Dion terpaksa menikahi wanita yang tidak cintainya karena perjodohan yang diatur orang tuanya. Namun kehidupan pernikahannya hancur berantakan dan membuatnya menjadi duda.
Selepas bercerai Dion menemukan wanita yang dicintai dan hendak diajaknya menikah. Namun lagi-lagi dia harus melepaskan wanita yang dicintainya dan menuruti keinginan orang tua menikahi wanita pilihan mereka. Demi menyelamatkan perusahaannya dari kebangkrutan, akhirnya Dion bersedia.
Pernikahan keduanya pun tidak bisa berlangsung lama. Sang istri pergi untuk selamanya setelah memberikan putri cantik untuknya.
Enam tahun menduda, Dion bertemu kembali dengan Raras, wanita yang gagal dinikahinya dulu. Ketika hendak merajut kembali jalinan kasih yang terputus, muncul Kirana di antara mereka. Kirana adalah gadis yang diinginkan Mama Dion menjadi istri ketiga anaknya.
Kepada siapa Dion melabuhkan hatinya? Apakah dia akan mengikuti kata hati menikahi Raras atau kembali mengikuti keinginan orang tua dan menikahi Kirana?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Istri vs Sekretaris
“Kamu tidak berhak memecat pegawai di rumah ini,” sela Letisha yang sudah ada di belakang Susi.
Suara Letisha mengejutkan Susi. Wanita itu refleks membalikkan badannya. Letisha maju lalu berdiri di depan Raras. Sumi menarik Susi agar berdiri di belakang majikannya. Raras menatap Letisha dengan tajam. Dia kesal karena orang suruhannya sudah berani menentangnya.
“Susi bekerja di sini atas rekomendasi ku. Jadi wajar saja kalau aku memintanya untuk pergi.”
“Atas dasar apa kamu berani memecat Susi? Apa kamu yang menggajinya selama ini?”
“Dion bilang pada ku kalau dia tidak becus bekerja. Tapi karena Dion tidak tega memecatnya, jadi meminta aku yang melakukannya.”
“Urusan rumah sudah diserahkan pada ku. Sekarang aku yang bertanggung jawab untuk semua yang terjadi di rumah. Aku mengurus semua pengeluaran yang terjadi di rumah ini. Aku juga yang mengatur pegawai yang bekerja di rumah ini. Soal bagaimana kinerja Susi, biar aku yang menilai. Kamu hanyalah orang luar, kamu tidak berhak ikut campur.”
“Dion yang meminta ku memecat Susi.”
“Kalau memang benar Dion yang menyuruh memecat Susi, harusnya dia berbicara pada ku, bukan pada mu.”
“Dia bicara pada ku karena aku yang merekomendasikannya.”
“Kamu hanya merekomendasikan. Yang berhak memecat atau tetap mempekerjakannya hanya aku, bukan kamu.”
Wajah Raras memerah menahan amarah. Kedua tangannya nampak mengepal. Ketidaksukaan jelas nampak di rona wajahnya. Susi tidak berani melihat pada Raras. Dia terus bersembunyi di belakang Letisha.
“Oke, terserah pada mu. Mana Dion?”
“Dia sedang istirahat. Kamu pasti sudah diberitahu kalau dia sakit.”
“Aku ke sini mau mengantar berkas untuk dipelajari dan ditanda tangan olehnya.”
“Kalau begitu, berikan pada ku. Nanti aku akan memberikan padanya kalau dia sudah bangun.”
“Aku mau bertemu dengannya. Aku mau mengurusnya.”
“Dion sedang sakit, dia butuh istrinya untuk mengurusnya, bukan sekretarisnya.”
Perkataan menohok Letisha sukses membungkam mulut Raras. Wanita itu melempar dengan kasar berkas di tangannya ke lantai, lalu memberikan dus kuenya pada Sumi dengan kasar. Setelahnya dia bergegas meninggalkan kediaman mantan kekasihnya itu dengan membawa sejuta kedongkolan. Susi segera mengambil berkas yang berserakan di lantai lalu memberikannya pada Letisha.
“Terima kasih, Susi.”
“Terima kasih Bu, sudah membela saya. Saya mengaku salah sudah menjadi mata-mata untuk Bu Raras selama ini. Saya menyesal, Bu. Saya tidak punya pilihan karena Bu Raras yang memasukkan saya bekerja di sini.”
“Sudah tidak apa-apa.”
“Tolong jangan pecat saya, Bu. Saya janji ngga akan memata-matai Ibu dan Bapak lagi. Tapi tolong jangan pecat saya,” Susi menangkupkan kedua tangannya. dia benar-benar takut akan kehilangan pekerjaan yang sudah menopang hidupnya selama dua bulan belakangan ini.
“Kamu tenang saja. Saya tidak akan memecat kamu. Kalau kamu dipecat, kasihan Bi Sumi kalau harus mengurus rumah ini sendirian.”
“Terima kasih, Bu. Terima kasih.”
Susi meraih tangan Letisha kemudian mencium punggung tangannya beberapa kali. Dengan gerakan halus, Letisha menarik tangannya. Lalu dia merangkul asisten rumah tangga itu masuk ke dalam rumah. Susi sungguh merasa beruntung Letisha yang menjadi istri Dion. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana kalau Raras yang menjadi istri majikannya.
“Sop ayamnya sudah matang, Bi?” tanya Letisha pada Sumi.
“Sudah, Bu. Tapi lebih baik Ibu cicipi dulu, takutnya ada yang kurang.”
Letisha segera menuju dapur. Dia mencicipi sup ayam yang sudah selesai dibuat oleh Sumi. Wanita itu menambahkan sedikit parutan pala ke dalam kuah sup. Setelah rasa sup dirasa pas, dia memindahkan sup ke dalam mangkok.
“Biar sama saya saja, Bu,” Sumi segera mengambil alih pekerjaan Letisha.
“Nanti tolong bawakan ke kamar ya, Bi. Nasinya dipisah dan jangan terlalu banyak.”
“Siap, Bu.”
Usai memberikan instruksi pada Sumi, Letisha kembali ke kamar suaminya. Ketika masuk ke dalam kamar, rupanya Dion baru saja terbangun. Letisha menaruh berkas di atas kursi lalu membantu suaminya duduk di ranjang.
“Jam berapa sekarang?” tanya Dion.
“Hampir jam satu, Mas. Mas makan dulu, ya.”
“Badan ku gerah.”
Dion menyibak selimut yang masih menutupi sebagian tubuhnya. Kaos yang dikenakannya sudah lembab oleh keringat.
“Aku mau mandi.”
Dengan sigap Letisha membantu Dion bangun lalu menuntunnya ke dalam kamar mandi. Kemudian wanita itu menuju walk in closet dan tak lama kemudian kembali dengan membawa pakaian untuk suaminya. Diletakannya pakaian ganti di atas meja wastafel.
Ketika Dion sedang mandi, Sumi datang mengantarkan nampan yang di atasnya terdapat sepiring nasi, semangkok sup ayam dan segelas air putih hangat. Letisha menaruh nampan di atas nakas lalu mendudukkan diri di kursi, menunggu Dion yang masih mandi. Lima menit kemudian pria itu keluar dari kamar mandi. Dia tidak menghabiskan waktu lama di kamar mandi, karena tubuhnya masih merasakan meriang. Dion segera naik ke atas kasur lalu menutupi tubuhnya dengan selimut.
“Dingin, Mas?”
“Iya.”
“Mandinya tadi pakai air hangat?”
“Iya. Tapi tetap saja dingin.”
“Kondisi Mas masih belum fit. Sekarang Mas makan terus minum obatnya.”
“Terima kasih, Leti. Kamu sendiri sudah makan belum?”
“Nanti saja kalau Mas sudah selesai makan.”
Letisha menyendokkan sup ayam ke dalam piring. Dia membiarkan dulu uap sup berkurang panasnya, baru kemudian menyuapi Dion. Perasaan Dion begitu terharu melihat sang istri yang begitu telaten mengurusnya. Selama Letisha menyuapinya, mata Dion tak lepas memandangi wajah wanita itu. Dipandangi seperti itu, tak ayal membuat Letisha salah tingkah.
“Oh ya, Mas. Tadi Raras ke sini. Dia mengantarkan berkas yang harus dipelajari dan ditanda tangan. Dia juga membawakan kue untuk Mas.”
“Padahal aku sudah bilang tidak usah ke sini.”
Perasaan Dion sedikit tidak enak mendengar Raras datang ke rumah. Walau tidak menunjukkannya, namun pria itu yakin kalau Letisha pasti tidak senang dengan kedatangan mantan kekasihnya itu.
“Maaf,” ujar Dion pelan.
“Maaf untuk apa?”
“Kedatangan Raras pasti sudah membuat mu tidak senang.”
“Tidak apa. Wajar saja kalau Raras mengkhawatirkan mu. Bagaimana pun juga dia masih merasa kamu adalah bagian penting dalam hidupnya. Begitu juga dengan kamu.”
Suara Letisha semakin mengecil di ujung kalimatnya namun masih bisa tertangkap telinga Dion.
“Jangan bicarakan soal Raras lagi. Tidak baik membicarakan perempuan lain dalam kehidupan rumah tangga kita.”
Letisha memandangi Dion lekat-lekat. Dia masih mencoba memahami apa yang dikatakan suaminya barusan. Dion meraih tangan Letisha lalu memegang dengan kedua tangannya.
“Leti.. aku tahu kalau pernikahan kita diawali dengan hubungan yang kurang baik. Aku minta maaf. Sebagai seorang suami, aku belum bisa menjalankan kewajiban ku yang sesungguhnya. Kalau kamu bersedia, ayo kita mulai rumah tangga kita dengan awal yang baru, yang lebih baik lagi. Kamu mau kan?”
Masih belum ada jawaban dari Letisha. Wanita itu hanya memandangi wajah suaminya. Mencoba menelisik apakah yang dikatakan Dion, jujur dari dalam hatinya ataukah hanya sekedar ucapan di bibir saja.
“Tapi pernikahan kita hanya akan berjalan setahun. Jujur aku takut terlalu nyaman dengan pernikahan ini dan sulit melepaskan mu nantinya.”
“Leti, manusia hanya bisa berencana, tapi Tuhan yang memutuskan. Kita memang merencanakan pernikahan ini hanya berjalan setahun, tapi siapa yang tahu ke depannya seperti apa. Jadi menurut ku kita jalani saja pernikahan ini layaknya pasangan suami istri pada umumnya. Kamu mau kan?”
“Kamu yakin, Mas? Lalu bagaimana dengan Raras?”
“Aku membahas soal rumah tangga kita. Jangan libatkan orang lain di sini. Sekarang kamu adalah istri ku, bukan Raras. Kita lupakan dulu tentang dia. Sekarang jalani yang ada di depan kita, yaitu pernikahan kita.”
“Baik, Mas. Aku setuju.”
“Kalau begitu, apa bisa kita mulai dengan tidur bersama di satu kamar?”
***
Kira² apa jawaban Leti ya?