Bima Pratama bukan sekadar anak SMK biasa.
Di sekolah, namanya jadi legenda. Satu lawan banyak? Gaspol. Tawuran antar sekolah? Dia yang mimpin. Udah banyak sekolah di wilayahnya yang “jatuh” di tangannya. Semua orang kenal dia sebagai Jawara.
Tapi di rumah… dia bukan siapa-siapa. Buat orang tuanya, Bima cuma anak cowok yang masih suka disuruh ke warung, dan buat adiknya, Nayla, dia cuma kakak yang kadang ngeselin. Gak ada yang tahu sisi gelapnya di jalan.
Hidup Bima berjalan di dua dunia: keras dan penuh darah di luar, hangat dan penuh tawa di dalam rumah.
Sampai akhirnya, dua dunia itu mulai saling mendekat… dan rahasia yang selama ini ia simpan terancam terbongkar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aanirji R., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari H War
Malam itu udara terasa lebih berat dari biasanya. Suasana rumah Dodi cukup sepi, hanya terdengar suara televisi dari ruang tengah. Tiba-tiba ada ketukan pelan di pintu.
Dodi membuka pintu, dan benar saja—Bima berdiri di sana. Masih dengan langkah agak pincang, tapi sorot matanya tetap tajam.
“Lu dateng lagi, Bim?” tanya Dodi, agak terkejut.
Bima hanya mengangguk, masuk tanpa banyak basa-basi. “Besok war, kan? Gue cuma mau pastiin lu udah siap.”
Dodi menarik napas, duduk di kursi ruang tamu. “Udah. Andre sama Dimas juga udah latihan. Gue tinggal mantapin mental mereka.”
Bima menatapnya serius. “Bagus. Tapi ada satu hal lagi yang harus lu tau. Di Kolombus, ada satu nama—Ari Kobra. Dia tuh mirip kayak gue, Dod. Bukan yang barbar kayak Rio, atau yang main speed kayak Ferry. Dia pake teknik. Tenang, rapi. Cuma bedanya, dia ga sekuat Bagas, dan tekniknya ga sekompleks gue. Tapi jangan remehin. Orang kayak gitu bisa bikin orang salah langkah.”
Dodi terdiam, menyimak.
Bima tersenyum tipis, lalu bersandar. “Gue jadi keinget dulu pas pertama kali gue masuk SMK Bima Sakti. Kelas satu, baru nongol. Lu masih pemimpin waktu itu, kelas tiga. Kita berdua turun tangan. Pertarungan sengit. Gue inget jelas—lu bikin gue kewalahan. Taktik lu licin banget, gerakan lu bikin gue repot.”
Dodi menunduk sedikit, seolah mengulang kenangan itu di kepalanya.
“Tapi ada satu hal yang bikin lu kalah, Dod,” lanjut Bima pelan. “Lu masih ragu. Lu punya serangan yang bisa bikin gue jatuh lebih cepat, tapi lu ga nekat buat nurunin itu. Lu terlalu mikirin ‘kalau salah gimana’. Nah, itu kelemahan lu. Gerakan lu jadi setengah detik lebih lambat. Dan buat orang yang main serius, setengah detik itu udah cukup buat ngebalik keadaan.”
Suasana jadi hening. Dodi menggenggam tangannya sendiri, mencoba mencerna kata-kata itu.
“Kalau besok lu bener-bener mau bawa Bima Sakti menang,” suara Bima terdengar tegas, “lu harus buang keraguan itu. Serangan lu ga bakal pernah penuh kalau pikiran lu masih mikir dua kali. Jangan kayak dulu lagi, Dod. Lawan yang ragu, gampang jatuh.”
Dodi menatap balik, kali ini dengan mata yang lebih mantap. “Oke, gue ngerti. Gue bakal inget itu.”
Bima mengangguk puas, lalu berdiri perlahan. “Gue ga ikut campur. Lu pemimpin sekarang, dan gue percaya. Gue cuma mau lu ga jatuh karena kelemahan yang sama.”
Dodi tersenyum tipis. “Makasih, Bim. Lu masih aja kayak dulu, ngomong dikit tapi nusuk.”
Bima hanya tertawa kecil sebelum melangkah keluar. “Besok buktikan, Dod. Pemimpin sejati bukan yang paling kuat, tapi yang ga pernah ragu.”
Pintu menutup, meninggalkan Dodi sendiri di ruang tamu. Kata-kata Bima masih terngiang, menyalakan bara baru di dalam dirinya. Besok, bukan cuma soal taktik—tapi juga soal tekad.
***
Pagi itu suasana sekolah mendadak lain dari biasanya. Koridor SMK Bima Sakti dipenuhi bisik-bisik, obrolan kecil, bahkan tatapan penasaran dari siswa-siswi yang tau kabar besar: sore ini war melawan SMK Kolombus.
“Seriusan, war sore ini?” bisik seorang cewek di kelas sebelah, matanya melirik ke arah Andre yang baru masuk.
“Iya, katanya lawannya Rio Baja sama Ferry Kalong. Gila sih, dua nama itu udah bikin orang ngeri duluan.”
“Dan Bima kan masih belum bisa turun... masa berani mereka?”
“Makanya rame. Semua orang pengin nonton, pasti gila suasananya sore nanti.”
Suasana jadi riuh. Bahkan anak kelas yang biasanya cuek pun kali ini ikut kepo.
***
Jam istirahat.
Ruang bekas UKS lama jadi tempat kumpul. Bau kayu lembab dan udara pengap seolah jadi saksi semua strategi yang pernah mereka rancang. Andre dan Dimas duduk agak gelisah, sementara Raka nyender di kursi, tenang tapi matanya memperhatikan. Dodi masuk terakhir, membawa aura serius.
“Gimana? Udah siap belum, Andre? Dimas?” tanya Dodi, suaranya tegas.
Andre menghela napas, lalu menepuk dadanya. “Gugup masih ada, tapi udah jauh lebih siap. Latihan kemarin bener-bener ngebantu.”
Dimas angguk cepat. “Iya, gue juga. Rasa takut masih ada, tapi kalau inget cara Ferry main, gue udah lumayan bisa ngebayangin counternya. Tinggal mental aja.”
Dodi menatap mereka dalam, lalu menepuk bahu Andre dan Dimas satu-satu. “Ingat, sore ini bukan cuma soal fisik. Lawan kalian main cepet sama barbar, jangan terpancing. Fokus. Kalian bukan sendirian, kita semua ada di belakang.”
Raka nyeletuk sambil senyum tipis, “Tenang aja, kalau sampe lu kalah, siap-siap malu depan satu sekolah bahkan satu kota. Semua SMK bakal nonton, Bro.”
Andre langsung nyolot. “Anjir, makin deg-degan gue, Rak!”
Dimas ikut ketawa kecut.
Dodi hanya menghela napas, menahan senyum. “Justru itu. Tunjukin, Bima Sakti bisa berdiri meski tanpa pemimpin aslinya. Kita buktikan sore ini.”
***
Sore hari, lapangan belakang sekolah.
Suasana benar-benar pecah. Ratusan siswa dari berbagai sekolah sudah berkerumun, membuat lingkaran luas. Sorakan, ejekan, dan teriakan bercampur jadi satu. Bahkan ada yang bawa kamera ponsel, siap merekam.
SMK Bima Sakti masuk dengan formasi lengkap: Dodi di depan, Andre dan Dimas di belakangnya, Raka serta anggota lain mengapit. Hanya satu yang hilang dari pemandangan itu: Bima. Semua orang langsung sadar, ini war pertama mereka tanpa pemimpin utama.
“Woiii! Gila, Bima Sakti beneran dateng tanpa Bima!” teriak seorang siswa dari SMK Nusa Jaya.
“Berani juga ya. Ini kalo kalah, abis nama lu semua, Dod!” sahut anak SMK Rajawali.
“Wkwkwk... liat tuh muka Andre sama Dimas, udah pucet duluan!” ejek anak SMK Bhakti Persada.
Dari sisi lain, anak-anak SMK Garuda ikut hadir. Mereka masih panas pasca war sebelumnya. Doni, pemimpin sementara Garuda, nyeletuk dengan nada sinis.
“Dodiii... gua salut lu masih punya nyali. Tapi war tanpa pemimpin asli? Gua rasa kalian dateng sore ini cuma buat dijatuhin.”
Sorakan langsung meledak, ada yang teriak “Wooooo!” ada juga yang sengaja memanas-manasi.
Namun Dodi tetap tenang, hanya menatap balik ke arah Doni dengan ekspresi datar. “Lu tenang aja, Don. Gue bukan orang yang dateng buat kalah. Justru sore ini lu bakal liat gimana caranya Bima Sakti tetep berdiri, meski tanpa Bima.”
Riuh makin pecah. Anak-anak SMK Cakrawala langsung bersorak.
“Wuihh panas anjir! Respect Dodiii!”
“Gaskeun! Jangan bikin bosen!”
Dari kerumunan SMK Nusantara ada yang nyeletuk, “Ayo Kolombus! Ajari Bima Sakti cara jatoh yang bener!”
Lalu terdengar lagi sorakan liar, campur aduk antara ejekan, dukungan, dan teriakan panik karena atmosfer makin panas.
Di seberang lapangan, terlihat pasukan SMK Kolombus masuk. Rio Baja berjalan paling depan, bahunya tegap, wajahnya datar tapi sorot matanya buas. Di sampingnya Ferry Kalong dengan senyum tipis, langkah ringan seperti siap terbang kapan aja. Suasana langsung mendidih begitu mereka nongol.
“WOOOOO! RIOOO! FERRY KALOOOONG!!!”
“Matilah Bima Sakti sore ini!!”
“Gaskeun Kolombus!!!”
Andre menelan ludah, Dimas mengepalkan tangan erat-erat. Raka mengintip reaksi mereka sambil nyengir miring. “Nih, lawan kalian udah dateng. Masih yakin?”
Andre langsung jawab, meski suaranya sedikit bergetar. “Yakin, Rak. Gue ga bakal mundur.”
Dimas mengangguk. “Sama.”
Dodi maju selangkah, matanya mengunci ke arah Rio dan Ferry. Suara riuh dari ratusan orang seolah menghilang di kepalanya. Yang ada hanya satu: pertarungan ini akan jadi ujian terbesar mereka.