Ketika membuka mata, Dani menemukan dirinya berada di sebuah kamar. Ia tak mengingat apapun tentang dirinya. Di sana dia bertemu dengan pria yang mengaku sebagai bosnya. Pria itu mengatakan kalau Dani merupakan personal trainer di gymnya yang diketahui juga melakukan pekerjaan p|us-p|us.
Namun semua itu tak berlangsung lama, karena ingatan Dani perlahan pulih setelah bertemu wanita yang mengetahui masa lalunya. Saat itulah Dani menggunakan keahlian hipnotisnya dan mengambil alih bisnis gym. Siapa yang menduga? Bisnis itu menjadi sukses besar saat dikelola oleh Dani.
"Layanan trainer-trainer di gym 24 luar biasa. Pokoknya bikin lemas dan banjir lendir. Eh, maksudnya lendir keringat. Hehe..." ucap salah satu tante langganan gym 24.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desau, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 32 - Memalsukan
Malam itu, gudang pelabuhan dipenuhi oleh aura mencekam. Lampu sorot besar menyinari ruangan, menyorot wajah-wajah para anggota Kalajengking Hitam yang berdiri berjajar. Senjata api menggantung di tangan masing-masing, membuat suasana semakin berat.
Clara, sang pemimpin, berdiri di tengah panggung besi. Wanita bergaun hitam itu menatap semua bawahannya dengan tatapan tajam. “Malam ini kita membicarakan rute baru untuk barang masuk. Aku tidak ingin ada kesalahan sekecil apa pun. Paham?”
“Paham, Bos!” seru para anggota kompak.
Di sisi kanan ruangan, Deva berdiri tegak dengan wajah datar. Namun di balik sorot matanya, jantungnya berdegup kencang. Keringat dingin menetes di punggung meski udara malam menusuk kulit. Hanya satu pikiran yang menguasai kepalanya: malam ini, dia harus mati.
Lexy berdiri tak jauh darinya, pura-pura serius memperhatikan ibunya. Namun tangan gadis itu sedikit bergetar. Dalam hati, ia terus menghitung detik demi detik menuju momen yang sudah direncanakan.
Tiba-tiba, terdengar letusan senjata dari arah pintu masuk.
“Serangan!!” teriak salah satu anggota.
Semua orang sontak panik. Puluhan peluru kosong ditembakkan ke udara, menimbulkan gema memekakkan telinga. Beberapa anggota yang memang bagian dari rencana pura-pura menodongkan senjata ke arah Deva.
“Deva! Awas!!” teriak Lexy, sesuai skenario.
BRAK! Peluru hampa menghantam dada Deva. Ia langsung menjatuhkan tubuhnya ke lantai dengan keras. Dentuman tubuhnya menimbulkan gema, membuat para anggota terkejut.
Darah—yang sebenarnya hanyalah cairan palsu—mengalir dari mulutnya. Deva berusaha menahan napas, tubuhnya menggeliat meyakinkan seolah benar-benar kesakitan.
“DEVAAA!!!” jerit Lexy histeris, sesuai akting yang sudah disiapkan. Ia berlari menghampiri, menekuk lutut di samping Deva, mengguncang tubuhnya dengan ekspresi penuh duka.
Beberapa anggota lainnya ikut panik. “Sial! Deva kena tembak!”
“Bos! Apa yang harus kita lakukan?”
Clara mengangkat tangannya, wajahnya penuh amarah. “Cari siapa bajingan yang berani menyerang kita! Jangan biarkan ada yang lolos!”
Seketika beberapa anggota berhamburan keluar, mengejar musuh fiktif yang sebenarnya hanyalah pengalih perhatian. Sementara itu, dua anggota yang sudah bersekongkol dengan Lexy bergerak cepat.
Mereka menarik tubuh Deva yang “tak bernyawa” ke sudut gudang, tepat di balik tumpukan kontainer. Semua berjalan sesuai rencana. Di sana, mayat pengganti yang sudah dipersiapkan diseret dengan cepat.
Lampu redup membuat wajah rusak mayat itu tak terlalu terlihat jelas. Darah palsu ditambahkan, membuatnya makin sulit dibedakan. Dalam hitungan menit, tubuh mayat itu sudah tergeletak menggantikan posisi Deva.
“Cepat! Bawa dia ke terowongan!” bisik salah satu orang yang bersekongkol.
Deva masih pura-pura mati, tubuhnya terasa berat sendiri karena menahan gerakan. Ia merasakan udara lembap ketika ditarik ke dalam celah sempit di balik kontainer. Di sana, pintu baja kecil terbuka, mengarah pada terowongan tua yang gelap.
Jantungnya berdegup makin cepat. Setiap langkah terdengar keras di telinganya. Jika satu orang saja melihatnya bergerak, semua akan hancur.
Sementara itu, di ruangan utama, Lexy terus berteriak. Air matanya mengalir, entah karena akting atau ketakutan nyata. “Ibu! Deva mati! Mereka membunuhnya!”
Clara menoleh dengan ekspresi murka. “Bawa mayatnya ke rumah sakit! Aku ingin laporan resmi!” perintahnya.
Beberapa anggota langsung mengangkat mayat pengganti, seolah-olah itu benar-benar Deva.
Lexy menunduk, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Dalam hati ia berdoa agar Deva sudah cukup jauh masuk ke terowongan.
Di dalam kegelapan, Deva merayap. Suara napasnya terdengar keras di telinganya sendiri. Cahaya obor kecil yang diletakkan Lexy di jalur itu menjadi satu-satunya penuntun.
“Sedikit lagi…” gumamnya pelan.
Dari belakang, samar-samar ia masih bisa mendengar suara Clara mengatur pasukan, dentuman sepatu bot, dan teriakan orang-orang. Semua terasa begitu dekat, seolah mereka bisa menemukan jalannya kapan saja.
Ketika akhirnya Deva mencapai ujung terowongan, ia melihat cahaya lampu mobil yang sudah menunggu. Dr. Rahmat berdiri di sana, mengenakan jas panjang, wajahnya serius.
“Cepat masuk!” bisik dokter itu.
Deva memanjat keluar, lalu masuk ke dalam mobil hitam yang sudah disiapkan. Pintu menutup rapat. Saat mobil melaju, Deva baru berani menghela napas panjang.
Ia menatap kembali ke arah terowongan, seakan masih bisa melihat bayangan Lexy di sana. “Aku berhasil…” bisiknya.
Namun perasaan lega itu hanya berlangsung sesaat. Di gudang, Clara menatap “mayat Deva” dengan tatapan tajam penuh curiga.
“Kenapa wajahnya rusak seperti ini?” gumamnya. Tangannya yang berbalut sarung kulit hitam menyibak rambut mayat itu, menatap lebih dekat.
Lexy yang berdiri di samping, menahan napas. Tubuhnya kaku, tapi ia memaksa dirinya menangis lebih keras, seolah tak sanggup menatap jasad itu.
“Dia benar-benar mati, Bu…” ucap Lexy dengan suara bergetar.
Clara menoleh, menatap mata putrinya dalam-dalam. Sekilas, ada kilatan kecurigaan yang tak bisa disembunyikan.
Namun akhirnya ia berdiri tegak, menepuk tangan. “Kuburkan dia!"
Lexy menunduk, menyembunyikan wajahnya. Dalam hatinya, ia berdoa agar ibunya tidak akan pernah menemukan kebenaran.
Sementara itu, di dalam mobil yang melaju kencang menuju luar kota, Deva menggenggam erat kursinya. Tubuhnya masih bergetar, tapi matanya memancarkan satu hal: tekad untuk hidup bebas.
Malam itu, Deva resmi mati bagi dunia. Tapi juga lahir kembali sebagai seseorang yang bebas dari belenggu Kalajengking Hitam.
semoga nanti bisa bersatu dengan Dani .
bahagia bersama anak mereka
jangan-jangan nanti Lexy juga hamil...