NovelToon NovelToon
Jawara Dua Wajah

Jawara Dua Wajah

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Identitas Tersembunyi / Pemain Terhebat / Gangster / Idola sekolah
Popularitas:8.9k
Nilai: 5
Nama Author: Aanirji R.

Bima Pratama bukan sekadar anak SMK biasa.
Di sekolah, namanya jadi legenda. Satu lawan banyak? Gaspol. Tawuran antar sekolah? Dia yang mimpin. Udah banyak sekolah di wilayahnya yang “jatuh” di tangannya. Semua orang kenal dia sebagai Jawara.

Tapi di rumah… dia bukan siapa-siapa. Buat orang tuanya, Bima cuma anak cowok yang masih suka disuruh ke warung, dan buat adiknya, Nayla, dia cuma kakak yang kadang ngeselin. Gak ada yang tahu sisi gelapnya di jalan.

Hidup Bima berjalan di dua dunia: keras dan penuh darah di luar, hangat dan penuh tawa di dalam rumah.
Sampai akhirnya, dua dunia itu mulai saling mendekat… dan rahasia yang selama ini ia simpan terancam terbongkar.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aanirji R., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jurus Pamungkas Bima

Sore itu, setelah pendataan peserta selesai dan suasana lapangan perlahan sepi, Bima keluar gerbang sekolah. Tangannya masih terbalut perban tipis, tapi langkahnya sudah tegap, tanpa sisa pincang. Dia menggantungkan tas di pundak, pikirannya masih penuh dengan wajah-wajah calon lawan yang tadi diumumkan.

Di sisi lain, Dodi berjalan santai dengan tangan di saku, seolah dunia nggak pernah bikin dia cemas. Pas sama-sama di jalan, mereka hampir berpapasan.

“Bim,” panggil Dodi dengan nada datar tapi tegas.

Bima menoleh, sedikit heran. “Hm?”

“Latihan bareng. Malam ini. Lu ikut.”

“Latihan?”

Dodi mengangguk pelan. “Lebih tepatnya… gua yang ngajarin. Biar lu, gua, sama yang lain yang ngewakilin kelas nggak kaku pas seleksi nanti. Gue bakal chat anak-anak lain juga. Lu dateng kan?”

Bima sempat menimbang, tapi matanya melihat ke arah tangan Dodi yang santai di saku, wajah tanpa beban, penuh percaya diri. Rasanya kalau nolak, dia malah rugi sendiri.

“Iya, gua dateng,” jawab Bima akhirnya.

Dodi hanya tersenyum tipis lalu melangkah pergi tanpa kata tambahan.

***

Malamnya.

Lapangan dekat rumah Dodi sudah cukup ramai. Lampu-lampu jalan jadi penerang seadanya. Dimas datang dengan kaus oblong, Andre kelihatan tegang tapi tetap hadir, dan beberapa anak lain dari kelas berbeda juga mulai berdatangan.

Bima tiba terakhir, melihat Dodi sudah berdiri di tengah lapangan, tangan dilipat di dada seperti instruktur.

“Lengkap, ya. Oke, kita mulai,” suara Dodi menggema.

Belum sempat serius, Raka datang terlambat sambil bawa sebungkus gorengan. “Woy! Jangan mulai dulu, gua jadi wasitnya aja, biar adil!” teriaknya.

Andre menepuk jidat. “Wasit apaan, lu aja nafas ngos-ngosan naik tangga kelas.”

“Eh, eh, jangan salah. Nafas gua ngos-ngosan itu strategi. Biar lawan kepikiran, ‘wah ini orang kayaknya udah capek’, eh tau-tau jebret!” Raka sok gaya.

Semua ketawa, termasuk Bima yang biasanya kaku.

Dodi hanya geleng kepala. “Udah lah, biarin dia. Paling juga bentar lagi duduk ngemil.”

Raka nyengir sambil ngacungin gorengan. “Betul sekali, Sensei Dodi.”

***

Latihan dimulai dengan dasar-dasar. Dodi menjelaskan perbedaan postur bertarung di jalanan dan di ring MMA. “Kalau di jalan, lu bebas—tapi di MMA ada batasan. Lu harus paham ground fighting, clinch, sama striking yang efektif. Jangan asal gebuk. Dan yang paling penting: stamina. Satu ronde aja bisa ngerusak lu kalau nafas nggak kuat.”

Bima mendengar serius. Tangannya masih terbalut perban, tapi setiap gerakan yang dia coba ikuti menunjukkan semangat penuh.

Di sela-sela latihan grappling, Dimas yang biasanya pendiam tiba-tiba jatuh ke tanah dengan posisi aneh. Raka langsung teriak, “Waduh! Ini sih bukan MMA, ini udah kayak posisi yoga kuda lumping!”

Semua pecah ketawa lagi.

Andre yang masih tegang dari tadi jadi lumayan lepas. “Gila, bisa-bisanya lu bikin suasana kayak gini, Rak.”

“Yaelah, kalau serius mulu nanti kepikiran. Santai aja, biar pas di ring nggak pada tegang.”

***

Jam makin larut. Latihan malam pertama itu memang belum berat, lebih ke pemanasan, pengenalan teknik dasar, dan adaptasi. Tapi dari raut wajah mereka, semua sadar: seleksi minggu depan bakal serius banget.

Di akhir, Dodi menepuk bahu Bima. “Lu udah biasa berantem di jalan, Bim. Tapi MMA beda dunia. Anggep ini latihan bukan buat gaya, tapi buat buktiin siapa yang bener-bener layak.”

Bima hanya mengangguk, tatapannya mantap.

Di belakang, Raka tiba-tiba nyeletuk, “Eh, kalau gua daftar mendadak bisa nggak ya? Kayaknya gua bisa bikin lawan ketawa sampe nyerah.”

Lapangan langsung riuh lagi dengan tawa sebelum akhirnya mereka bubar pulang.

***

Hari-hari setelah pendataan berjalan cepat.

Malam-malam mereka kini terisi dengan latihan di lapangan dekat rumah Dodi—pukulan, tendangan, sparring ringan, kadang ditutup dengan tawa gara-gara celetukan Raka yang selalu muncul dengan jokes receh.

Siang harinya, jam istirahat di sekolah, ruang bekas UKS lama jadi markas tetap geng itu. Di sana mereka bahas strategi, gosip soal peserta dari kelas lain, sampai bercanda ngalor-ngidul. Andre kadang masih kelihatan tegang, Dimas lebih banyak mengangguk sambil mikir, sedangkan Raka nggak pernah absen bikin suasana cair.

Bima sendiri makin sering bareng Dodi. Kalau ada waktu luang di sekolah—entah sebelum pulang, atau pas jam kosong—Bima biasanya ketemu Dodi di luar kelas. Nggak ada banyak obrolan, lebih sering latihan ringan atau sekadar diskusi singkat tentang teknik. Walau singkat, tiap momen itu bikin Bima makin sadar: kalau ada orang yang bisa ngerti jalan pikirannya di arena, ya cuma Dodi.

***

Malam itu.

Latihan selesai lebih cepat dari biasanya. Anak-anak lain sudah mulai cabut satu per satu, tinggal Dodi dan Bima yang masih beres-beres seadanya.

Bima meraih tasnya, siap pulang, tapi suara Dodi menghentikan langkahnya.

“Bim,” panggil Dodi tenang.

Bima menoleh. “Apa?”

Dodi berjalan mendekat, kedua tangannya tetap masuk ke saku jaketnya. “Lu mau tau cara paling cepet ngejatuhin lawan di ring?”

Bima mengangkat alis, penasaran. “Maksudnya?”

“Teknik instan. Resikonya ada, tapi kalau lu yang make, gua yakin berhasil.”

Mata Bima berbinar, rasa penasaran bercampur serius. “Gimana?”

Dodi berhenti tepat di depan Bima, menunduk sedikit sambil menatap tajam. “Lu cuma perlu satu. Satu pukulan aja. Timing pas, arah tepat, udah cukup buat ngejatuhin siapa pun.”

Bima terdiam, mencerna kata-kata itu.

“Gerakan lu cepat, reflek lu tajem, dan tenaga lu gede. Lu punya semua modal buat bikin one punch itu jadi nyata. Kalau lu percaya timing lu, lawan bisa langsung ambruk. Nggak perlu ribet.”

Bima perlahan tersenyum, lalu mengangguk. “Kedengarannya… masuk akal. Makasih, Dod.”

Dodi menepuk bahunya sekali, lalu memalingkan wajah. “Inget, Bim. Teknik ini bisa jadi senjata pamungkas. Tapi ada satu hal yang harus lu tau.”

Bima menunggu.

Dodi kembali menatapnya, kali ini dengan senyum tipis yang entah bikin merinding atau bikin kagum. “Kalau lu coba itu ke gua… jangan harap berhasil. Reflek gua bukan buat dilompati, apalagi sama jurus yang gua sendiri yang nyaranin.”

Bima terdiam sebentar, lalu bibirnya terangkat membentuk senyum singkat. “Yaudah, berarti kalau lawannya lu… gua harus cari cara lain.”

“Pinter,” jawab Dodi singkat, lalu kembali melangkah santai, seakan obrolan barusan nggak penting.

Bima menghela napas, menatap punggung Dodi. Dalam hati, ia sadar: lawan terberatnya di seleksi nanti bukan anak kelas lain. Tapi cowok yang baru aja ngasihnya jurus pamungkas itu.

1
Cadel_1
Lanjut thor🔥🔥
Aanirji R.: Siap kak 😉
total 1 replies
Cadel_1
Apa ni apa ni apa ni
Amel
lnjuttt
Amel
Suka banget sama cerita aksi sekolah sekolah gini
Aanirji R.: siap kak😉
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!