setidaknya, aku bisa menjaga daging tetap segar.”
Talita langsung meletakkan sendok dengan bunyi “tang!” “Kalau begitu, lain kali aku taruh ikan asin di kepalamu. Biar sekalian awet sampai tahun depan!”
Kali ini, salah satu pelayan benar-benar tidak tahan. Suara “pffft!” kecil terdengar, disusul wajah merah padam menahan tawa.
Bintang mengangkat kepala sebentar, memandang Talita dan Angkasa dengan mata bulatnya, lalu kembali fokus pada potongan wortel rebus di piringnya. Ia menyuap pelan, tanpa terganggu sedikit pun, tenang bak seorang biksu cilik di tengah keributan pasar.
Talita mencondongkan tubuh sedikit, suaranya rendah tapi tajam.
“Kamu tahu, kalau saja sifatmu bisa dijual di pasar, harganya pasti jatuh. Siapa yang mau beli kesombongan plus muka masam tiap hari?”
Angkasa menepuk meja pelan dengan garpunya, senyumnya sinis.
“Setidaknya mukaku masih laku. Kalau kamu? kerjaannya cuma bikin masalah. Harganya? Diskon besar-besaran, masih juga nggak ada yang mau.”
Pelayan muda langsung menutup mulut dengan tangan, wajahnya merah padam. Suasana nyaris pecah tawa.
Sementara itu, Bintang dengan santai meraih potongan buah melon dari piringnya, mengunyah perlahan, lalu menatap mereka berdua sebentar. Wajah mungilnya seakan berkata tanpa suara “Orang dewasa memang ributnya aneh.” Setelah itu, ia kembali makan tenang, sama sekali tak terganggu, seolah dunia tidak ada hubungannya dengannya.
Di tengah debat itu, Bintang tersadar akan sesuatu. Ia kemudian menyelinap ke bawah meja. Bocah itu mengambil piring yang sudah diberi bubuk obat, lalu menyembunyikannya di bawah meja. Setelah itu ia duduk lagi, wajahnya datar seolah tak terjadi apa-apa.
Saat perdebatan reda, Talita melirik ke arah piring Angkasa. Nafasnya tercekat. “Hilang?”
Ia menoleh ke bawah meja, mendengus kesal. Kemudian ia melirik Bintang, ia yakin Bintang yang meletakkannya di sana.
Rencananya lagi-lagi gagal.
Namun dalam hatinya, tekadnya justru makin mengeras. “Baiklah, Angkasa. Kau memang sulit dijatuhkan. Tapi aku tidak akan menyerah. Akan ada cara lain.”
makasih sudah mampir