Lucia Davidson hidup dalam ilusi pernikahan yang indah hingga enam bulan kemudian semua kebenaran runtuh. Samuel, pria yang ia percaya sebagai suami sekaligus cintanya, ternyata hanya menikahinya demi balas dendam pada ayah Lucia. Dalam sekejap, ayah Lucia dipenjara hingga mengakhiri hidupnya, ibunya hancur lalu pergi meninggalkan Lucia, dan seluruh harta keluarganya direbut.
Ketika hidupnya sudah luluh lantak, Samuel bahkan tega menggugat cerai. Lucia jatuh ke titik terendah, sendirian, tanpa keluarga dan tanpa harta. Namun di tengah kehancuran itu, takdir memertemukan Lucia dengan Evan Williams, mantan pacar Lucia saat kuliah dulu.
Saat Lucia mulai menata hidupnya, bayangan masa lalu kembali menghantuinya. Samuel, sang mantan suami yang pernah menghancurkan segalanya, justru ingin kembali dengan mengatakan kalau Samuel tidak bisa hidup tanpa Lucia.
Apakah Lucia akan kembali pada Samuel atau dia memilih cinta lama yang terkubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10. TIDAK TENANG
Udara malam Los Angeles terasa lebih dingin dari biasanya, menusuk sampai ke sela-sela tulang. Jalanan di pinggiran kota itu masih ramai oleh suara kendaraan, namun bagi Lucia, hiruk-pikuk itu justru menambah rasa sesak dalam dada. Sudah beberapa hari ini ia merasa tidak nyaman, seperti ada mata tak kasatmata yang terus mengikutinya. Pandangan itu seolah menempel di tengkuknya, membuat bulu kuduknya kerap meremang tanpa alasan yang jelas.
Lucia tidak mudah takut. Hidup di kota besar yang penuh resiko telah membentuknya menjadi pribadi yang tegar. Namun kali ini berbeda. Ada sesuatu yang tak dapat ia definisikan, sesuatu yang membuat tidurnya terganggu dan langkahnya menjadi ragu. Ia bisa saja menertawakan dirinya sendiri karena terlalu berimajinasi, tetapi rasa itu begitu nyata, begitu dekat, hingga menyesakkan.
Di toko swalayan dua puluh empat jam tempatnya bekerja, ia beberapa kali terlihat gelisah. Tangannya sering salah menekan mesin kasir, atau salah menaruh barang di rak. Rekan kerjanya, seorang perempuan berambut ikal bernama Marissa, akhirnya tak tahan lagi melihat Lucia begitu tegang.
"Lucia, you okay?" tanya Marissa sambil menatapnya serius dari balik meja kasir.
Lucia tersentak, lalu menghela napas panjang. Ia berusaha tersenyum, meski senyumnya tampak dipaksakan. "Aku hanya merasa aneh belakangan ini. Seperti ada seseorang yang terus mengawasi."
Kening Marissa berkerut. "Mengawasi? Maksudmu, ada orang yang menguntit?"
Lucia mengangkat bahu. "Entahlah. Aku tidak yakin. Tapi rasanya ... seperti setiap kali aku berjalan pulang malam, ada seseorang yang menatap dari kejauhan. Bahkan ketika aku menoleh, aku tak melihat apa-apa. Tapi perasaan itu tidak mau hilang."
Suasana di antara mereka mendadak hening. Lampu neon toko yang berpendar pucat membuat bayangan di wajah Marissa terlihat lebih serius.
"Kalau begitu, bagaimana kalau kau menukar shift dengan Henry minggu ini?" usul Marissa setelah diam sejenak. "Dia 'kan seorang mahasiswa paruh waktu. Lebih aman baginya yang pulang malam daripada kau. Seorang wanita sendirian di jalanan tengah malam itu berbahaya, Lucia."
Lucia terdiam. Ia tahu Marissa benar. Rasa takut itu semakin lama semakin menyiksa, dan jika ia terus memaksakan diri pulang malam, sesuatu yang buruk bisa saja terjadi.
"Baiklah," jawab Lucia akhirnya, lirih namun mantap. "Aku akan bicara pada Henry. Mungkin dia tidak keberatan."
Marissa mengangguk lega. "Aku yakin dia setuju. Kau harus menjaga dirimu, Lucia. Dunia ini terlalu gelap untuk kita lengah."
Lucia tersenyum kecil, kali ini tulus. Hatinya sedikit lebih ringan setelah berbagi perasaan dengan seseorang. Namun malam itu, ia masih harus pulang sesuai jadwal. Pertukaran shift baru bisa dilakukan besok atau lusa.
Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh lewat tiga puluh ketika manajer mengizinkan mereka pulang lebih awal. Beberapa barang di rak sudah dibereskan, mesin kasir ditutup, dan pintu toko dikunci rapat. Malam itu, langit tampak pekat, awan menutupi bintang-bintang, menyisakan bulan pucat yang menggantung sendirian.
Lucia menarik napas panjang ketika menjejakkan langkah keluar. Suasana sepi, hanya ada deru mobil dari kejauhan. Ia memeluk jaket tipisnya erat-erat, menunduk, berusaha mengabaikan rasa asing yang kembali merayapi kulitnya.
Tapi baru beberapa langkah meninggalkan toko, ia mendengarnya.
Tap. Tap. Tap.
Suara langkah kaki.
Awalnya Lucia mengira itu hanya gema dari langkahnya sendiri, tapi semakin lama ia sadar ritmenya berbeda. Ada jeda tipis, seakan orang lain benar-benar berjalan di belakangnya.
Jantungnya berdegup kencang. Ia mempercepat langkah, mencoba menenangkan diri dengan logika: mungkin hanya pejalan kaki lain yang kebetulan lewat. Jalan ini memang biasa dilalui pekerja malam.
Namun ketika ia membelok ke jalan kecil yang lebih sepi, suara itu tetap ada.
Tap. Tap. Tap.
Napas Lucia mulai memburu. Ia menoleh sekilas, jalan kosong. Tidak ada siapa pun. Tapi langkah itu tidak hilang. Semakin ia berjalan cepat, semakin cepat pula suara itu mengikuti.
Darahnya seperti berhenti mengalir. Untuk sesaat ia ingin berlari, tapi takut kalau itu justru memancing. Ia menggenggam tasnya erat, menunduk, dan mempercepat langkah.
Namun suara itu tetap membayang.
Dan saat ia berbelok lagi, kali ini ke arah gang yang lebih terang, suara langkah itu terdengar semakin jelas.
Lucia akhirnya tidak bisa menahan diri. Ia berhenti mendadak, menoleh cepat ke belakang.
Kosong. Hanya ada bayangan gedung tua, lampu jalan yang berkelip samar, dan udara dingin yang menusuk kulit.
Namun rasa takutnya justru semakin kuat, karena meski matanya tidak melihat siapa pun ... perasaannya tahu, seseorang ada di sana.
Lucia berdiri kaku di trotoar yang sunyi. Tubuhnya seakan tertahan oleh ketakutan yang menjalar dari ujung kaki hingga ubun-ubun. Matanya menyapu setiap sudut jalan, berharap menemukan sesuatu yang bisa menjelaskan suara langkah yang tadi ia dengar. Namun malam hanya menampilkan bayangan panjang dari tiang lampu jalan, samar-samar bergerak ditiup angin.
"Tidak ada siapa-siapa," bisiknya pelan, mencoba menenangkan diri.
Tapi suara kecil di dalam hatinya berteriak bahwa ia salah. Ada sesuatu di luar jangkauan pandangan, sesuatu yang bersembunyi di balik gelap, menunggu waktu untuk menampakkan diri.
Lucia menelan ludah. Ia melanjutkan langkah, kali ini lebih cepat, lebih terburu. Jalan yang ia pilih adalah rute biasa pulangnya: melewati dua blok perumahan tua, kemudian menyeberang ke jalan besar yang lebih ramai. Ia hanya perlu bertahan sekitar sepuluh menit lagi untuk sampai ke halte bus. Setelah itu ia bisa bernapas lega.
Namun langkah-langkah samar itu kembali terdengar.
Tap. Tap. Tap.
Lebih pelan, seolah orang itu sengaja menyesuaikan irama agar tidak terlalu jelas. Tapi bagi Lucia, setiap dentuman sepatu itu terdengar lebih keras dari suara jantungnya sendiri. Ia tak lagi bisa menipu dirinya. Seseorang memang mengikutinya.
Pikiran buruk mulai berdatangan: pencopet, penguntit, atau bahkan orang dengan niat yang lebih gelap. Tubuhnya gemetar, tapi otaknya berusaha tetap jernih. Ia tahu, panik hanya akan membuatnya menjadi mangsa mudah.
Lucia menarik napas panjang. Ia berpura-pura berhenti sejenak, pura-pura merogoh ponselnya dari tas. Jari-jarinya gemetar ketika ia menekan layar, pura-pura mengetik pesan. Padahal ia hanya ingin memastikan: jika ia berhenti, apakah suara langkah itu juga berhenti?
Dan benar.
Saat ia berhenti, suara itu lenyap. Sunyi menelan jalan, hanya desau angin yang terdengar.
Tapi saat ia kembali berjalan, suara itu muncul lagi.
Tap. Tap. Tap.
Hatinya mencelos. Itu bukan kebetulan.
Lucia hampir ingin berlari, tapi logikanya menahan; jika ia berlari, orang itu juga mungkin akan berlari, dan ia akan semakin terlihat sebagai mangsa. Ia harus mencari cara lain, jalan terang, tempat ramai, atau siapa saja yang bisa ia mintai tolong.
Namun malam itu terlalu sunyi. Rumah-rumah di sekelilingnya seolah tertidur, lampu-lampu di dalam padam, menyisakan jendela hitam yang menatap hampa.
Lucia menelan ketakutannya. Ia memercepat langkah, menggenggam tasnya erat-erat, lalu menyelipkan ponsel ke saku jaket. Jari-jarinya siap menekan tombol darurat jika sesuatu terjadi.
Tiba-tiba, seekor kucing melompat dari balik tong sampah, membuat Lucia hampir menjerit. Ia menahan napas, jantungnya berdentum lebih keras. Suara langkah itu lenyap sejenak, atau mungkin ia tak lagi bisa membedakan karena telinganya dipenuhi degupan darah.
Namun saat ia berbelok di ujung jalan, suara itu terdengar lagi.
Kali ini lebih dekat.
Lucia benar-benar ketakutan. Tubuhnya bergetar, tapi ia memaksa kakinya untuk terus melangkah. Ia harus sampai di halte bus. Harus. Di sana biasanya ada petugas keamanan yang berjaga di pos kecil, atau setidaknya orang-orang yang menunggu bus malam terakhir.
Tapi semakin ia berjalan, semakin jauh halte itu terasa. Seakan jalanan memanjang tanpa akhir, ditarik oleh kekuatan tak kasatmata yang ingin menjerumuskannya ke dalam mimpi buruk.
Di belakangnya, langkah itu semakin berat, semakin nyata.
Tap. Tap. Tap.
Lucia menoleh lagi dengan cepat. Kosong. Hanya bayangan lampu jalan yang bergoyang.
Namun kali ini, ia yakin ia melihat sesuatu di ujung gang, sekelebat bayangan, bergerak cepat lalu lenyap di balik tembok.
Napasnya tercekat. Tangannya gemetar. Seluruh tubuhnya menolak untuk percaya, tapi otaknya tahu: ada seseorang di sana, mengawasinya dengan sabar, mengikuti dengan sengaja.
Lucia menggigit bibirnya, menahan tangis. Ia tidak boleh berhenti. Tidak boleh kalah pada rasa takut. Ia mempercepat langkah, hampir berlari kecil, berharap mencapai halte lebih cepat.
Namun suara itu tak juga hilang. Malah terasa semakin dekat, seperti bayangan yang menolak terlepas dari tubuh.
Lucia mengeluarkan ponsel. Dengan tangan gemetar ia menekan satu nomor. Bersyukur karena sang pemilik nomor memaksa Lucia menyimpan nomornya.
Tuhan, setidaknya satu kali saja. Satu kali ini saja, tolong aku, batin Lucia menjerit penuh doa.
Dan di dalam hatinya, ia tahu ... sesuatu sedang menunggu untuk terjadi.
Alhamdulillah operasi berhasil, semoga Lucia cepat pulih