Aziya terbangun di tubuh gadis cupu setelah di khianati kekasihnya.
Untuk kembali ke raganya. Aziya mempunyai misi menyelesaikan dendam tubuh yang di tempatinya.
Aziya pikir tidak akan sulit, ternyata banyak rahasia yang selama ini tidak di ketahuinya terkuak.
Mampukah Aziya membalaskan dendam tubuh ini dan kembali ke raga aslinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lailararista, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengawali hidup bersama
Belanda, tiga malam setelah kematian Gino.
Langit malam diselimuti awan tebal, hujan tipis turun membasahi kota tua. Dari jendela ruang kerjanya yang besar, seorang pria tua berdiri tegak dengan tongkat di tangannya. Sorot matanya tajam meski usia sudah menggerogoti tubuhnya. Dialah Kakek Gino—kepala keluarga tua yang memegang jaringan mafia Eropa sejak puluhan tahun lalu.
Di meja di depannya tergeletak foto Gino yang sudah berlumuran darah. Jari tuanya menyusuri wajah cucunya di foto itu, matanya berkaca-kaca namun dipenuhi amarah.
“Cucu bodoh…” gumamnya lirih, “kau mati di tangan seorang perempuan. Seorang anak ingusan… Tapi darahmu tidak akan tumpah sia-sia. Aku akan ambil nyawa anak itu—perlahan, sampai ayahnya berlutut memohon padaku.”
Ia memberi isyarat pada bawahannya. “Sebarkan perintah. Bunuh semua orang yang ada di sekitar Aziya. Bakar jaringannya, hancurkan temannya. Biarkan dia hidup untuk menyaksikan neraka.”
Namun, apa yang Kakek Gino tidak tahu setiap gerakannya sudah dipantau. William dan Xavier sudah lama menanam mata-mata di dalam lingkarannya. Begitu perintah itu keluar, Xavier langsung menerima laporannya.
Di sebuah gudang kosong di pelabuhan Rotterdam, William dan Xavier bertemu.
“Dia akan mencelakai Azira."ujar Xavier.
William menatapnya, rahangnya mengeras. “Kalau begitu, kita habisi dia duluan. Aku nggak akan biarkan satu tetes darah pun jatuh dari tubuh putriku.”
Xavier menatap William lama, lalu tersenyum tipis. “Kali ini… kita main kotor. Aku tahu tempat persembunyiannya. Malam ini, kakek itu berakhir.”
Malam yang sama.
Rumah kakek Gino di pinggir kota dipenuhi penjaga bersenjata berat. Lampu sorot, anjing penjaga, dan kamera pengawas berjajar di setiap sudut. Namun dalam keheningan, dua bayangan menyelinap masuk tanpa suara.
William dengan pistol berperedamnya bergerak cepat, menembak tepat di antara mata setiap penjaga. Xavier dengan pisau dan keahliannya yang mematikan menghabisi sisanya tanpa ampun.
Dalam kurang dari lima belas menit, halaman rumah yang tadinya penuh penjaga berubah jadi ladang mayat.
Kakek Gino, yang sedang duduk di ruang tamu dengan segelas anggur, mendengar suara langkah kaki masuk. Ia menoleh, dan matanya langsung menyipit.
“William…” katanya dengan suara berat. “Dan... Xavier? Aku sudah menduga kalian akan datang. Tapi kalian pikir bisa keluar hidup-hidup dari sini?”
William maju selangkah, pistolnya terarah. “Aku tidak butuh keluar hidup-hidup. Aku cuma butuh lihat lo mati.”
Xavier tersenyum dingin, pisau di tangannya berkilau. “Dan aku pastikan anda tidak akan punya waktu untuk buka mulut.”
Kakek Gino tertawa keras, batuk bercampur amarah. “Kalian pikir aku ini pria tua tak berdaya? Aku yang membangun jaringan ini. Aku yang membesarkan monster-monster seperti kalian!”
Ia menekan tombol di kursinya. Beberapa pria bersenjata berat muncul dari balik dinding rahasia. Tapi sebelum mereka sempat menembak, Xavier sudah melempar pisau yang menancap di tenggorokan salah satu, sementara William melontarkan dua peluru cepat yang menumbangkan dua lainnya.
Pertarungan berlangsung singkat, brutal, dan mematikan. William dan Xavier bergerak bagai iblis, tak ada satu pun pengawal yang berhasil bertahan lebih dari beberapa detik.
Akhirnya, hanya kakek Gino yang tersisa. Ia terpojok di kursinya, napasnya memburu, wajahnya pucat tapi matanya masih menyala penuh kebencian.
“Bunuh aku, William!” raungnya. “Tapi perlu di ingat, membunuhku tidak bermanfaat apa-apa untuk kalian."
William menatapnya dingin, lalu menoleh sebentar ke Xavier. Xavier hanya mengangkat bahu, seolah berkata selesaikan sekarang.
William mendekat, menekan moncong pistol ke dahi pria tua itu. “Bermanfaat atau tidak yang penting kau mati."
DOR!
Satu tembakan sunyi mengakhiri hidup kakek Gino. Tubuhnya terkulai, darah mengalir di lantai kayu. Akhirnya masalah Aziya selesai. Saatnya Xavier menjelaskan kepada Aziya siapa dirinya sebenarnya.
★★★
Aziya duduk sambil mengaduk sarapannya tanpa minat. Matanya sembab, bukan karena menangis, melainkan karena semalam ia tidak tidur sama sekali. Memikirkan semua alur hidup yang ia alami, semuanya tidak masuk akal, tapi ini nyata. Dari dia memiliki kembaran, keluarga lain, kekasih. Semuanya seperti dongeng, tapi terasa nyata.
Dari arah pintu, langkah kaki berat terdengar. Xavier masuk, seperti biasa dengan kemeja hitam rapi, rokok terselip di jarinya. Pandangannya langsung jatuh ke arah Aziya.
"Ngapain kamu disini?" Tanya Aziya heran.
"Aku tidak boleh disini?" Aziya menghela nafas panjang
"Bukan begitu, kamu bertemu Daddy?" Xavier hanya mengangguk sekilas
“Kamu mimpi buruk?" ucap Xavier sambil duduk di kursi meja makan.
Aziya mendengus, mencoba menutupinya. “aku baik-baik aja. Jangan sok jadi psikolog.”
Xavier menyeringai tipis. “Kamu bisa bohong ke Daddy, bisa bohong ke sahabat kamu, tapi ke aku? Sorry, Zi. Aku tahu kamu lebih dari mereka tahu.”
Ucapan itu membuat Aziya berhenti mengaduk sarapannya. Ia menatap Xavier tajam. “Kamu tau apa?, kamu cuma tau aku dari luar kan?"
Xavier bersandar ke kursi, menyalakan rokok, lalu menghembuskan asap perlahan. “Inget waktu kamu koma? Kamu pikir Gabriel yang nemenin kamu? Yang kamu cintai waktu itu? Faktanya, itu aku. Xavier. Aku yang selalu di samping kamu, meski kamu nggak sadar.”
Aziya terdiam. Potongan memori samar dari masa koma itu berkelebat di kepalanya, suara, sentuhan, tatapan yang ia kira milik Gabriel. Ternyata… selama ini, sosok yang ia cintai adalah Xavier.
"iya aku tau, tapi bukan berati kamu tau semua tentang aku kan?"
Xavier mengangguk. "ya, kamu benar. Tapi faktanya aku tau semua tentang kamu. semuanya tanpa terkecuali."
Keheningan panjang menggantung. Lalu, perlahan, Aziya meletakkan sendoknya. Ia menatap Xavier dengan mata sayunya. “kamu gila, Xavier, kamu bikin aku gila. Semuanya terasa nyata, tapi aku belum bisa sepenuhnya percaya!"
Xavier menatap Aziya dalam. Ia hanya tersenyum tipis, matanya dingin tapi hangat dalam waktu bersamaan. Ia mematikan rokoknya, lalu berdiri, mendekat ke kursi Aziya.
“Kalau itu artinya kamu nggak bisa lagi jauh dari aku,” bisiknya sambil menunduk ke telinganya, “aku rela kamu anggap gila selamanya.”
Aziya menahan napas. Ia tidak menghindar. Ada getaran aneh di dadanya, bukan sekadar cinta, tapi juga rasa gugup karena ia tahu bersama Xavier, ia tidak akan pernah bisa mundur.
Aziya menatap manik Xavier serius. "Kalau gitu, kamu mau menjelaskan semua ini?"
Xavier mengangguk, "Tujuanku memang akan menjelaskan semuanya, karena setelah ini kamu akan menjadi milikku selamanya"
Dari pintu, William berdiri memperhatikan dalam diam. Ia tidak masuk, hanya menatap putrinya dan pria yang pernah jadi musuhnya itu. Ada rasa khawatir, tapi juga… sebuah penerimaan.
William menggumam pelan, hanya untuk dirinya sendiri. “Kalau memang dia pilihanmu, Zira. semoga dia cukup kuat untuk berdiri di sisimu sampai akhir.”